Brak
Malam itu seketika menjadi malam yang mencekam.
Sepulang gua dari hunting lauk sahur, tepat di perempatan jalan yang lengang dan dingin, tanpa aba-aba; hal itu terjadi.
Sebuah tabrakan keras, sangat amat keras, sesama motor, mengagetkan seisi sepi dan rambu lalu lintas yang menampilkan warna lampu dengan jujur.
Tepat di titik tengah perempatan, arah barat bertabrakan dengan arah selatan. Yang arah barat terpelanting ke utara, yang arah selatan terpental ke timur laut. Itu tabrakan yang keras dan mengerikan, kecepatan laju dan lengang malam membuat suara tragedi itu sangat mengusik telinga dan iba; ngeri.
Akibat tentu ada sebab, asap tentu ada api. Mudah saja, tabrakan yang disebabkan karena menerobos lampu merah. Malam yang larut daan lengang, membuat pengendara itu pede untuk berpacu adrenalin, menarik gas lebih dulu, cepat, dan kesetanan.
Kejadian terjadi, jatuh korban.
Di luar seberapa menyeramkannya menjadi saksi mata dari tabrakan gila untuk hancur motor dan ringsek pengendara yang mulai dikerumuni para manusia begadang, gua hanya berusaha menerka-nerka, meraih sesuatu yang mampu diraih dalam jangkauan, beberapa hal dari bayang-bayang manusiawi dan sadisnya.
Pertama, dalam perspektif tersangka, kita harus tetap tau batas dan porsi, bijak dalam memposisikan diri, juga management ego. Kalau lampu merah, ya berarti harus berhenti. Jangan melanggar batas itu. Jangan mengacaukan lampu hijau orang lain. Setiap orang punya porsi lampu merah dan lampu hijaunya masing-masing.
Kedua, masih perihal tersangka, menyadarkan untuk keluar dari zona nyaman. Bahwa, cobaan dan ujian itu nggak hanya soal hambatan dan ketidaknyamanan. Tapi juga ada dalam nikmat dan kebahagiaan. Ini yang sulit. Jangan hanya soal malam yang kian larut dan lengang, menjadikan ‘jangan dikira di air tenang tidak ada buaya’. Di sisi lain, zona nyaman bukan tempat yang tepat untuk tumbuh.
Ketiga, dari sudut pandang korban, bahwa ya, kita nggak terlepas dari segala keburukan dan kejelekan. Meskipun toh kita sudah sepenuhnya berusaha berbuat baik, sama sekali menghindari dan membenci hal buruk-jelek. Hidup memang seperti itu. Apalagi untuk pemikiran dan persepsi yang tentu akan sangat berbeda dan bertentangan. Bahkan untuk takdir sekalipun, kita nggak berdaya.
Keempat, untuk hal yang universal, adalah perihal penyikapan apa yang diambil. Bagi tersangka, pilih kabur atau bertanggung jawab. Bagi korban, pilih melaknat atau kekeluargaan.
Dengan itu, apa?
Selamat sahur!
Komentar
Posting Komentar