Ibadah
“Bih, bangun yuk!”
Aku membuka mata. Wajah istriku
begitu cantik. Ia bersiap. Jam menunjukan pukul 04.30 WIB.
“Ayo kita
subuhan, Bih!”
“Iya.”
***
“Bih, bangun
yuk!”
Aku membuka
mata. Wajah istriku begitu cantik. Ia
bersiap. Jam menunjukan pukul 03.00 WIB.
“Kan belum subuh?! Baru jam 3?!” Bingungku.
“Tahajud, Bih.”
Aku berhasil
paham, menyingkirkan kemungkinan-kemungkinan lain.
“Habis itu…”
Lanjutnya.
Nah, kan!
Aku gagal
paham, mengumpulkan kemungkinan-kemungkinan lain: selarut dan sederas hujan
begini.
“Kita muroja’ah
Qur’an ya, Bih?!”
“Oh, iya Mih.
Kita muroja’ah Qur’an.”
“Yaudah deh,
aku wudhu dulu.”
Ia berpaling, beranjak, satu dua
beberapa langkah, dan…
Darrr!
Aku mengusul ibadah lain yang nggak
perlu ada pertimbangan dan nggak boleh ditolak.
Aku mendekat.
Ia tercekat.
Kami terangkat.
Sepertinya ia
nggak keberatan: sama sekali.
Alhamdulillah, masih
diberi kesempatan beribadah: menikmati beribadah, dengan rela.
Alhamdulillah,
keluarga ini penuh barokah.
“Ahh..”
Eh, bunyi!
“Ssst, jangan
kencang-kencang suaranya!”
“Perasaan aku
nggak sekencang ini deh tadi pijatnya?!” Lanjut protes sang suami.
*Pijat memijat
yang dibarengi dengan dan demi kemaslahatan keharmonisan keluarga, Insya Allah
bermakna ibadah dan mendapat pahala. Kebetulan suaminya memang kuli piramida
fir’aun, jadi gampang capek dan pegal-pegal. Apalagi kalau malam. Itu kenapa
mereka melakukannya di waktu malam. Soalnya kalau pagi sampai sore masih di
proyek, masih kerja. Jadi, please: pikirannya. Kita semua tau batas porsi
’baik’-nya masing-masing.
Komentar
Posting Komentar