Masterpiece
Tepat, di sebelum terpejamnya mata merajut lelap, pikiran ini begitu mengusik.
Pada rebah kepala di suatu bantal tipis
semerbak perpaduan Molto Japanese Peach dan Downy Sunrise Fresh, tampak gusar
dengan posisi tidur memiring ke kanan, berulang kali.
“Kok bisa, ya? Telinga, dengan teksturnya.
Pas gitu. Coba kalau tulang telinga sekeras tulang jari, terus dipakai tidur
miring, pasti sakit, pasti bengkok-bengkok pas bangun tidur!”
Ya, patah-patah, seperti itu. Sleep anxiety
yang aneh.
Sebagaimana lazimnya, pertanyaan itu hanya
sebatas injury time waktu tidur. Selepas bangun, seharusnya ya sudah, lupa,
nggak ada urusan.
Tapi suatu hal yang menyenangkan dari
membaca buku, adalah seringnya menemukan suatu keterangan yang menggelitik
pertanyaan-pertanyaan yang jauh, lama terpendam.
Nyatanya, besok gua menemukan jawabannya
dari bukunya Dr. Fahruddin Faiz, Menjadi Hamba, Menjadi Manusia.
Di bab pertama, perihal fitrah, bahwa dapat
dipandang dari perspektif filsafatnya. Bahwa manusia adalah tujuan akhir
penciptaan, manusia adalah mikrokosmos, dan manusia adalah cermin Tuhan.
Tepat pada penjelasan manusia adalah tujuan
akhir penciptaan, bahwa segala hal yang tercipta di alam semesta ini sejatinya
diperuntukkan untuk manusia. Karena memang, manusia adalah makhluk Allah yang
paling istimewa, sebagaimana telah dijelaskan di sub awal buku itu: manusia
dengan status mukarram, mukallaf, mukhayyar, dan majzi.
Kembali lagi, semua hal yang tercipta,
diperuntukkan untuk manusia. Bumi dengan segala isinya diatur agar layak dan
sesuai dengan kehidupan manusia. Kelembapan, suhu, matahari dan jaraknya.
Bayangkan saja, jika matahari maju beberapa meter saja, mungkin manusia akan
musnah.
Begitu juga perihal anggota badan. Mata,
hidung, telinga, mulut, tangan, kaki, semua diletakkan pada posisi yang
strategis. Kompatibel.
Bayangkan saja, jika Allah menciptakan mata
manusia berada di posisi samping seperti ayam, tentu kita akan kesulitan dalam
berbicara dengan orang lain. Begitu juga soal siku tangan yang tepat berada di
tengah, jika saja sampai meleset sedikit, pasti akan sulit bersedekap saat
sholat.
Dan masih banyak lagi.
Itu kenapa, bahasanya, manusia adalah
masterpicenya Allah. Semulia itu manusia, sesayang itu Allah.
Lantas Dr. Fahruddin Faiz, sedikit
mengkritik soal pemikiran Darwin soal teori evolusinya.
“Kalau menurut teori Darwin, wujudm manusia
saat ini adalah hasil evolusi selama berpuluh-puluh abad. Jika dia terbentuk
sesuai kondisi bumi, semuanya karena kebetulan. Kalau yang cocok hanya satu
dua, mungkin saja itu kebetulan. Tapi, kalau semuanya cocok, pastilah bukan
kebetulan. Manusia sangat cocok, sangat kompatibel dengan alam semesta karena
kita memang diciptakan untuk itu. Manusia adalah puncak evolusi-kalau meminjam
istilah biologi. Kita ini puncak penciptaan. Kita adalah final, masterpiece, yang
paling dibanggakan Allah.”
Dengan itu, kesimpulannya?
Bertanya, membaca, menulis: sesederhana
mungkin, adil sejak dalam pemikiran!
Komentar
Posting Komentar