Sembab

Entah apa yang terjadi dan harus dilakukan, di suatu hari di bawah rindang pohon flamboyan yang merunduk.

“Nai, aku nggak perlu mengatakan apapun lagi. Nggak ada hal yang perlu aku jelaskan dan tunjukkan lagi ke kamu. Itu tidak lagi berarti. Aku kenal kamu, kamu kenal aku, karena memang kita udah lama saling mengenal.”

Wajah-wajah itu, tatapan mata itu, hingga bibir-bibir yang bergetar.

“Kamu pun tau, bahwa aku mencintaimu. Sungguh, aku mencintaimu dalam ucapan dan tindakanku. Semua udah aku tunjukkan, semua udah aku buktikan. Nggak ada alasan yang pasti dan terlalu bermuluk-muluk, bahwa tanda cinta adalah sebuah kenyamanan. Dan itu yang aku rasa selama ini, saat segala sisi dirimu melekat padaku.”

“Tapi, bagaimanapun, cinta tidak dibangun dengan keterpaksaan. Dalam arti lain, kita harus memahami cinta dengan kerelaan. Karena memang dalam konsepnya, cinta itu pernyataan, bukan pertanyaan. Kita hanya perlu menyatakan, tanpa harus menuntut berbalas jawaban dalam pertanyaan-pertanyaan.”

Ujung kalimat itu, mengenal, menyapa sudut bibir dan lentik bulu mata yang berkedip berulang kali: mengerjap.

“Dengan ini, mungkin untuk terakhir kali, kunyatakan bahwa aku memang benar-benar mencintaimu. Apa adanya dan semampuku. Kunyatakan dengan sadar, bahwa aku rela. Kunyatakan bahwa aku bahagia dengan segala hal yang mampu membuat kamu bahagia: meskipun, bahagiamu itu bukan aku. Bahagiamu bukan karena aku, bahagiamu bukan dengan aku. Kuulangi, aku rela, Nai.”

Sambut genggam tangan itu, ditahan, dilepas halus.

“Cinta dan mencintai itu penuh konsekuensi, Nai. Dengan kenyataan ada orang lain yang kamu pilih untuk apa yang kamu sebut bahagia, aku menghormati itu, aku menghormati ia.”

“Tapi, jika suatu saat nanti kamu masih bersempat bertanya apakah aku masih mencintaimu, sebagaimana sifat alamiahnya cinta yang tidak bisa kita terka tumbuhnya, kita juga tidak bisa memastikan kapan layu hingga matinya. Jika bunga cinta itu masih bermekar dan mengharum, maka aku akan selalu menunggu kupu-kupu yang kurindu itu untuk kembali pulang dan hinggap.”

“Bukan berarti aku mengingkari janji dengan tidak menghormati bunga yang telah kamu pilih untuk tempat kembali pulang dan hinggap, mekar dan harum itu, aku hanya bermaksud jujur: aku mencintaimu.”

Kali itu, angin mengisyaratkan deru yang lain. Menerpa segala yang menjadi gejolak diri, untuk melampiaskannya menjadi apapun dengan cara dan bentuk apapun.

“Teruntuk anda, Mas. Saya tidak mengatakan bahwa bunga tidak mempunyai duri untuk menyakiti siapapun. Dan saya berharap, saya tidak sampai menggunakan duri itu untuk menyakiti anda karena tau anda telah menyakiti Naila.”

“Saya pun tau, kita nggak saling kenal dan saya nggak perlu ikut campur dalam urusan hidup seseorang. Tapi, dirasa sudah sepatutnya jika perbuatan buruk akan mendapat balasan yang buruk. Karena memang, segala hal memiliki konsekuensi dan timpal balik, sebab akibat. Jika saja Naila mendapat perilaku buruk atas kejahatan anda, saya berharap, sayalah yang akan menyampaikan balasan itu: bahwa hanya untuk sekedar menyampaikan, itu adalah perilaku buruk, anda itu jahat. Jadi bijaklah dalam memainkan air matanya.”

Tidak menyisakan apapun, tidak meninggalkan apapun.

Sembab.

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Termometer

Semut

Kepompong