Keok
“Ambil hikmahnya!”
Kalimat
sederhana yang sesekali terdengar menyebalkan untuk sebuah kegagalan, kalimat
tulus dari orang yang belum tentu mengucapkannya dengan tulus, kini, bagi gua, memiliki
kesannya tersendiri.
Ya, selama
Ramadhan, gua menjadi akrab dengan kalimat itu.
Semua bermula
sejak gua berkenal dengan kitab al-Hikmah Fi Makhluqatillah yang diajar
oleh Gus Melvien di setiap sore. Kitab karangan Imam Ghazali itu memang
menjelaskan tentang hikmah-hikmah yang terkandung pada setiap hal yang Allah
ciptakan di alam semesta ini. Itu kitab hebat dengan pembahasan yang
menampilkan fakta-fakta menakjubkan, satu langkah yang baik untuk sebuah usaha
penyadaran.
Bagi yang penasaran
dan mau membaca akan kajiannya, bisa mampir ke toko kami!
Tapi
seenggaknya, sedikit banyaknya, kitab itu telah mempengaruhi pola pikir dan
sudut pandang gua akan setiap hal.
“Ini apa
hikmahnya?”
“Itu apa hikmahnya?”
Jadi menanyakan
segala hal. Menerka-nerka maknanya.
Sebut saja
malam ini.
Sejatinya,
cukup ditunggu. Bagaimana nggak? Malam ini akan ada 2 laga big match: Persija
vs Arema untuk dalam negeri, dan Manchester United vs Arsenal untuk luar
negeri. Apalagi waktunya ba’da tarawih, apalagi dengan jam yang berbeda dan
luang.
Dan yang lebih
apalagi dan apalaginya, adalah perihal 2 tim kebanggaan yang sedang main
bersama dalam satu momen. Ini serasa malam panjang yang bertabur gemerlap
bintang, sedangkan kita sedang duduk tersenyum di rembulan yang sedang sabit.
Gua berkemas
bergegas, menyiapkan hati dan mentalitas.
Kita mulai dari
Persija vs Arema.
Laga ini sangat
penting kiranya bagi Persija Jakarta yang sedang mengejar ketertinggalan 11
poin dari pemuncak klasemen dan rival, Persib Bandung. Atau seenggaknya, hanya
butuh 2 poin untuk menggeser Persebaya Surabaya yang bertengger di klasemen 3. Mengingat
ini laga kandang dan tren positif di laga sebelumnya dengan berhasil menang
menekuk PSIS Semarang 2-0, dirasa modal yang cukup. Meski tetap tanpa penonton
di 4 laga home karena akumulasi pelanggaran, semua lini pemain sedang on fire!
Menang dan 3 poin, dirasa bukanlah hal yang sulit.
Tapi apa?
Di durasi yang
belum sampai menit 30, 2 pemain Persija kena kartu merah. Iya, 2 pemain dan
kartu merah! Sebab kesalahan yang sama dan tanpa adanya kesengajaan,
menyebabkan Maciej Gajos dan Gustavo Almeida harus keluar lapangan
lebih cepat.
Bukan apa-apa,
Gajos adalah motor serangan dan Gustavo adalah mesin golnya; apa yang terjadi
setelah itu? Permainan awal yang begitu mendominasi, menjadi kalang kabut
dengan rombak formasi bertahan. Bagaimana nggak, 9 vs 11; what do you think?!
What is crazy?!
Nggak kebayang
bagaimana isi pikiran coach Carlon Pena saat itu.
Dengan
kenyataan Persija yang bermain dengan formasi bertahan, sudah pasti kalah soal ball
possession. Pegang dikit, hilang. Bertahan dikit, buang. Nggak ada gairah sama
sekali. Menjenuhkan, melelahkan.
Di babak
pertama masih tanpa gol, tapi di babak kedua, apa yang harus gua katakan: mukjizat
itu nyata!
Dengan keadaan
tim yang terseok-seok, tanpa di duga, Rizky Ridho melepas tendangan dari tengah
lapangan menuju gawang dengan kiper yang lalai nggak mampu menjangkau. Seperti
sihir tendangan David Beckham, itu gol yang indah. Tentu berdampak. Tim
meluapkan puasnya dalam euforia. Itu momen yang dramatis dan emosional.
Hebat sekali,
sebuah tim yang kalah di segala lini, nyatanya dapat mengungguli gol!
Tapi apa boleh
buat, nggak butuh waktu lama, 3 gol bersarang sebagai balasan. Dengan catatan,
1 gol hasil own goal dan menyebabkan cideranya kiper, Carlos Eduardo.
Come back yang
nggak main-main.
Sudah jatuh
tertimpa tangga, tersengat lebah, tersenggol kuda nil, terseruduk banteng,
terlindas kontainer, tersambar petir, tergencat gunung Krakatau, tertendang meganthropus
paleojavanicus, terinjak dinosaurus, tertimpa meteor, tersedot uvo.
Babak belur,
bonyok sebonyok-bonyoknya.
Dipukuli tanpa
mampu melawan: meski sepenuhnya berani.
Ibarat orang
asma yang tetap memaksa lomba lari maraton, itu laga yang paling nggak tega
untuk ditonton. Menyedihkan. Frustasi.
Di selesainya
pertandingan, kembali menanyakan diri: yakin masih tetap bertahan untuk menonton laga selanjutnya?
Di senggang
waktu, gua mempersiapkan semua. Pikiran, perasaan, mentalitas, mood, dan seporsi
mie porsi jumbo untuk perut. Sedikit banyak mengobati trauma kekalahan.
Nyatanya, teapt
di jam 23.30 WIB, gua tetap menonton laga Manchester United vs Arsenal.
Berbeda dengan
Persija yang papan atas dan bergengsi, Manchester United hanya butuh menang
supaya nggak degradasi. Itu bayang-bayang paling gelap dalam titik tergelap.
Meskipun begitu, Arsenal nggak bisa dianggap remeh. Sebagai tim elit Priemer
League, Arsenal nggak pernah lepas dari circle papas atas. Ditambah sebagai
jebolan Champions League, semakin mengerikan dengan kenyataan kemarin habis
mode bantai-bantai PSV dengan skor gila 1-7 dan tandang.
Jangankan soal
MU yang hanya modal jebolan Europa League, di liga, klasemen kedua tim ini
bagai langit dan bumi. Bagai ujung rambut kepala dan ujung bulu jempol kaki Sangat jauh jarak membentang.
Hal yang lebih
menakutkan lagi, laga ini home. Kekalahan kandang akan lebih menyakitkan,
karena pembantaian yang disaksikan seluruh penonton di stadion. Hal lain, itu
juga mencoreng kesucian dan kesakralan suatu home base sebuah klub.
Apa yang
terjadi selanjutnya? Pertandingan dimulai.
Manchester
United dengan tanpa skuad terbaiknya: Atlay Bayindir, Lisandro Martinez, Luke
Shaw, Harry Maguaire, Jhony Evans, Kobbie Maino, Manuel Ugarte, Mason Mount, Amad
Diallo. Pertandingan tetap harus dimulai tanpa mereka yang cedera. Ruben Amorim
yang tertatih akan berhadapan mesin tempur Mikel Arteta yang terlatih.
Di babak
pertama, Arsenal sudah bermain dengan high impression. Mereka memenangkan ball
possession. Sampai di ujung babak pertama, Manchester United mendapatkan gol
indah dari tendangan free kick Sang Capt, Bruno Fernandes. Indah,
sungguh-sungguh indah.
Masyarakat Old
Trafford bersorak sampai half time tiba.
Entah kenapa,
nafas terasa lega setelah itu.
Sampai di babak
kedua, pertandingan berjalan cukup seru. Masing-masing tim jual beli serangan
dan pertahanan. Manchester United yang tampak menemukan ritme permainannya,
masih dapat satu dua peluang yang belum berhasil disempurnakan. Begitu juga
dengan Andre Onana di bawah mistar gawang dengan save-save dramatis.
Sebelum
akhirnya, Duclan Rice menyamakan kedudukan dengan gol yang nggak kalah indah.
Tendangan cut back yang mengarah langsung ujung gawang sebelah kanan, dengan
bola yang berputar melengkung.
Entah kenapa,
tiba-tiba nafas mulai tersendat.
Hingga,
menjelang akhir, satu dua peluang greget, tetap berakhir greget. Skor imbang
1-1. Dengan kenyataan peluang, seharusnya skor nggak berakhir seperti itu. Seharusnya
Mancheser United bisa menang dan segera mengangkat harkat martabatnya di kancah
klasemen Priemer League.
Tapi, ya, apa
mau dikata?
Berjam-jam
duduk termenung nonton bola tanpa hasil yang memuaskan, dirasa nggak ada
gunanya. Mending nonton konten-konten edukatif
atau pengajian Gus Baha sekalipun, biar tambah manfaat. Belum lagi jika
dipakai untuk durasi menulis. Seenggaknya dapat mengantongi 2-4 judul tulisan.
Dengan ini,
apa?
“Ini apa
hikmahnya?”
“Itu apa
hikmahnya?”
Gua menerka
itu.
Mungkin sebab
gua sendiri, sebuah ucapan loyalitas yang elegan sebagai suporter tepat di
sebelum gua berangkat nonton bola, di hadapan Said dan kalimat intimidatifnya
yang bernada “Ditonton? Kayak bakal
menang aja?!”
Mendengar itu,
gua menggeleng penuh kemenangan.
“Eh, Id. Dengar
ya; yang namanya suporter tuh dukung timnya, bukan menang-kalahnya. Selama
timnya main, ia akan senang hati menonton!”
Dengan ini,
mungkin gua sedang diingatkan: untuk belajar dari omongan sendiri.
Ingat, sadar,
belajar.
Komentar
Posting Komentar