Cicicuit

Berkahnya nggak ngerokok tuh, sehabis berbuka puasa dan makan, bisa langsung sholat maghrib tanpa perlu memangkas waktu untuk sebal sebul cekikikan.

Dalam menit-menit rakaat terakhir, terdengar sekelibat tuh burung perkutut sedang berkicau sember dengan beberapa menusia yang kurang lebih memiliki kesaktian; mampu berbicara dengan hewan.

“Kok wong-wong mangan iso podo cepet-cepet, yo?” Bingungnya pada manusia-manusia yang makan dengan bersama, dalam satu wadah besar, hingga selesainya; mengembalikan perbandingan itu pada semangkuk porsi mangkuk burung, sendirian, dengan masih tersisa beberapa patukan: lagipula siapa yang sudi makan bareng burung? Apa doyan? Itu kenapa sendirian.

“Paling lek mangan bareng ki enek howo-howo persaingan, wedi kalah wareg.” Lanjutnya, berkicau cicicuit.

Bagaimana ia bisa mencetuskan pemikiran yang brilian itu? Gua rasa profesor paling botak di Harvard University juga nggak sampai kepikiran kesitu deh.

Sungguh-sungguh amazing!

Padahal ia selama ini nggak punya pengalaman makan selain bareng dengan dirinya sendiri, bagaimana bisa orang menyimpulkan sesuatu yang belum pernah dialaminya?

Nggak perlu membawa dalil soal ada keberkahan dalam makanan yang dimakan bersama, rahmat Allah, doa malaikat, hadis Nabi; nggak perlu dalil ini dalil itu, dari ulama ini kitab itu.

Karena sejatinya, antara bersama dan sendirian, karunia nikmat itu berbeda.

Sesederhana itu.

“Ini rukuk dulu atau langsung sujud? I’tidal?” Hamba Allah sedikit celinguk di rakaat akhir sholat maghribnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Baik

Dompet

Dosa