Becus

Di suatu kelas yang membosankan.

“Hei yang belakang! Sini kamu!”

Datangnya seorang lelaki garang, atau mungkin sok garang: pakaian, kulit, gelap sekujur tubuh; berdiri tegap di mulut pintu, menunggu.

Yang dipanggil, memenuhi panggilan. Riuh lalaran nazham Jawahirul Maknun masih nyaring terlantun.

“Kamu tau apa kesalahanmu?” Tanyanya dingin, di luar kelas.

“Nggak, Pak.”

“Nggak merasa salah?”

“Nggak, Pak.”

Ia mendengus, mulai panas.

Dengan cepat ia menyambar keras peci pemuda di hadapannya, membuatnya terkesiap, kepalanya terasa ditempeleng.

“Ini maksudmu, apa?”

Peci itu dicengkram kuat, dihadapkan wajahnya.

“Kenapa pecimu nggak standar?”

“Oh, ini nggak standar toh, Pak?”

Tanpa menanggapi, ia tetap melancarkan pertanyaan-pertanyaan, meluapkan api amarahnya.

“Sudah berapa lama kamu pakai?”

“Dua minggu, Pak.”

“Dua minggu?!” Ia tampak terkejut, serasa baru saja berhasil mengungkap rahasia alam semesta.

“Melanggar peraturan ini selama sua minggu?!”

Pertanyaan itu benar-benar menusuk, di atas puncak emosi.

“Maaf sebelumnya, Pak. Lah, seharusnya kinerja njenengan yang dipertanyakan, kenapa dari dua minggu pelanggaran, njenengan kok baru tau? Nggak becus!”

Apa yang terjadi selanjutnya?

Hah?


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Termometer

Semut

Kepompong