Kebab
Mungkin saja, tulisan ini akan menjadi panjang. Gua juga nggak tau. Semoga aja nggak: malas aja nulis panjang-panjang. Toh, gua hanya ingin cerita. Dengan ini, kita lihat saja bagaimana jari ini menjelaskan kata; melapangkan dada.
Sejatinya, bukan soal santri atau bukan, bagaimanapun, kita memang harus cerdas mengatur uang. Atau mungkin bijak akannya. Kita ukur pemasukan dengan pertimbangan kebutuhan dan keinginan sebagai pengeluaran.
Dengan pertimbangan saldo yang tersisa, nyatanya cukuplah untuk makan dan jajan tipis-tipis. Atau idealnya, ”Sebisa mungkin, gua nggak perlu jajan!”
Itu prinsip gua sebagai lelaki.
Hingga, ya, “Bat, kancani aku yuk?! Neng ndi ngono, dewe golek cemilan!”
Satu dua halang rintang menyapa.
Dan, ya, “Wah, bisa kang. Kita nyari kebab aja, yuk?!”
“Gasss!”
Tepat saja, tetap saja: benteng itu kembali runtuh, dengan mudahnya.
Rasanya baru saja tekad itu dibentuk. Rasanya kokoh dan tiada tanding. Tapi giliran dipancing dikit, malah nyeletuk kebab. Meski demi apapun, selama Ramadhan ini gua emang ngidam kebab.
Bukan gua nggak bisa memegang prinsip sebagai lelaki. Bukan. Ini hanya implementasi pemakluman manusiawi.
Ini juga bukan soal nggak cerdas atau nggak bijak. Bukan juga soal boros.
Kalau kata beliau, apresiasi diri.
Kalau kata Gen-Z, self reward.
Jangan salah kaprah!
Sekali-kali, nggak apa-apa.
Sedangkan kita tau, ’sekali-kali’ setiap orang itu relatif. Nominal dan kuantitas, bagi setiap orang, memang berbeda.
“Toh, setiap kiriman orang rumah, memang sebagai uang jajan. Seharusnya uangnya memang dipakai jajan. Jangan malah ditabung. Uang jajan kok ditabung, nggak sesuai perintah orang tua dong?! Anak kok nggak nurut sama perintah orang tua, hidupnya pasti nggak berkah. Di satu sisi, menempatkan perkara bukan pada tempatnya, melakukan sesuatu bukan atas dasar tujuannya, wah dzolim iniii!”
Jurus andalan keluar.
Gua selalu memakai argumen ini untuk membenarkan gagal menabung dan menghilangkan rasa bersalah atasnya. Segitunya.
Kenapa perlu harus banyak mengelak dan membuat konsep? Kenapa harus sepanjang dan seribet ini? Pokoknya gua jajan! Iya, gua akhirnya tetap jajan! Gua tetap beli kebab! Ah elah.
Selain itu, di samping vakum matinya sisi perokok di diri cungkring ini, jajan memiliki pesonanya tersendiri. Bukan sebagai ’mantan’, ’cinta pertama’ memang sebegitu mempesonanya!
Satu hal lain, hal yang membuat gua menyanggupi dan menerima tanpa pertimbangan, bahwa kepala suku udah memasuki masa graduatenya. Pasti akan ada yang beda, akan ada yang hilang kemudian. Mungkin momen ini akan menyenangkan.
Malam itu, berangkatlah gua dengan kepala suku, naik motor otok-otok.
Sesekali mampir atm dan bensin, motor mengarah pada lapak kebab depan Indomart. Ya, langsung tujuan kebab.
“Iki recomended, nggak?”
“Haha, coba aja!”
Gua memesan kebab black klasik.
Ia malah memesan burger sapi.
“Lah, katanya kebab. Kok malah pesan burger?” Tanya gua bingung, sedikit nggak terima.
“Mbuh yo, moro-moro pengen og.”
Agak lain.
Ia menitip pembayaran untuk sesuatu hal yang harus ia beli dengan segera di Indomart, mungkin rokok atau minum. Gua menerima uang itu, menunggu setia tukang kebab Turki itu ‘atraksi’.
Mungkin 20 menit, pesanan siap, gua membayar.
Tepat di bangku ‘terapis’ teras Indomart, kami menikmati 2 makanan yang berbeda, dengan cara yang berbeda. Bagaimana nggak? Gua baru menyelesaikan 3 gigitan kecil, kepala suku itu telah beres urusan dengan burger sapinya: waah, geela seeh!
Lapar atau doyan? Atau kesurupan?
Gua sebagai penikmat makanan dan menghormatinya di setiap gigitan, merasa tersinggung atas ‘lahap’ itu.
“Coba njajal?!”
Lah, apa-apaan?
Ini lebih tersinggung lagi.
Ia mendapatkan 1 gigitannya, kebab gua ternodai ‘kerakusan’.
Entah sihir apa, bangku teras Indomart terutama di waktu malam memang semagis itu. Bisa membuat orang cerdas dengan tiba-tiba. Teori seketika terumuskan, argumen terlontarkan. 2 best menu Turki itu nggak semerta-merta membungkam 2 mulut pemuda harapan bangsa itu: seolah pakar, malah bahas perekonomian dunia dengan segala konspirasinya.
Semua bermula dari pertanyaan, “Kok panganan koyok ngene iki bisa enak, larang, tur sepi?”
*Sejujurnya, gua mulai nggak betah ngetik dengan bahasa Jawa ini.
Padahalkan itu pertanyaan yang jawabannya berkesinambungan, ada korelasi di sana: bisa enak karena jelas harga menentukan kualitas, juga mahal itulah yang menyebabkan sepi karena nggak bisa menjangkau seluruh kalangan pasar. Itu bukan jajan yang lumrah dan familiar, sulit untuk dinormalisasikan bagi selera keumuman.
Hingga, membahas peluang, kendala, mitra umkm, juga langkah-langkah dan resiko.
“Tapi usaha nih tetap harus lihat plus minusnya nggak sih, Kang? Kalau soal kuliner jelas plusnya adalah hal pokok, kebutuhan primer. Semua orang punya mulut dan perut, semua orang punya lapar. Tapi minusnya, kuliner tuh taruhannya sama basi, dan jelas banyak saingannya.”
Pembahasan itu kian memanas dan mendalam. Entah kenapa, sendawa nggak kunjung datang: menengahi.
Hingga, “Peh, koyok’e gor seh rame iki?!” Kepala suku bersiasat. Mudah saja mengusul. Mudah saja membelokkan pembahasan.
Nggak perlu tau apa tanggapan gua, gas gas gas!
Tepat di mulut jalan gor, bersisian para pedagang dengan cahaya lampu dan harum produknya. Spidometer diturunkan, menyisir setiap menu dan selera. Ujung ke ujung, belum kepincut.
“Masa sampean nggak pengen durian toh, Kang?”
Sejujurnya, banyak sekali tukang durian. Sejujurnya, gua pengen sekali makan durian. Gua juga bingung, kenapa gua banyak pengen.
Tanpa aba-aba, motor itu merapat dengan asal.
Gua cukup lega dengan ini. Pertama, perihal fakta durian ini. Kedua, perihal fakta kepala suku yang sarjana KPI dan Tulungagung nyel: pasti terjamin publik speakingnya, pasti terjamin kesepakatan harganya. Gua kira gitu.
Gua menyuruh kepala suku maju. Ia maju dengan gagahnya.
Tapi apa yang terjadi? Bermenit-menit ia hanya berpindah tangan, menanyakan harga: hanya menanyakan harga, mengabsen.
Mana publik speaking itu?
Mana tawar menawar itu?
“Udah ini aja!” Gua mengambil peran.
Dari ukuran, berat, harum, dan harga, cukup meyakinkan.
Sebagaimana jobdes, tukang durian itu membelah, test drive untuk mencoba dan pemberlakuan garansi. Kepala suku mengambil peran itu. Gua percaya aja. Hingga, udah menjadi rahasia umum untuk cicip menyicip durian yang secolek dua colek, di luar dugaan, ia malah mengambil satu biji durian dan “kayaknya kurang deh”. Sempat-sempatnya.
Dan nggak habis pikirnya lagi, “kayaknya kurang deh” itu ia ucapkan dengan terus mencerca lahap sebiji durian itu sampai benar-benar menyisakan biji: kontradiktif.
“Emang rasanya begitu, kan emang ada durian yang rasanya pahit. Itu aja udah, Mas, nggak apa-apa.” Ucap gua pada tukang durian yang termenung melihat kelakuan kepala suku. Sedangkan gua, udah terlanjur malu.
Nyatanya, durian itu memang sesuai. Kualitas sesuai harga. Satu hal yang disayangkan, durian itu kurang matang sedikit. Selebihnya oke.
Gua menikmati yang ada, juga unek-unek menyebalkan tentang kepala suku.
“Maaf, Mas, ada tisu?”
Kalimat itu menutup acara mabuk durian, sebelum akhirnya membayar.
Tapi untuk perhelatan? Jangan sangka!
Emang benar, seseorang itu dilihat dengan siapa ia berteman. Berteman dengan orang suka jajan, akan terbawa suka jajan. Biarlah. Satu sisi gua juga mengincar, semoga berteman dengan orang gemuk akan terbawa gemuk: kepala suku yang gempal, gemoy, dan unik itu.
Di motor kami membicarakan ‘kebodohan’ itu. Kok bisa ahli diplomasi seketika plongo di hadapan tukang durian. Sebegitu menyihirnya. Sia-sia anak KPI 4 tahun dan Tulungagung sejak bayi!
Dengan itu, masih sempat-sempatnya ia mengincar maklor. Gua nggak habis pikir. Benar-benar nggak habis pikir. Habis makan kok yang disebut makanan lagi. Dan lu tau sendiri tanggapan gua:
“Mending dimsum aja, Kang. Kan ada dimsum yang isi daging cincang tuh. Coba cari di sini ada nggak?!”
Benar saja, ia memberhentikan motor tepat digerai korean food. Dimsum, sosis, kornet, burger, corndog, dan segala macamnya. Gerai itu menganut per pcs atau juga paket.
Gua yang hanya mengambil 2 pcs dimsum, sedangkan ia malah 8 pcs. Benar-benar di luar dugaan. Meskipun ya, gua tetap nyusul sosis bakar premium. Huhu.
“Corn dog ki opo loh?” Tanya kepala suku penasaran, nora.
“Corn dog tuh sosis yang ditutup tepung jagung. Bisa sebesar itu, karena juga dibalur diisi mozarela di dalamnya. Jadi pas digigit nih, mozarelanya lumer nempel di sosis. Apalagi ditambah saosnya.”
Dengan itu, sepertinya ia menyesal dengan apa yang dipilihnya. Gua malah semakin gencar menggoda. Haha.
Tapi bagaimanapun, gerai itu nggak memfasilitasi untuk makan di tempat. Dan kami harus mencari ‘tempat’ itu sendiri.
“Es oyen wae yuh?!”
Opsi tempat yang sempurna. Hingga, gua merutuki diri dengan membawa uang yang cukup. Meski niat awal hanya jajan kebab. Harusnya kalau dibeliin nasi bisa berporsi-porsi dan muntah kekenyangan.
Di tempat es oyen, ya kami (meminum atau memakan?) es oyen: menyantap, menikmati.
Tentu juga perdimsuman murah meriah itu.
Gua yang sepenuhnya fokus pada apa yang tersaji, mengunyah perlahan, dan merasakan segala sensasinya sebagai bentuk penghormatan. Kepala suku malah lebih kendor dalam mengunyah. Cukup aneh. Bukan berarti nggak enak atau nggak berselera. Oho, itu nggak mungkin!
Ia terlihat sibuk dengan satu dua panggilan telpon dan setumpuk balon chat.
Selepas habis, bayar, dan selesai; seharusnya selesai. Seharusnya memang seperti itu.
Nggak ada pikiran aneh-aneh sampai senaiknya motor dan roda berputar, meski sejujurnya sudah keluar dari rundown awal.
“Melu aku yuh?!” Ucapnya tepat di roda yang berputar beberapa laju.
Ah, apa lagi ini?!
Firasat gua sudah nggak enak.
Waktu semakin malam, jam kian beranjak meninggi sedangkan gua kebagian jadwal piket. Nasib kesiapan puasa masyarakat berada di tangan gua. Seenggaknya, bisa melaksanakan kewajiban dengan baik.
“Wes toh melu ae!” Lanjutnya.
Sebelumnya gua tegaskan terlebih dahulu: gua bersedia ikut, kemanapun itu, asalkan nggak sampai ganggu jam jadwal gua piket. Dengan kata lain, bisa pulang sesuai jadwal.
Kepala suku pun menyanggupi.
Motor melaju dengan kecepatan tinggi. Gua yang memakai kemeja tanpa sempat berkaos, cukup dingin angin malam itu: gua diajak ke Ploso!
Entah apa yang akan dilakukan, ia yang akan sowan salah satu gus di sana, mengutarakan maksud yang entah apa. Gua sama sekali nggak tau dan nggak paham. Hal yang pasti, gua hanya disuruh menemani dan pulang dengan segera untuk piket sahur. Kasihan juga ia sowan seorang diri. Selain itu, gua cukup antusias secara memang gua hanya lebih sering bolak-balik ke Ploso hanya sekedar lewat tanpa pernah singgah.
Gua nggak menghitungi durasi perjalanan, cukup cepat jarak dan waktu yang ditempuh. Masuk ke Ploso dengan jalur lain dan asing, kami berhenti di unit DNE, di audtoriumnya.
“Ngko awak dewek bakal ketemu Gus Bintang.”
Jujur, gua juga nggak kenal siapa Gus Bintang dan apa urusannya. Sekali lagi, gua cuma menemani doang.
Kami ketemu seseorang yang bernama Jamal, santri Ploso, abdi ndalem, dan sepertinya anak media. Kepala suku tampak akrab dengannya. Gua hanya bersalaman dan sesekali tersenyum ramah.
Tampak beberapa obrolan ringan antara Jamal dan kepala suku, sesekali tertawa. Hingga, kami diantarkan, dipersilahkan masuk di salah satu ruangan, ber-ac, cukup luas dan rapih, nyaman.
“Sekedap maleh Gus Bintang rawuh.” Atensi dari Jamal. Ia kembali menunggu di luar, bersiap menyambut Gus Bintang.
Tidak lama berselang, sesosok lelaki tampan, gagah, putih, bersahaja, wangi, datang dan menyalami kami, mempersilahkan kami duduk.
“Monggo-monggo diminum, ngerokok mboten?”
Kepala suku tentu sangat antusias, secara dari tadi ia udah ngebet banget pengen ngerokok meski kenyataannya ruangan itu ber-ac. Dengan itu, ia sumringah, langsung berasap.
“Niki paring asmo sinten?” Beliau bertanya.
“Kulo Burhan.”
“Setunggal malih sinten?”
*Ah, gua makin nggak pede ngetik bahasa Jawa, apalagi mengkonfrm dawuh seorang gus; takut salah. Taku nggak pantas.
Begitu kiranya, sampai gua menyebutkan lama dan selalu butuh beberapa kali ulang untuk tepat dan sesuai. Lalu menanyakan asal rumah.
“Bekasi? Gimana keadaan rumah? Kena banjir nggak?” Beliau cukup terkejut.
Dan ini nih, pembahasan ini selalu menggempur telingan gua akhir-akhir ini.
“Alhamdulillah aman, Gus.”
Selebihnya, kepala suku mengutarakan maksudnya, gua hanya duduk mengenyampingkan kaki sedikit tertunduk menyimak.
Kepala suku yang ternyata ditunjuk jadi ketua Media Pondok Jatim regional Kediri itu menyampaikan maksud untuk mengundang Gus Bintang dan memohon sambutan dalam acara buka puasa bersama, juga perihal permohonan tempat yang ditujukan pada pondok Ploso untuk acara itu. Sisanya membahas segala hal keforuman: manajemen, struktur, tujuan, isu pembahasan, dan merambah ke mana-mana.
“Itu pembahasan yang bagus. Stigma dan persepsi tentang semua keburukan pondok pesantren memang harus kita counter. Kita beri pengarahan, kita beri pemahaman, serangan balik yang mengimbangi dengan media, dengan konten-konten yang kita buat.”
“Ibu niku natih dawuh, bahwa santri-santri saniki pun juga beda dengan santri-santri zaman dahulu. Sekarang itu ada istilah fomo. Mereka mudah terdistraksi, mudah ikut-ikutan. Dengan seperti itu perlu penanganan yang lain.”
Sejatinya gua bersyukur karena ide ini, diajak kepala suku. Gua selalu suka bisa satu majelis, duduk dengan para masyayikh. Meskipun toh sangat amat jarang mustahil. Meskipun toh sekalinya diberi kesempatan, hanya bisa diam menyimak. Satu sisi pemikiran gua jadi terbuka, gua bisa mendapat perspektif dan segala isu dari kacamata para masyayikh, gua jadi dapat banyak bahan nulis, pengen nulis: haha.
Selain itu, gua selalu suka bagaimana Gus Bintang mendengarkan, menyimak, ekspresi wajah, menanggapi, hingga mengutarakan pendapat dengan kalimat yang tersusun rapih; jawa atau indonesia, intelek hingga arabic. Jangan lupakan peragaan tangan yang mengagumkan.
Beliau kelihatan banget cerdasnya. Gua selalu suka. Gua pengen.
“Memang, untuk memperkuat suatu kelompok, organisasi, atau lingkup perkumpulan itu diperlukan dengan yang namanya role model. Harus ada sosok yang dijadikan contoh dan panutan. Siapapun itu, baik figur internal ataupun eksrternal.”
Ini juga mengena.
Pokoknya, walau hanya bisa mendengarkan, walaupun gua yakin beliau nggak tau bahwa gua nggak ada urusannya dengan apa yang disampaikan kepala suku, itu udah cukup membuat gua senang.
Pembahasan masih panjang, pembahasan antara kepala suku dan Gus Bintang. Gua hanya sesekali membenarkan posisi duduk dan menyeruput kopi yang disediakan. Tentu juga sesekali melirik jam, ketar-ketir memikirkan asupan dan asumsi masyarakat kamar.
Hingga, di hampir selesainya, di ujung pembicaraan, di tersampaikannya semua maksud dan Gus Bintang yang mulai terlihat menyanggupi beberapa panggilan telpon, obrolan hanya menyisakan potongan kata-kalimat penutup.
“Sampean umur pinten?” Tanya Gus Bintang.
“Kulo 25, Gus.” Kepala suku menjawab.
“Wah, sampur umuran rabi iki. Tapi ingat, lek arep rabi, disiapke regenerasine. Lek urung, urusen sek!”
Beliau mengucap tegas, dengan aura candaan yang lekat. Kepala suku hanya nggah nggeh nggah nggeh.
“Lah, lek niki, sampean umur pinten?”
Ini nih.
“Saya umur 20, Gus.”
“Wah, beda 2 tahun sama saya. Hitungane sek harom iki untuk tazwijul mar’ah. Ngko sek ngko sek!”
Ini, lebih ngakak.
Secara beliau yang 23 tahun saja belum menikah, apalagi untuk umur yang 20 tahun.
Hingga, obrolan benar-benar selesai dan tuntas, bersalaman berpamitan, gua dan kepala suku pulang sesuai jadwal.
Dingin udara malam itu melambungkan segala pikiran di setiap laju motor, di bawah sinar rembulan.
Komentar
Posting Komentar