Gerbang
الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ، وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ عَلَى أُمُورِ الدُّنْيَا وَالدِّينِ، وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلىَ أَشْرَفِ الـمُرْسَلِينَ وَعَلىَ آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْـمَـعِينَ، أَمَّا بَعْدُ
Para hadirin hadirat rahimakumullah…
Alhamdulillah, selangkah demi selangkah, hingga telah sampai di penghujung bulan suci Ramadhan. Marilah kita terus berpegang erat, mengisi setiap nafas tindakan kita dengan ibadah dan ketaatan. Kita terus berusaha, berlomba-lomba dalam kebaikan.
Pada kesempatan kultum kali ini, kita akan membahas tentang...
Haha.
Gua rasa, blog ini nggak memberi dampak sama sekali di bulan Ramadhan ini. Nggak ada andil dalam semarak tarbiyah di dalamnya. Nggak ada yang bisa diambil sebagai pelajaran.
Blog yang hanya berisikan keluh-keluh dan cerita ringan yang, ya, hanya pelegaan diri. Sekedar itu.
Ada satu hal yang mengganjal, membebani.
Dengan ini, di edisi tulisan ini, nggak apa-apa ya kita sedikit bahas pelajaran. Sedikit aja kok. Untuk mengawali atau bahkan satu-satunya, seenggaknya kita tetap tercatat pernah belajar dan bersinggungan dengan ilmu di bulan Ramadhan ini; meskipun sedikit.
Sebenarnya, apa tanggapan lu tentang sufi?
Baik buruknya perspektif lu, apapun itu, gua cukup terkesan bagaimana cara mereka memandang dunia dan menjalani hidup.
Juga, apa tanggapan lu tentang cinta?
Akan seberapa jauh kita membawa cinta untuk larut dalam setiap pandangan dan jejak langkah?
Dengan itu, kita akan berkenalan dengan Rabi’ah al-Adawiyah, seorang sufi perempuan yang menjadikan cinta sebagai jalan nafas hidupnya.
Dalam dunia tasawuf, cinta atau mahabbah sering dianggap sebagai maqam (kedudukan spiritual) paling tinggi oleh beberapa sufi. Nggak sangka, bahwa cinta sendiri memiliki 10 tingkatan yang berbeda-beda akannya. Sebegitu pentingnya pembahasan cinta.
Ada dua kitab masyhur yang ditulis oleh Al-Kalabadzi dan Al-Qusyairi yang menyatakan bahwa perjalanan seorang sufi dimulai dari maqam tobat dan pucaknya adalah maqam mahabbah. Berarti orang yang sudah mencapai maqam mahabbah memiliki semua kualitas spiritual sebelumnya.
Menurut Al-Kalabadzi, tahap paling awal yang mesti dicapai para penempuh jalan spiritual adalah maqam tobat, lalu maqam zuhud, maqam shabr, maqam fakhr (tidak membutuhkan apapun selain Allah), maqam tawadhu (rendah hati), maqam khauf, maqam taqwa, maqam ikhlas, maqam syukur, maqam tawakkal, maqam ridha, maqam yaqin, maqam uns qarb (nafsu yang sudah terjinakkan sehingga dekat sekali dengan Allah), setelah melewati itu semua baru bisa mencapai maqam mahabbah. Setiap maqam dapat ditempuh selama beberapa tahun dan pada setiap maqam ada ahwal (keadaan spiritual).
Sedangkan menurut Al-Qusyairi tahapan yang ditempuh lebih panjang dibanding Al-Kalabadzi. Dimulai dengan maqam tobat, kemudian maqam mujahadah, maqam khalwat, maqam uzlah, maqam taqwa, maqam wara’, maqam zuhud, maqam khauf, maqam raja’, maqam qana’ah, maqam tawakkal, maqam syukur, maqam shabr, maqam muqarabah, maqam ridha, maqam ikhlas, maqam dzikir, maqam fakir, maqam mahabbah, dan puncak maqam mahabbah adalah maqam syauq (senatiasa rindu kepada Allah).
Sebelum seorang masuk ke dalam mahabbah, ada dua bagian cinta yang mesti dipenuhi, yaitu tobat dan ridha. Seseorang tidak mungkin bisa mencintai Allah, kalau dia masih bermaksiat, melanggar perintah Allah secara sengaja. Kalau kita masih melakukan hal yang dibenci Allah dan kita sadar itu dibenci Allah berarti kita belum cinta. Kita sadar, misalnya, bahwa memaki orang tidak disukai Allah tapi kita tetap melakukannya, berarti kita belum bisa disebut sebagai pecinta Allah.
Maqam sufi paling awal yang harus kita Jalani, sebagaimana telah disebutkan di atas, adalah tobat. Dan tobat, sebagaimana telah ditulis Al-Ghazali dalam kitabnya, memiliki syarat dan rukun. Jadi meski kita sudah selalu membaca istighfar setelah shalat, belum bisa dimasukkan dalam kategori tobat jika syarat dan rukunnya belum terpenuhi.
Rabi’ah punya pandangan sendiri tentang tobat. Menurut Rabi’ah bahwa tobat seseorang yang melakukan maksiat adalah kehendak Allah, bukan kehendak manusia itu sendiri. Jika Allah berkehendak, Dia akan membukakan pintu tobat bagi seseorang yang berbuat maksiat. Keinginan kita untuk bertobat itu awalnya adalah keinginan Allah. Setiap hari setelah shalat kita beristighfar, tapi keluar dari masjid kita kembali melakukan maksiat. Itu kerena memang Allah belum menghendaki kita benar-benar bertobat.
Tobat itu sejenis hidayah. Menurut Rabiah, kalau Allah membukakan pintu tobat, kalian akan tergerak untuk bertobat. Maka, kita syukuri kalau kita tergerak untuk bertobat berarti Allah sedang peduli pada kita. Kalau Allah tidak menghendaki, kita tidak akan pernah masuk pintu tobat. Mungkin kita akan merasa benar terus, merasa baik terus. Itu berarti Allah sedang tidak mau kita mendapatkan ampunan-Nya memasuki pintu tobat.
Seseorang bertanya kepada Rabi'ah. “Aku banyak berbuat maksiat dan dosa, apakah Allah akan membukakan pintu tobat jika aku bertobat?” Rabi'ah menjawab, “Tidak! Sebaliknya, jika Allah berkenan membuka pintu tobat bagimu, maka engkau akan bertobat.” Jadi tobat itu pasti diterima Allah Yang Maha Pengampun. Tapi untuk melahirkan kesadaran bertobat, kuncinya pada Allah, bukan dalam diri kita. Pintu tobat itu bukan kita ketuk, kemudian Allah membuka pintu tersebut. Tapi, Allah yang menggerakkan hati kita untuk mengetuk pintu tobat. Maka, mintalah kepada Allah hidayah agar kita bisa benar-benar bertobat, karena tobat itu merupakan hidayah Allah.
Setelah tobat, syarat cinta yang harus kita lewati adalah ridha. Ridha ini kebalikan dari tobat. Dalam masalah tobat, manusia baru bisa bertobat jika Allah menggerakkan hatinya untuk bertobat. Sehingga, kita perlu memohon hidayah kepada Allah agar bisa bertobat. Sedang dalam urusan ridha, tidak tepat jika seseorang meminta Allah untuk meridhainya. Karena Allah itu sangat sayang kepada kita, jadi Dia pasti meridhai kita. Tapi, yang menjadi per-soalan, belum tentu kita ridha atas segala ketetapan-Nya.
Menurut Rabiah, yang biasa kita pahami tentang ridha itu terbalik. Bukan kita mengharap ridha Allah, tapi kita ridha terhadap apa pun yang terjadi pada kita. Kita ikhlas, rela menerima semua yang datang dari Allah. Doanya bukan semoga Allah meridhai kita, tapi semoga kita bisa ridha dengan semua ketetapan Allah. Kita tidak komplain, tidak merasa galau dengan segala ketetapan-Nya
Radhiyallahu ’anhum wa radhu ’anhu (Allah meridhai mereka dan mereka juga ridha pada ketetapan Allah).
Dengan ini, sudahkan kita bertobat; sebatas mana kita ridha?
Komentar
Posting Komentar