Yik

Hampir 2 minggu, tulisan ini mangkrak, nggak kunjung tertulis: jujur, ini berat. Sedari lengang senyap pada tengah malam di selesainya menulis 2 judul berita Isra Mi’raj, memberi suatu energi yang entah apa.

Mari, kita coba pelan-pelan.

Perihal pondok ini, sekotak kamar sederhana dan nyamn itu menamai dirinya dengan Iksanda, M.12 Lorong Ibnu Sina.

3 tahun dan kesan pertama, tentu, bukan nggak mungkin, hanya terhalang kepercayaan diri untuk menuliskan semua kesan tanpa melibatkan perasaan, hingga melahirkan huruf-huruf yang jujur dan tenang.

Apa jadinya jika gua menghadirkan ahlu bait, habaib sebagai pembahasan? Para dzuriyyah Nabi punya tempatnya tersendiri di pondok dan hati ini.

Singkat saja, kamar gua didiami oleh seenggaknya 6 habib. Untuk satuan kamar yang diisi 30 orang, barokah itu, hitungannya tumpah-tumpah. 

Belum lagi perihal lingkup asrama.

Dari sekian nama besar, seperti Habib Zakariya Nur Salim Basyaiban dan Habib Abdurrahman As-Segaf, nama Habib Agil Al-Attas dirasa lebih memeluk.

Ya, Habib Agil bin Sholeh bin Muhammad Al-Attas.

Beliau itu telah lebih dulu mendiami petak kamar dengan segala kedaerahannya. Sebagai sesama santri yang juga mengecap pendidikan masa putih abunya di pondok ini, gua berjarak umur 4 tahun. Di saat gua masih baru memilih jurusan, -beliau atau ia gua menyebutnya, sudah menginjak semester 3.

Secara beliau itu kakak kelas gua.

Yik Agil, gua menyebutnya.

Gua cukup akrab, bahkan bisa dibilang akrab. Meski candaan nggak bisa selepas seperti pada kakak kelas lainnya, tapi Yik Agil adalah tipikal orang yang seru. Bagi gua, cukup jarang, ada suatu hal yang dianggap ‘seru’ dari orang Tegal, terutama dalam porsi kami, orang Jabodetabek.

Yik Agil punya itu, selalu memudarkan batas-batas yang ada, hingga sama dan setara.

Tapi sayang, selama 3 tahun gua mendiami hangat dinginnya kamar itu, Yik Agil sering pulang: beliau punya sakit, yang entah apa.

Kondisi tubuh yang kian hari kian kurus, sampai benar-benar kurus dan ringkih, nasi ayam krispi tanpa sambel yang kerap kali dititip ke gua untuk beli, nyatanya selalu nggak pernah habis. Sedangkan obat, adalah rutinitas.

Dengan nggak memberi tau penyakitnya, mungkin menjadi salah satu cara untuk nggak merusak ‘keseruan’ yang tersisa. Jangan sampai ada iba.

Dan beliau, sekalinya pulang pasti lama.

Hingga bahkan, di sepindah kamar dan jenjang mahasiswa, gua selalu menyempatkan bertandang ke petak kamar itu, untuk hanya sekedar menyapa segelintir teman lama yang tersisa atau berkenal dengan santri-santri baru, anggota keluarga baru.

Tapi, kali itu, beda. Mungkin gua hanya punya satu kesempatan untuk suasana petak kamar itu yang lebih hidup: Yik Agil kembali datang ke pondok.

Ya, semua keluarga, baik masih domisili di petak kamar atau kamar lain, hingga alumni sekalipun saling berdatang bertandang, hanya untuk sekedar saling bertatap dan berbincang. Tentu, Yik Agil yang menyatukan kami semua.

Obrolan perlahan mereda dan interaksi mulai melerai, tepat di saat benar-benar di antara kami semua capek tertawa. Capek bercanda. Terus, makan bersama adalah jawaban yang sederhana.

Hingga, kira gua perihal ’satu kesempatan’, nyatanya menjadi ’satu-satunya kesempatan’ kala itu. Sebelum akhirnya Yik Agil kembali pulang karena sakitnya dan harus boyong, dirumahkan, dan...

“Sepurane, niki enten kabar dateng grup, bahwasanya Yik Agil sedo. Niki bener nopo mboten?!” Ucap Pak Ilham, tersadar dari membisunya beberapa menit, di ujung jam pulang madrasah diniyah.

Sontak saja, bunyi nyaring kenteng besi yang dipukul tanda jam pulang kemudian, nggak lagi bisa menggetarkan apapun dalam diri ini: sampai akhirnya, kabar itu menghancurleburkan hati ini.

Yik, hampir 2 minggu saya nggak bisa nulis ini, menyederhanakan bagaimanapun. Karena memang, ini bukanlah hal yang sederhana. Jenengan orang baik, Yik. Jenenan orang baik. Semua hal menyenangkan yang terjadi, biar saya simpan sebaik mungkin dalam diri yang belum tentu sama baiknya dengan apa yang disimpan.

Rasanya terlalu singkat, Yik. Tapi bagaimanapun, Allah punya caranya tersendiri, jawabannya tersendiri. Mungkin itu salah satu bentuk sayang-Nya, dengan memberikan cobaan berupa sakit. 

Maaf, Yik. Terima kasih.

Sehat selalu di sana.

Bahagia selalu.

Tenang.

Yik Agil bin Sholeh, lahul fatihah…

Cengeng dalam Jum’at/17/01/25.


Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Termometer

Semut

Kepompong