Katarak

Di sebelum datangnya Ramadhan, segala hal yang perlu, udah gua persiapkan dengan cukup. Kegiatan, waktu, hal apa yang diharapkan, hal apa yang dihindarkan.

Selebihnya udah cukup baik.

Gua hanya mau berbagi cerita, cukup pede dengan bekal khatam membaca buku itu. Dengan ini, gua siap: mari kita mulai!

Sore itu, selepas ngaji.

“Bang, ngisi galon yok?!”

“Ayo.”

Di jam 5, galon kosong terasa urgent, gua berniat mengisi ulang galon bareng hamba Allah itu.

Gua mengambil kunci motor, mencarinya di tempat biasa diletakan, ternyata nggak ada. Gua tanya khalayak, juga nggak ada yang tau. Nggak apa-apa, mungkin motornya lagi dipakai yang lain. Gua bisa cari pinjaman.

Entah kenapa, hamba Allah yang sedari awal mengajak ngisi galon, terlihat lesu nggak bersemangat. Selaku penyelenggara, seharusnya ia yang lebih excetid atas ini: lebih gerak.

Gua mencari pinjaman motor dan dapat.

Berangkatlah kami. Ia memilih menyetir dan gua yang disuruh megang galon. Baiklah. Gua pun merasa akan baik-baik saja dengan masih memakai peci putih sepulang ngaji, tanpa harus menggantinya dengan peci hitam. Sekali-kali kita coba batas keumuman.

Motor melaju.

Asyik-asyik aja perjalanan, obrolan-obrolan segar yang mengiringi suasana sore hari yang permai. Mengalir lancar komunikasi antara pengemudi dan penumpang motor.

“Ini kita ngisi galon aja?”

“Emang mau kemana?”

“Kemana kek, nggak mau beli takjil?”

“Gua nggak bawa duit.”

“Gua bawa.”

Mereka berbelok haluan sebentar, mampir ke gor, menyapa para pedagang dan dagangannya di sepanjang jalan.

“Beli apa kita?”

Belum sempat menyebut beberapa nama, motor alaium gambreng itu dregdegdegdeg: habis bensin.

Inti akar masalahnya adalah, perihal tempat seramai itu dan waktu yang kian gelap.

“Motornya parkir di pinggir aja dulu, nyari bensinnya nggak usah bawa motor.” Ucap gua menyadari, setelah sedikit tawa menikmati takdir, hingga hamba Allah itu merengut, memasang muka paling asam: lebih asam dari ketiak supir angkot, percayalah!

Ia jatuh mood.

Kira gua, alih-alih kami yang akan jalan kaki bersama untuk mencari tukang bensin secara emang berangkat dan naik motor pun bersama, nyatanya hanya gua yang jalan. Ia memilih jongkok, membuka hp, berniat menunggu motor. Asam muka itu, tetap.

Yaudah, bisa diurus nanti.

Kalau lu tau letak persis Gor Joyoboyo, motor itu mogok di pertengahan jalan lurus, sebelum sampai di ujung pertigaaan. Gua harus berjalan kaki, menghabisi setengah panjang jalan lurus itu, berkopeah putih, menyapa orang yang dikenal dan kebetulan ketemu, menjawab kebingungan mereka, menahan malunya, memaksa lemas badan capek berjalan kaki, perut kosong, tenggorokan kering; hingga pikiran dan perasaan? Nggak usah ditebak.

Lalu, sampai di ujung pertigaan. Hanya ada 2 pilihan: memilih jalan lurus, atau ambil jalur belok kiri; untuk menerka adanya tukang bensin. Masalahnya, setiap lewat gor, gua nggak tau persis di mana ada tukang bensin.  Gua nggak sebegitunya, berniat menjadi duta pengamat bensin Gor Joyoboyo.

Gua memilih jalan lurus.

Mengikuti jalan, selangkah dua langkah, suasana makin sepi permai, makin menjorok daerah persawahan. Atas dasar penasaran, keyakinan atau bahkan bisa dibilang nekat, cukup jauh jarak yang gua ambil. Menerka setiap warung, “Ah, paling di situ ada bensin.” Hingga ke warung-warung lainnya, sampai ke market swalayan kecil-kecilan, nyatanya bensin tetap nggak ditemu

Gua hanya mencoba senyum, semenerima mungkin, mencoba berdamai dan mengingat pemahaman sepenuhnya dari buku Dr. Fahruddin Faiz tentang takdir.

“Takdir baik atau buruk, nikmati saja. Hidup ini tak ubahnya drama pementasan, dan kita akan memerankan berbagai macam peran di dalamnya. Jadi nggak usah diambil pusing, nikmati saja alur ceritanya.” Kira-kira seperti itu penjelasan semakna.

Dan gua memilih putar balik, merasa salah jalan untuk mencari bensin, setelah berjalan jauh dan jawaban “Nggak ada, Mas” dari para penjaga warung. Jauh jangka pulang dan pergi suatu langkah, tentu akan sama. Begitu pula capeknya.

Sadar betul gua, dalam hati, “Ini udah hampir maghrib. Gimana tuh hamba Allah nungguin.”

Gua tetap mikirin perasaan tuh hamba Allah, meskipun gua yakin, ia sama sekali nggak mikirin perasaan gua yang gelap-gelap jalan kaki, menyusuri jalan, mengemis keberadaan tukang bensin, sedangkan ia yang asyik duduk menunggu berselancar hp: segelap hari itu, sama-sama puasanya.

Di satu sisi, nggak mungkin juga kan gua nyerah tanpa hasil. Atau seenggaknya balik ke hamba Allah, menabahkan hatinya, lalu mencari warung terdekat untuk mengambil jeda berbuka puasa. Dan benar saja, di sekelibat pemikiran itu, adzan maghrib terdengar, memberi kesan paradoks: tenang pada hati, semakin mengacaukan pikiran.

“Apa nggak makin cemberut tuh orang kalau gua pergi lama-lama, tapi ternyata nggak dapat bensin.” Batin gua.

Tapi di satu sisi, bisa aja gua balik tanpa mendapat bensin, karena secara jujur, gua udah bingung harus cari bensin di mana, capek jalan kaki sendirian kayak orang hilang, dan waktu sudah maghrib. Pikiran gua malah menerka pom bensin di pinggir luar gor, tapi dengan syarat, harus mengajak hamba Allah itu berjalan kaki, meskipun toh jadinya gua yang harus mendorong motor dan ia yang merengut membuntuti di belakang. Nggak perlu dihitung jejak langkah gua di setiap beluk jalan gor.

Pikiran itu, gua tolak mentah.

Gua memilih peruntungan, kini, menyusuri jalur belok kiri. Jalan itu, belok kiri, lurusan panjang, belok kanan, depan rumah makan yang menamai dirinya “Pawon Mak Gomah”. Di depan sana ada warung, di warung sana ada bensin. Syukurlah.

Gua menuju kulkas, meraih Pocary Sweet ukuran 500 ml, untuk gua berbuka puasa dan tentu juga hamba Allah itu. Gua nggak sempat memikirkan makanan, mengingat durasi, gua menuju kasir.

“Sama bensinya, Bu. Ada plastiknya nggak?”

Ibu muda itu tampak bingung: bensin? Plastik?

Gua menangkap kebingungannya, menjelaskan tepat sebelum ia bertanya, “Soalnya motor saya mogok, Bu. Motornya saya tinggal. Butuh plastik buat bawa bensinnya.”

Ia mengerjap.

“Sekalian dibawa botolnya aja, Mas. Nggak apa-apa. Nanti bisa dibalikin lagi.”

Dan ya, gua membawa sebotol Pocari Sweet 500 ml yang telah sedikit berkurang dan botol bensin 1 liter: 1 liter untuk bensinya, entah berapa untuk berat botol utuhnya.

Jalan kaki, mengkalkulasi semua jarak.

Tepat sampai di titik awal, di hadapan motor yang miring distandar, gua sepenuhnya menghadap hamba Allah itu.

“Maaf ya, lama. Susah banget nemunya nih bensin. Nih minum dulu, batalin.” Sapa gua seceria mungkin, mengutarakan maaf tanpa harus merusak suasana: atau mungkin usaha memperbaiki. Mengulurkan sebotol Pocari Sweet yang mengembun.

Mau tau apa tanggapan hamba Allah yang budiman itu?

Ia menepis uluran tangan gua yang menyodorkan Pocari Sweet 500 ml itu, dengan wajah yang suram mencekam, tangannya menuju botol bensin, meraih dengan kasar, membuka jok motor, melempar paksa tutup tangki bensin berbentur tangki, begitu juga soal tutup botol bensin, lalu mengisinya tanpa ampun.

Gua hanya memandangnya kelu.

“Gua tuh capek, Bang. Lu mah nggak mikir!” Ucapnya pasti, tanpa sekalipun memandang wajah gua.

Gua sepenuhnya memandangnya kelu, kali ini benar-benar mematung. Huh, gua menarik nafas dalam. Berusaha menguasai diri semampu mungkin.

Gua menulis tulisan ini atas andil buku-buku self improvement yang gua baca utuh, akhir-akhir ini. Gua berusaha bijak atas setiap kata yang tertulis di sini, gua pilih.

Ekhm.

Gua tau, ia capek hari ini. Ada beberapa konten yang terus berputar di setiap harinya. Meskipun gua tau, maksud capeknya adalah ia yang bertugas penanggung jawab streaming pengajian di waktu sore. Hanya itu. Kebetulan saja, momen ini terjadi selepas bertugasnya. Wajar ia capek. Gua paham. Gua memaklumi.

Di lain sisi, tentu ia capek lama-lama menunggu. Maksudnya, siapa orang yang rela dan nyaman menunggu? Apalagi sampai lama, seorang diri, gelap-gelapan, belum berbuka, dan ditambah nggak bawa uang, -yang bisa saja memang benar-benar nggak bawa, bukan nggak punya uang- itu tentu menyiksa. Menunggu adalah kegiatan yang memuakkan. Apalagi ia menunggu dan lama sebab gua yang mencari bensin. Itu kenapa gua meminta maaf di awal.

Tapi, untuk kalimat “Lu mah nggak mikir!”, ini benar-benar sulit diterima. Itu benar-benar menyakitkan.

Mungkin bisa saja seketika itu, tanpa banyak bicara, gua raih paksa botol bensin yang sudah kosong itu, mengayunkannya tinggi, dan memukul keras ke tengkorak kepalanya: bila perlu berulang kali yang mungkin sebab tengkorak kepalanya yang kuat atau memang botol itu yang terlalu tebal. Jangan pedulikan soal cecer darah di mana-mana.

Lalu, ledak sumpah serampah, hinaan cacian, untuk sekedar penyadaran tentang siapa yang salah, atau mungkin penyadaran bahwa kalimatnya barusan itu kasar sekali.

Peduli apa soal perasaannya, hingga tanggapan sekitar? Gua hanya mensyukuri nikmat Tuhan yang berupa emosi dan menggunakannya sebagai bentuk terima kasih. Dan emosi selalu punya wewenang atas penerapannya.

Tapi, bukankah terkesan menyeramkan hal itu? Bukan hanya perihal kemanusiaan dan Ramadhan, di satu sisi, kita selalu diperhatikan Tuhan, semua hal bermuara pada-Nya: makhluk-makhluk Tuhan.

Akan semenggetarkan apa tangan itu? Menuruti api, hanya akan menghasilkan abu.

Hingga, di sini peran buku self improvement terlihat. Sejujurnya, gua belum bisa dikatakan kutu buku, ahli, pakar, paling cerdas. Sok-sok paling buku. Gua hanya sebatas orang yang senang belajar dengan, bersama buku. Itu kenapa, dengan ini, gua hanya berdiri sebagai orang yang hidup dengan apa yang dibacanya.

Hingga, mungkin gua harus menanggapi dari kalimat utuhnya, “Gua capek, Bang. Lu mah nggak mikir!”

Gua capek, Bang.

Hidup satu kamar, membuat gua cukup tau, bahwa sedari pagi sampai siang, atau bahkan tepat asharnya, adalah jam istirahatnya. Tidurnya. ‘Ibadah’ ramadhannya. Lalu, di saat merasa ‘cukup’, ia terbangun untuk kerja, live streaming pengajian sore.

Perihal streaming, gua pun cukup tau, karena gua pun pernah kebagian kerja ini di tahun sebelumnya, hingga sekarang harus bergantian dan regenerasi. Streaming hanya soal penataan HD, colok-colok kabel, dan siap memulai di software terkait. Selebihnya, hanya tinggal menunggu, memantau durasi itu berjalan. Sangat minim kerja otot, begitu juga otak. Selebihnya mengikuti alur pengajian.

Pun tau, gua juga memiliki jadwal ngaji sore, di tempat, guru, kitab, dan momen yang sama. Cuma ya, nggak bertugas streaming aja, gua pure peserta pengajian. Meskipun begitu, yang namanya tim tetaplah tim. Selepas ngaji, gua ikut bantu. Melepas kabel, menggulungnya, menata kembali HD dan tripodnya, lalu membawa tas laptop ke kamar. Karena gua rasa, dibanding awal, selepas ngaji lebih dibutuhkan bantuan karena energi dan waktu. Dan gua cukup punya waktu untuk itu.

Lalu, sampai gua yang meminjam motor dan kejadian mogoknya. Boleh saja jika mau dibandingkan, antara capek duduk dan capek jalan kaki. Duduk dengan jumlah klik layar hp dan jalan kaki dengan jumlah langkahnya. Gua rasa, gua nggak perlu memperpanjang soal ini.

Lalu, ini, Lu mah nggak mikir, Bang!

Lah, siapa yang nggak mikir? ‘Sangat capek’ atau terlanjur emosi hingga nggak bisa berpikir jernih, atau seenggaknya mengingat? Atau, bahkan, porsi otaklah yang berbicara?

Hanya karena di blog ini, menjadikan gua harus berbusa pembelaan hingga nggak mau disalahkan. Hanya saja, gua menjelaskan dengan isi kepala yang berbeda.

Sebelum niat awal mengisi galon, gua akui, gualah yang miliki ide untuk mencari takjil dan toh kebetulan harus ke gor sebagai tempatnya. Dan gua pun sejak awal nggak memutuskan “Harus beli takjil!” “Harus ke gor!” Kan nggak. Kan tetap ada penawaran, kan tetap ada pertanyaan. Dan ia pun nggak menanggapinya berlebihan selain pertimbangan “nggak bawa uang” lalu gua menanggapinya dengan “gua bawa uang”. Beres.

Lalu, apa?

Toh, nggak ada tanggapan lain. Hingga motor itu melaju ke gor untuk membeli takjil. Toh motor itu ia yang nyetir. Meskipun tanpa tanggapan, jika memang nggak setuju, kan tetap bisa ia fokuskan laju motor itu untuk tetap tujuan mengisi galon. Memang motor itu ia yang nyetir, ia punya kuasa lebih untuk setiap putar roda motor.

Dan kenyataannya,  motor itu tetap melaju ke arah gor dan kami tetap berbincang, gua nggak menangkap rona keterpaksaan dari intonasi suara atau mimik wajah pada spion itu.

Satu hal yang gua pahami: kita sepakat untuk beli takjil di gor, sebelum mengisi galon. Dengan isi kesepakatan itu, kita yang membeli takjil dengan gua yang menanggung biaya karena ia yang mengaku nggak bawa uang, dan gua nggak masalah soal itu.

Seharusnya destinasi membeli takjil di gor ini menjadi kesepakatan dan kerelaan bersama. Termasuk untuk berhasil membeli ataupun nggaknya. Pemahaman sederhana soal bermitra ya memang seperti itu. Awal karena bersama, akhir untuk bersama. Untung bareng, rugi bareng. Seharusnya memang seperti itu.

Tapi kenyataannya, apa? Di saat mitra bisnis itu rugi, kenapa harus menyalahkan salah satu?

“Lu sih ngajakin gua bisnis, kan jadi rugi!”

Lah?!

Seolah salah satu pihak harus bertanggung jawab dan satunya berhak marah sesuka hati.

Lah, kan gua hanya ngajak?! Lagian lu juga mau?! Lu nggak terima sama pilihan lu? Lu marah sama pilihan lu? Bodoh!

Lagi pula ada apa dengan bensin itu? Apa sebab penumpang itu yang tenggorokannya kering kerontang gersang padang pasir karena saking hausnya berpuasa sampai harus nyedot habis seluruh isi tengki motor itu? Kan nggak!

Seharusnya memang nggak ada yang perlu disalahkan dari motor yang spidometer bensinnya mati. Atau jika masih ngotot, silahkan untuk menyalahkan diri mereka berdua, kenapa lalai antisipasi motor yang spidometer bensinnya mati.

Halah, gara-gara beli takjil aja jadi ribet dan panjang begini. Di laptop, ini sudah merangkak 2.114 kata dalam 7 lembarnya. Sepenting apa tulisan ini? Pengetahuan apa yang didapat?

Di satu sisi lucu juga, untuk permusuhan yang disebabkan oleh motor habis bensin. Nggak keren blas!

Lihatlah bagaimana emosional mempengaruhi tulisan ini!

Apa yang didapat dari amarah?

Lupakan soal takjil dan isi galon yang gagal diraih, bahkan kekeluargaan itu pun raib!

 

 

 

NB:Tulisan ini ditulis selepas tarawih, di hadapan semangkuk mie goreng double yang telah tandas. Jangan khawatirkan pahala puasa saya, khawatirkanlah pahala puasa anda; horass bah?

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Baik

Dompet

Dosa