Us

Tertanggal 07 Februari, seakan menjadi jum’at yang berkah berkah berkah: lipat-lipat, ganda-ganda.

Sejujurnya, gua nggak mau cerita dan nggak ada yang perlu diceritakan. Lagi pula, hal ini belum tentu menarik. Lalu, apa yang diharap?

Tapi harus diakui, hari itu memiliki kesannya tersendiri. Di saat mendapatkan kebaikan, kadang gua jadi mikir pesimis, ”Kok bisa dapat kebaikan kayak gini, ya? Apa sebab? Emang apa yang gua perbuat?”

Nggak mengecualikan, lucunya, terkadang kebaikan kerap datang di saat gua sedang merasa jahat-jahatnya: lu pernah merasakan kayak gitu?

Sejatinya, hari itu, pagi tampak baik-baik saja. Nggak ada yang perlu disikapi secara berlebihan. Ya, sama seperti pagi-pagi biasanya.

Tapi bagaimanapun, pagi tetaplah pagi, selalu memiliki keistimewannya tersendiri. Itu kenapa Nabi memintakan berkah untuk umatnya di waktu pagi. Dan kita selaku umatnya, tentu merasakan itu, meski hanya sebatas bangun dan bersiap beraktivitas.

Ya, seharusnya sholat dhuha pun turut menjadi penawar untuk itu.

Sampai berangkat kuliahnya, keberkahan ini dimulai dengan kehadiran sosok dosen baru yang, ya, cukup menyenangkan. Gua yang nggak berniat ekspresif untuk hari itu, nyatanya malah kelepas tawa di kelas. Ya, pokoknya menyenangkan untuk matkul yang belum mulai bahas materi itu.

Lalu, perihal buku-buku gua yang kembali ke peraduan, setelah sekian lama. Juga rekah Sang Bunga, terdakwa.

Selepas kampus, kabar itu sampai. Ya, kado dari ’orang rumah’ telah datang. Juga beberapa pcs dari bestie terbaik sepanjang masa.

Lalu beberapa judul tulisan, tepat saat khutbah jum’at sedang berlangsung di masjid nyaman tersebut. Entah kenapa kepikiran, berhasrat untuk menulis di momen dan tempat krusial seperti itu. 

Di selepas selesainya, nasi kotak diberi dengan cuma-cuma, saat kebetulan perut memang belum diisi seharian. Bolehlah gua spill, lauknya ayam, nasinya sedikit, rasanya menjanjikan.

Lalu, pulang, mandi, dan bersiap untuk kebagian jadwal ziarah di jum’at pertama di setiap bulan. Tapi, hamba Allah memberi kabar perihal Surga gua.

”Nak, Surga cinta kamu! Surga di bawah telapak kakiku.”

Tak perlu risau perihal cintaku, aku terlahir dari cintamu!

Kok manis sekali, Beliau!

Kembali lagi ke ziarah.

Aslinya, jadwal itu mencakup 3 orang. Aslinya, ada persediaan 2 motor. Sayangnya, nggak semulus rencana. Orang itu tetap, motor itu raib.

Akhirnya, selaku penanggungjawab agenda, gua berinisiatif untuk naik onthel. Cuma, ya, hanya bisa berdua. Meski begitu, meski terkesan capek dan panas, nyatanya itu adalah me time terbaik dalam lingkup pertemanan. Belum lagi perihal gelitik-gelitik di sepanjang perjalanan. 

Sesampainya, dalam kekhusyuk-an simpuh, siang itu di maqbarah, kami berkesempatan bermuwajahah dengan Gus Reza yang sedang menemui para tamu: mengapa wajah beliau bisa seteduh itu? Mana mana yang sanggup mengalihkan pandangan? 

Selepas ziarah, adalah soal self reward, jajan-jajan, di musim rambutan.

Hampir ashar, gua teringat kado yang akan diberikan untuk adik-adik tercinta, penulis-penulis hebat, pada acara perpisahan di dua jam kemudian.

Mampir ke sebuah toko buku, menanyakan suatu barang, dan membeli menyesuaikan jumlah.

Hingga, ashar dan bersiap, semengesankan mungkin. Namun sayang, hujan turun deras. Sangat deras. Badai.

Dengan itu, apa boleh buat?

Oh, cinta ini lebih deras!

Dengan payung berpatah tulang, gua menerobos badai dengan gagah berani: elegan.

Sesampainya di tempat acara, tentu nggak bisa mengharapkan pakaian yang bebas basah. Seujung jarinya. Mengikuti serangkaian acara, debar menyelinap dengan berbagai cara. Sampai di sesi foto bersama dan sekotak cinta penuh kenang. 

Pembahasan ini bisa disendirikan, akan lebih panjang dan manis. Tapi di sini, ya, secukupnya sajalah.

Dua bingkisan dan satu nasi kotak. Satu bingkisan itu penuh buku, kertas catatan mereka adalah hal yang paling ditunggu. Berusaha mengubah air mata ke dalam bentuk yang paling sederhana: dalam tulisan, dengan menulis.

Dan benar saja, tajam ujung pena begitu jitu dalam menyampaikan makna pesan: air mata mereka sampai juga di pelupuk mata ini, tanpa kendala yang berarti.

Ruang kelas madin itu, seketika buram.

Dan, apa yang harus gua katakan, cerita ini harus ditutup bahagia dengan kedatangan Pak Hamdan, guru yang lebih dari seorang guru, guru yang telah lama nggak saling temu. Guru yang memiliki kesannya tersendiri, dan lagi-lagi, sah-sah saja untuk menjadikannya sebagai pembahasan tersendiri. Mungkin akan menyinggung cerita haru biru itu.

Ruang sepi, kelas itu atau hati ini, seketika meriah dengan kalimat-kalimat rindu pertemuan. Wajah-wajah itu, binar mata itu, semua.

Ah sudahlah, apalagi yang hendak diucap?

Nyatanya, memang sebahagia ini.

Bahagia yang mungkin nggak semua orang bisa merasakannya, nggak semua orang terkesan.

Segala puji bagi Tuhan.

  



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Termometer

Semut

Kepompong