Inspektur

Ditunjuk sebagai pemerhati gizi selama Ramadhan ini cukup berpengaruh. Banyak hal yang gua pelajari, banyak hal yang gua pahami, banyak hal yang membuat gua tumbuh. 

Sedari soal pengatur keuangan, mengkoordinir jadwal baik yang tugas atau yang makan, termasuk membeli bahan dan mempersiapkan fasilitas penunjang.

Sekilas terkesan sederhana. Apalagi untuk lingkup yang sekecil ini, untuk jangka waktu yang hanya 2 minggu sebelum masa liburan. Seperti, nggak ada yang perlu disikapi secara berlebihan. 

Tapi gua menikmati itu!

Gua menikmati setiap sensasinya!

Mereka yang bayar lunas, nyicil, hingga belum bayar sama sekali tapi tetap ikut makan. Petugas yang antusias dengan berlomba menyajikan menu yang lebih pantas dan totalitas, meski harus menambah budget pribadi. Juga petugas yang apa adanya dengan menggunakan anggaran yang disediakan, hingga petugas lemot dengan beberapa ceroboh. Khalayak yang full di kamar, atau selalu hilang setiap sahur sehingga keos dicari menunggu-menunggu. Ada yang sulit dibangunkan kayak mayat, ada yang nggak tidur kayak ultraman. Ada yang mengulurkan tangan membantu, ada juga yang harus terus disuruh dan diingatkan. Termasuk juga soal nampan hilang, centong hilang, beras habis, listrik padam, lauk basi, hingga harus menerima santri peserta kilatan yang meminta join project ini.

Selain perihal disiplin, satu hal yang paling mengena: gua jadi lebih belajar untuk bisa memahami perasaan orang, untuk lebih sering melihat dengan kacamata orang lain; gimana kalau gua jadi dia, mereka?

Terutama saat gua kebagian jadwal piket:

“Kalau masak jam segini, kelamaan nggak ya?”

“Kalau lauknya kayak gini, mereka bakal selera nggak ya?”

Itu kenapa, setiap jadwal, mungkin Yanto selaku adik kelas dan partner piket yang menyenangkan, menjadi sedikit kesal untuk gua yang “Kayak gini pantas nggak ya, To?” di setiap kesempatan piket.

“Kenapa ngomong kayak gitu mulu sih, Bang? Ini udah pantas banget kok.” Terakhir kali, Yanto mengucapkan kalimat ini dengan alis yang tertekuk. Mungkin benar-benar kesal.

Soalnya bukan apa, tepat di saat gua piket, dari apa yang gua dan Yanto lakukan, gua sempat memperhatikan wajah mereka saat melihat sajian sahur dan berbuka, juga kunyahan-kunyahannya. Ada satu dua orang yang sepertinya nggak berselera. Bahkan satu dua yang bolos nggak di kamar. Gua merasa bersalah.

Apalagi sampai ada kalimat yang terlontar. Itu agak menyakitkan.

Itu kenapa, di setiap jadwal piket yang lain, siapapun itu, di setiap harinya, gua selalu makan paling berselera, paling antusias, paling akhir. Bukan berarti paling lapar dan sangat berselera. Gua juga sama, bangun tidur untuk langsung makan sahur atau berbuka dengan hal yang tidak terbayang di benak selera kita, itu mengacaukan. 

Apalagi gua yang suka jajan.

Apalagi gua yang butuh jeda untuk langsung makan.

Tapi di satu sisi, orang yang bertugas piket menyiapkan sajian, meluangkan waktu sibuk kegiatan dan ibadahnya, mempersiapkan sememuaskan mungkin: gua rasa mereka menyiapkan itu tolak ukurnya bukan tentang dirinya, tapi tentang khalayak, tentang kemaslahatan banyak orang.

Gua menghargai itu.

Gua menjaga perasaan itu.

Terutama mengingat waktu yang semakin mendekati liburan, kebersamaan menjadi hal yang berharga untuk gua yang nggak bisa pulang.

Hingga, menjadi sadar, samar, dan terngiang-ngiang:

“Bang, ayo sahur!”

“Adiknya bangunin!”

“Lauknya nggak enak ya, Bang?”

“Maafin Ibu ya kalau masaknya kurang berselera.”

“Sekarang makannya sama ini dulu ya, ibu tadi kesiangan.”

“Nanti mau ibu masakin apa menunya?”

Haaaaaa, mau pulaaaang!




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Termometer

Semut

Kepompong