Khazanah

Entah, tulisan ini akan berakhir panjang atau pendek, berat atau ringan: gua nggak berniat capek-capek, kita lihat saja, bismillah!

Perihal satu kata ‘Khazanah’, banyak hal yang bisa dijelaskan dan ceritakan. Dari segala kesan dan sudut pandang. Suatu agenda tahunan itu selalu menjadi momen spesial di hati para pesertanya, para siswa jenjang akhir. Nggak hanya perihal ziarah, tapi juga momen muwadda’ah atau perpisahan dengan para dzuriyyah.

Ziarah wali lima Jawa Timur untuk siswa jenjang akhir tingkatan Madrasah Tsanawiyah.

Ziarah wali sembilan untuk siswa jenjang akhir tingkatan Madrasah Aliyah dan Madrasah Diniyah.

Dan perpisahan untuk kami semua: kami, yang dipertemukan dan dipisahkan di pondok ini. Kami, yang berbagi bahagia dan sedih, bersama.

Nggak ada antusias yang berlebih untuk khazanah kali ini, hanya berharap barokah ziarah dan hal-hal ringan:

Pertama, perihal teman sekursi.

Hal ini perlu diperhatikan. Karena, mood 4 hari ke depan akan ditentukan olehnya. Akan seseru apa ruang gerak, bercanda, juga obrolan-obrolan yang terjalin. Berjam-jam di bus, berhari-hari yang akan datang, kita akan punya interaksi dengannya.

Tapi sayangngnya, cukup mengenaskan: teman sebangku gua problematik. Dengan kenyataan gua yang bukan tipe orang mabuk bus dan nggak ada masalah dengan sensasi ac-nya, apa daya yang tetap nggak kuasa pada hal kontaminatif.

Mau seberapa banyak air jernih dalam ember, jika tercampur lumpur segenggam, tetap akan keruh juga.

Mabuk perjalanan dan sensasi ac yang dirasa aman bagi gua, apa jadinya jika hal itu dipadukan dengan ‘sepercik bumbu rahasia’ yang kita mengenalnya dengan ‘aroma ketiak’. Aroma ketiak yang menyeruak. Tiba-tiba saja, udara dingin ac itu menjelma sebagai karbon monoksida atau sulfur dioksida yang mematikan.

Kebayang nggak sih, ada sebuah aroma busuk dengan sensasi coldy?

Dari seisi teman satu bus yang kebetulan masih satu kelas, sebut saja fulan itu, memang terkenal ‘bangkai kelas’. Bangkai dengan makna yang semestinya: suka tidur dan bau.

Hari-hari menuju hari keberangkatan, gua jadi sering mendapatkan kalimat tabah dan tips and trik dari khalayak.

Entah hidungnya copot atau tersumbat Gigonotosaurus, kok ia bisa-bisanya sekebal itu?! Sedang penghayatan karakter? Atau malah bentuk berdamai dengan jati diri?

Masa ia nggak ngerasa sama sekali? Atau seenggaknya menangkap gelagat aneh dari orang di sekitarnya tanda nggak nyaman? Jujur, bagi gua sendiri, kalau udah ngerasa sedikit beraroma keringat aja, nggak nyamannya udah setengah mati. Bukan hanya soal kita, mikirnya malah lebih ke orang lain: kita merasa nggak nyaman, karena takut orang lain nggak nyaman karena kita. Paham, kan?!

Untungnya, parfume udah masuk list barang bawaan.

Bolak-balik gua semprot parfume di setiap kesempatan, nggak ada sekalipun rasa tersindir. Jatuhnya, malah kayak gua yang bau, kayak gua yang jadi pelaku. Mungkin cara semprot parfum gua yang salah: harusnya tuh parfum gua semprot ke mukanya! Sialan.

Kedua, perihal jendela bus.

Bagai sebuah anugerah, bisa mendapat kursi di dekat jendela merupakan tiket surga bagi mereka yang beruntung. Dan sayangnya, gua nggak beruntung.

Sebagaimana celotehan penduduk bumi yang menusuk perihal gua yang penyuka alpukat, “Orang gila mana yang hidup dengan suka alpukat?” katanya.

Kalau boleh meminjam kata Pandji Pragiwaksono, ‘Man, cut that stupid shit!’

“Lah, orang gila mana yang dapat kursi di dekat jendela, tapi malah tidur atau sibuk main hp?!”  

Dengan itu, gua menyadari dari sekian mereka yang ‘beruntung’ tapi ‘bodoh’, malah tertidur atau main hp sambil bersandar pada jendela, tanpa sesekali menjenguk hal-hal di luar sana, di sepanjang perjalanan dan penghayatan: akan sederas apa ide dan mood itu?

Untungnya, buku juga masuk ke dalam list barang bawaan.

Bolak-balik membuka setiap lembar, dari satu bab ke bab lainnya, dari pembahasan satu ke pembahasan lainnya, dari satu pernyataan ke banyak pertanyaan dan lelah. Lalu, menarik selimut dan tertidur. Begitu di sepanjang perjalanan. Tidur karena dan untuk membaca. Nggak ada buku yang nggak tuntas di setiap perjalanan, ditambah kali ini gua bawa buku tulis dan pena. Lengkap sudah!

Selain guide dadakan dari Pak Bustan yang seru membahas sejarah dan musik, pengamen nggak kreatif, juga menu-menu konsumsi berasa asam, yang namanya ziarah begitu aja, sama: makam, tahlil, do’a.

Sedari Makam Yai Sepuh Pondok Induk, KH. Imam Yahya Mahrus, Syekh Sulaiman Mojo Agung, Syekh Jumadil Kubro, Syaikhona Kholil, KH. Muhammad Utsman Al-Ishaqi, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Gresik, Sunan Drajat, Sunan Bonang, Sunan Muria, Sunan Kudus, Sunan Kalijaga, Sunan Raden Fatah, Sunan Gunung Jati, hingga Syekh Ali Gedongan.

Sedari naik bus, damri, angkot, delman, becak, ojek, hingga jalan kaki.

Sedari war air makam, tukang pentol, hingga kamar mandi: setiap orang punya orientasinya tersendiri, jalan tirakatnya masing-masing.

Kalau mau jujur, ini kali ketiga gua berangkat ziarah wali sembilan dan semuanya terjadi di pondok ini. Kurang lebih, persisnya, sensasi dan excitednya nggak jauh beda. Sisi rasa penasaran akan eksplore tempat baru dan mengenalnya, cukup terjawab.

Kalau nggak karena perihal, “Kapan lagi, Bat? Ini momennya!” gua nggak akan ikut. Dan kenyataannya gua memang hampir nggak ikut. Ditambah dengan biayanya yang meroket mencekik, “Mending buat beli buku, jalan-jalan, kulineran. Kebetulan karena event empat hari ziarah ini madin jadi libur.” Pikir enteng gua kala itu.

Belum lagi pasti perihal pengeluaran selama ziarah, mulai ongkos kendaraan, jajan, dan oleh-oleh.

Oh, oleh-oleh, udah ada berapa nama yang sedari awal mencantumkan diri dan memaksa mencantumkan diri: atas nama kamar, asrama, kantor, jam’iyyah, angkatan, ekskul, orang rumah.

Belum lagi yang request do’a: kenyang sudah.

Tapi bagaimanapun, ini memang momennya. Perihal bersama dengan mereka yang seperjuangan, juga dengan para dzuriyyah dan do’a-do’anya. Itu paling mengena.

Alhamdulillah, keluarga besar dzuriyyah turut ikut. Kecuali Ning Etna dan Gus Rouf yang berhalangan.

Pesan-pesan dari Gus Reza, Gus Melvin, Gus Nabil, Gus Izzul, Gus Anas, dirasa hanya mereka yang memiliki ikatan batin yang kuat untuk bisa merasakan getar debar itu.

Gua nggak bisa menulisnya di sini.

Biarlah gua tulis dalam-dalam, dalam diam: termasuk dengan segala hal menyenangkan lainnya.

Semoga capek-capek, lelah-lelah, menahan kantuk-menahan lapar, buru-buru naik turun bus, berdesak behimpit, berdingin-bergerah, berpegal-pegal mulut dan kaki: dihitung sebagai amal baik.

Gua jadi ingat dawuhnya bapak mustahiq, tepat di sebelum berangkat ziarahnya:

“Jangan anggap ini agenda kalian. Ini agenda dzuriyyah! Diniatkan ikut ziarahnya dzuriyyah!”

Selain barokah dari para wali, gua tentu sangat mengharap ridho barokahnya para dzuriyyah: semoga nggak gagal jadi santrinya,

Tapi satu hal yang tersadarkan, memang benar, suatu hal yang berbeda memang memiliki rasa yang berbeda dan sudah seharusnya diperlakukan berbeda.

Panjang umur hal-hal baik!

 

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Termometer

Semut

Kepompong