Kutu

Di dunia kutu, hiduplah seekor kutu beras.

Meskipun bernama kutu beras, sejatinya ia bukan perusak sebagaimana stigma buta stereotip yang berlaku. Ia justru menjaga, ia begitu peduli pangan. Memang seperti itu, terkadang kebaikan harus berlaku dengan cara seragam agar dipahami dan diakui. Ia tetap ia yang berbuat baik, berusaha menjadi baik dengan berbuat baik.

Di sisi lain, ia bertemu kutu rambut, di suatu waktu: mereka berteman baik.

“Udahlah, Ras. Harus dengan apa aku peduli? Harus seperti apa agar kamu percaya?” Ucap kutu rambut buntu, pada hal ini ia hampir menyerah sebagai teman: romantisasi sesama kutu.

“Aku masih punya sabar.”

“Hah? Sabar? Untuk cintamu padanya, mungkin kali ini bukan itu jawabannya. Kamu kutu beras, ia kutu buku, kalian tak sederajat: bukan lagi sabar, tetapi sadar!”

Deg!

Cukup sesak.

“Kamu itu kutu, janganlah serakah untuk juga mencoba menjadi batu. Ayolah!” Lanjutnya, di ujung batas, hingga benar-benar menyerah.

Sadar!

Sadar!

Sadar!

Kalimat itu begitu menusuk. Sabarnya luluh lantah. Kutu beras benar: sadar!

Kutu beras sadar. Meski bukan sadar yang bermakna berhenti sebagaimana yang dimaksud kutu rambut, temannya. Ia tetap sadar, ia tetap punya cinta: mana bisa?

Sebagaimana layaknya bibliophile, menjadi seikat buku bukanlah hal yang terdengar begitu fiktif dan manipulatif. Ia percaya, bahwa usaha tak akan mengkhianati hasil. Hal itu pula yang ia sampaikan pada pena, selaku tokoh yang tepat atas peliknya permasalahan ini, untuk tulus cintanya: meskipun tulus tak selalu beriringin mulus.

Itu wajar, ini perjuangan!

“Aku memahamimu, aku tau akan ketulusan dan kegigihan itu.” Ucap pena, menghadap wajah itu sepenuhnya, dalam-dalam, sedikit kelam.

“Buku itu berisi banyak, luas, dan ilmu yang berat. Dan ilmu itu didapatkan dengan belajar pada buku sebagai arti ilmu itu sendiri. Maka tak ada jawaban yang pasti selain membaca banyak, luas, dan berat buku-buku: lalu, menulislah! Kamu berilmu, kamu buku.”

Deg!

Sebagai pukulan yang kedua, kali ini mengena, sisanya adalah degup.

1.     Tetralogi Pulau Buru-nya Pramoedya Ananta Toer.

2.     Serial Anak Nusantara-nya Tere Liye.

3.     Solilokui dan Harmonium-nya Budi Darma

4.     Di Bawah Lindungan Ka’bah-nya Buya Hamka.

5.     Pada Sebuah Kapal-nya N.H. Dini.

6.     Senyum Karnyamin dan trilogi Ronggeng Dukuh Paruk-nya Ahmad Tohari.

7.     Tidak Ada Esok-nya Mochtar Lubis.

8.     Catatan Pinggir-nya Goenawan Mohamad.

9.     Kujilat Manis Empedu-nya D. Zawawi Imron.

10.  Pemimpin Yang “Tuhan”-nya Emha Ainun Nadjib.

11.  Bumi Cinta dan Api Tauhid-nya Habiburrahman El Shirazy.

12.  Sepotong Senja Untuk Pacarku dan Kitab Omong Kosong-nya Seno Gumira Ajidarma.

13.  Tiga Menguak Takdir-nya Rivai Apin.

14.  Deru Campur Debu-nya Chairil Anwar.

15.  Layar Terkembang-nya Sutan Takdir Alisjahbana.

16.  Ballada Orang-Orang Tercinta-nya W.S. Rendra.

17.  Hujan Bulan Juni-nya Sapardi Djoko Damono.

18.  Perjamuan Khong Guan dan Tidak Ada Asu Di Antara Kita-nya Joko Pinurbo.

Siapa yang tak gemetar? Siapa yang tak gentar? Ini halilintar!

Hingga, akhirnya, kutu beras itu adalah buku: ia mencintai buku, ia mencintai diri sendiri, ia dicintai Si Kutu Buku.

“Jika harap impian jodoh terlalu jauh, mungkin, kita, hanya cukup sadar diri dan berusaha memantaskan!” Tulis si kutu beras di blog ini, sedari tadi.

Bagaimana akhir nasib cinta Si Kutu Beras dengan Si Kutu Buku?

Jawahirul Maknun menutup kisah ini:

إذا ما نهى الناهي فلج بي الهوى   *   أصاخت إلى الواشي فلج بها الهجر

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Termometer

Semut

Kepompong