Diurna
Semua bermula dari malam itu, saat Said dipercaya untuk mengisi seminar dan gua merutuki kebodohannya karena ia menolak mengelak.
Malam itu memang menjadi momen kerja rutinan, baik evaluasi atau
perencanaan. Ya, salah satu pembahasan itu diangkat, bahwa SMK akan mengadakan
seminar dan membutuhkan 2 pemateri: satu pemateri desain grafis dan satu
pemateri kepenulisan.
Rizal untuk mengisi kelas desain dan Said ditunjuk untuk mengisi kelas
kepenulisan. Kepala suku pasti punya alasan. Berbeda dengan Rizal yang menerima
lapang dada, sayangnya, Said terus mengelak menolak, berbagai alasan, menunjuk
siapapun.
“Emang apa susahnya sih? Lagian juga masih bidangnya.” Batin gua menanggapi, sedikit kesal. Mungkin
juga sebab tinggi jam terbang yang membuat mental gua menjadi rebel dan militan
kayak gini.
Bukan apa-apa, gua pernah mengisi seminar LDKS Mts, seminar asrama, juga
menjadi pemateri beruntun Divisi Literasi, belum hal-hal non formal. Sejujurnya
gua cukup suka dan menikmati pengalaman ini, setiap tantangan dan sensasinya,
mengatur kata dan menghadapi tatapan banyak orang. Toh, lagi pula masih
bidangnya, apa salahnya?
Mungkin ini alasannya.
Bagaimanapun, keputusan kepala suku adalah keputusan. Final. Nggak bisa
diganggu gugat. Said tetap mengisi menjadi pemateri. Ia membuat power point
sambil merengut di kemudian. Haha.
Sedangkan gua? Ya, biasa aja. Emang harus gimana?
Tapi, tepat di hari seminar, nyatanya seminar kepenulisan nggak jadi
diadakan, entah karena apa. Ya, jadinya hanya kelas desain.
Mau tau tanggapan Said?
Dengan menimbang energi yang telah ia keluarkan untuk menolak mengelak,
juga mikir materi, memahaminya, dan power point, harusnya sih kesal. Ya,
meskipun barang sedikit. Tapi sayang, ia udah terlanjur sorak sorai.
Hingga, poinnya, bukan soal cerita Said.
Tepat saja, beberapa minggu kemudian, banyak sekali surat yang masuk.
Entah, petak kamar ini serasa kantor pos.
“Bang, besok ngisi, ya?” Tanya kopral, memegang secarik surat yang
sepenuhnya terbuka.
“Ngisi apa, Kang?”
Ia memberikan carik surat itu, lantas gua membacanya. Ya, lagi-lagi sebuah
seminar, kali ini atas inisiatif dan asosiatif MA.
Dengan ini cukup tertegun tertampar akan kepercayaan diri kala itu, edisi
Said, mungkin ini jawaban atau mungkin uji konsistensi dari Allah; sebelum
akhirnya gua jawab “oke”.
Seminar itu digelar dalam rangka penerimaan anggota baru ekstrakulikuler
PMR, KIR, dan Kesenian. Adik-adik gemas kelas 10, khusus laki-laki. Di seminar
akan ada 2 pemateri, pemateri PMI untuk PMR; pemateri jurnalistik untuk KIR dan
Kesenian.
Bukan hanya perihal gua yang mencakup 2 ekskul sekaligus dan mencari
korelasi jurnalistik pada seni, hal lain, bahwa acara seminar ini akan digelar
di gedung MWC NU Mojoroto!
Dengan itu, seketika pikiran gua langsung ke mana-mana: akan se-wow apa
acara ini? Gua harus gimana?
Tapi bagaimanapun, berlarut overthinking pada hal-hal yang belum terjadi,
nggak akan mengubah apapun, menghasilkan apapun.
Gua segera mempersiapkan materi, sematang mungkin, memanfaatkan waktu yang
tersisa: juga mental ini, haha.
Sat set sat set, was wes wos!
Hari itu tiba.
“Bos, ini gua ikut MA atau berangkat sendiri?” Tanya gua ke kepala suku. Ia
malah bingung. Nggak lama nelpon: nyatanya gua harus berangkat sendiri, nggak
ikut rombongan.
“Yowes, tak kancani.”
Ya, cukup lega. Tapi...
“Tapi, aku tak adus sek!”
Menimbang jam yang sudah setengah sepuluh untuk dimulainya acara di jam
sepuluh, gua tau sendiri untuk ia yang mandi. Apalagi sambil bawa rokok,
apalagi harus BAB.
Waktu terus berjalan, tersisa 20 menit untuk ia yang baru benar-benar masuk
kamar mandi: dengan apa gua harus telat? Apa reaksi panitian?
Hah, mengeluh saja nggak ada guna!
Gua kembali membuka lembar power poin yang sengaja gua print untuk
baca-baca persiapan, satu dua lembar, menyusun kata dan penyegaran, hingga
benar-benar nggak sabar.
“BOS, AYO! UDAH JAM BERAPA INI? TELAT KITA!”
Yang di kamar mandi menyauti, menggeremeng-geremeng.
“Zal, menurut lu, guaa pakai celana atau sarung?” Tanya gua pada Rizal yang
sedang fokus menghadap laptop, meminta pendapat.
“Orang ganteng pakai apa saja tetap ganteng, Bang!” Jawabnya dengan aksen
Jawa yang nggak bisa ditutup-tutupi, di sela mengangkat pandangannya.
“Tapi, kemarin gua pakai sarung, Bang.” Lanjutnya.
“Sarung? Ini kan acara formal?”
“Ya terserah sih, Bang.”
Lengkap sudah gua yang memilih memakai celana, kepala suku akhirnya selesai
mandi. Nggak butuh waktu lama, dirasa cukup, kami berangkat.
Di sana, gua dan kepala suku langusng disambut di ruang transit. Ternyata
pemateri PMI sudah datang, cukup tua, bapak-bapak yang berkarisma dan tampak
profesional.
Ia melirik, gua mengangguk menyapa.
Sebagaimana lazimnya lembaga formal, di ruang transit, kami disambut oleh
segenap guru. Membicarakan berbagai hal, ringan-ringan, sesekali tertawa kecil.
Siapa sangka, dari sekian guru, ada bu Indri di sana! Siapa pula yang nggak
kenal, secara beliau adalah wali kelas gua sewaktu kelas 10? Tapi kayaknya,
sedikit berita buruk, beliau tampak lupa dengan murid kecenya satu ini. Gelagatnya
menjawab. Wajar saja, menjadi wali kelas satu tahun dan selalu terdistraksi
dengan murid-murid baru di setiap tahunnya. Bahkan sekarang, hitungannya sudah
5 tahun jangka pertemuan itu.
Ya, beliau wali kelas dan guru matematika yang hebat!
Dan juga, ya, senyumnya manis.
Di sana, ternyata acara baru saja dimulai dan masih dalam sesi
sambutan-sambutan. Acara itu bertempat di lantai 2 gedung yang bisa dibilang
besar. Obrolan di ruang transit tetap berlanjut, kepala suku paling antusias! Ia
serasa memiliki sihir pada lisannya.
Satu dua tawaran untuk dimakan jajannya, diminum airnya: dipersilahkan.
“Ini kok mepet banget ya, bu, acaranya?” Tanya gua, bukan sekedar
basa-basi, memang tercipta dari kebingungan murni. Secara memang kalender
akademis sudah persiapan memasuki liburan, yang seharusnya sibuk ujian, kok
masih sempat ada gelar acara?
Ibu guru yang tampaknya baru itu, jelas bukan bu Indri, menjelaskan
bahwasanya agenda acara ini sebenarnya sudah dirancang jauh-jauh hari. Namun
sayang, pasti selalu ada saja hal yang menghalangi dengan bentrok agenda lain.
Berkali-kali. Sekalipun nggak digelar, kasihan pada anak-anak menjadi titik
berat bu guru itu memberi alasan.
“Saya dulu juga lulusan MA loh, bu.” Jujur gua.
Lalu sedikit cerita-cerita nostalgia. Apa boleh buat pantas saja gua nggak
kenal, tepat di tahun gua lulus, beliau baru saja masuk menjadi guru.
Sedari awalnya memanggil gua ‘Pak’, lantas beralih ke ‘Mas’. Haha. Dan
beliau pun, guru baru itu, masih sangat pantas saja dipanggil ‘Mbak’ atau
mungkin ‘Kakak’.
Ya di ruang transit itu, tampak seru, setiap orang memiliki tema dan teman
obrolannya tersendiri.
Tepat di saat gua menanyakan rundown acara, bu guru baru itu menjelaskan
dengan seksama. Entah kenapa di saat ngobrol, seringnya beliau yang menghadap
layar handphonenya. Padahal sedikit gua lirik, beliau hanya berputar-putar
widget, bahkan tanpa chating. Gerak kakinya tampak gelisah.
“Lah, kenapa?” Batin pemuda yang sadar bahwa ia sudah ganteng kalem sedari embrio.
Hingga, jam itu tiba: waktunya seminar!
Gua dan pak PMI yang belum sempat berkenalan itu dituntun untuk naik ke
lantai 2, diarahkan untuk mengisi masing-masing setiap sisi aula yang besar
itu. Akan ada 2 kelas seminar, dengan masing-masing kelas nggak memiliki jumlah
peserta yang seimbang. Bagaimana bisa untuk gua yang mengampu 2 ekskul
sekaligus?!
Tapi bagaimanapun, ya, lagi-lagi, mengeluh nggak akan menghasilkan apapun.
Hingga, momen itu: gua yang melihat wajah-wajah mereka, mereka yang melihat
wajah gua. Saling bersitatap.
“Bang, nanti nggak pakai mic, ya? Soalnya suaranya takut nabrak sama kelas
sebelah.” Ucap panitia yang gua kenal itu.
“Aman.”
Proyektor siap, peserta siap, gua kurang.
Dengan menimbang seminar, agak kurang leluasa jika saja gua hanya bisa
duduk. Karena bagaimanapun, meja pemateri plus moderatornya sudah disiapkan.
Posisi kelas, sangat pas menghadap layar proyektor dan memang duduk dirasa
lebih relevan dibanding harus berdiri.
But, it’s okey. I’am fine, gencana teng neng neng neng....!
Gua membuka suara.
“Selamat siang, teman-teman!”
“Siaaaang!”
“Sudah sarapan?”
“Beluuum.”
“Sama.”
Gua ngakak pada cemberut khalayak, tertawa di atas penderitaan orang lain.
Dengan begitu, cukup untuk memberi kesan di awal, tentu hal-hal yang dapat
menarik antusias.
Pada awal pembicaraan, adalah momennya. Menjadi ruang untuk membuka
interaksi, dialog obrolan dua arah, sebelum fokus ke materi. Ya, hal itu gua
maksimalkan. Sebut saja sesi perkenalan.
Hingga, apa jadinya untuk power point dengan 23 slide?
Nggak seperti yang dibayangkan, selaku alumni, gua cukup mendalami
karakteristik mereka. Kami merasakan satu nasib yang sama.
Teknik andalan, pembahasan dibuka dengan pertanyaan: apa itu
jurnalistik?
Hal yang terlintas, pasti jurnalistik hanya sesederhana berita. Lalu, gua
arahkan untuk mengenal penyebaran berita di jaman purba; yunani, indian, hingga
nusantara.
Tentu pada definisi etimologi dan literal, diambil dari kata journal
dan istik. Dengan ini, keresahan terjawab, nyatanya anak ekskul Kesenian
tetap dapat perhatian: mereka dapat istik.
Lalu pada lingkup jurnalistik dalam berita, pada kepenulisan dan lingkupnya
pula, tentu tanpa sekalipun melupakan konteks sejarah Acta Diurna dan aksara
pertama: Hieroglif, Hanzi, Cuneus Forma, Maya Glyphs.
“Hingga, para budaklah yang bertugas mengisi Acta Diurna demi kepentingan
urusan majikannya. Dan para budak itu disebut Diurnalis, hingga disebut sebagai
akar kata dari jurnalis. Jadi kita para jurnalis, berarti budak?!”
Mereka tertawa dalam berpikir keterbingungan: lucu.
Di sesi ini, semua narasi penjelasan dibalut dengan konteks cerita sejarah
dan refleksinya.
Sebelum akhirnya, mulai masuk ke pembahasan teknik. Dari dua sub yang
dibalut dengan pertanyaan, kenapa harus menulis? dan bagaimana cara
menulis?; soal ide dan mood, juga 3 ide tulisan dasar; gua banyak mengutip
sebagian besar ucapan para cendekiawan penulis. Ya, gua hanya mengembangkan dan
menyampaikan maksud penjelasan mereka.
Bedanya, entah, di akhir sebelum ditutup dan tanya jawab, gua rasa, gua
perlu mengutip ini: mutiara beliau yang terus gua pegang, dua sekaligus.
“Di Al-Mahrusiyah itu nggak ada waktu luang,
tapi luangkanlah waktu!”
“Bukan di mana kita belajar, tapi bagaimana
cara kita belajar!”
Dengan itu, hingga benar-benar gua tutup dan tanya jawab.
Satu dua menyampaikan pertanyaannya, gua jawab sekenanya. Mereka tampak menerima.
Moderator menyimpulkan pembahasan, acara ditutup dengan foto bersama: kece
bersama.
Komentar
Posting Komentar