Tumbuh

Setelah melewati masa serangkain ujian yang penuh lelah dan secuil liburan yang membuat jengah, semester 2 dengan segera menyapa KBM madrasah diniyah dan hati-hati yang gerah.

Bagi sebagian orang, semester 2 bisa diartikan dengan berbagai hal. Mungkin senang dan antusias, juga biasa saja atau malah lemas. Ya, semakin ke jenjang tahun akhir pelajaran, semakin kencang pula penekanan: makna kitab atau malah hafalan nadzom. Tapi gua nggak akan membahas itu kali ini. Ada hal lain yang sekiranya, ya, cukup mood untuk coba menuliskannya di sini: sebuah kejadian yang penuh ajaib!

Keajaiban itu menimpa suatu kelas yang memiliki suhu ruang lebih hangat dari leher orang yang udah seminggu meriang. Seperti biasa, malam itu berjalan hambar sebagaimana mestinya. Hingga, suatu pengumuman disampaikan oleh yang punya wilayah, Rois Amm’.

“Berhubung kita sudah memasuki semester 2, saya sebagai Rois Amm’ akan membentuk kepengurusan rois yang baru sebagai bentuk regenerasi dan pemberian kesempatan bagi teman-teman untuk belajar menjadi rois.”

Kelas itu seketika bergemuruh, menuai pro dan kontra audiens.

Mau seberapa ngotot dan mayoritas audiens yang menolak, tetap saja, dirasa semua argumen mereka tertolak dan nggak masuk akal. Nggak membangun dan nggak mempertimbangkan kemaslahatan.

Akhirnya, putusan tetap dipegang Rois Amm untuk tetap segera reformasi. Dengan pertimbangan yang kuat, seperti regenerasi dan penyegaran, kesempatan belajar menjadi rois, kesempatan dapat pengalaman, dan tentunya sebagai penambah amunisi musyawarah mingguan.

Dengan itu, lantas pembentukan kepengurusan rois resmi digelar.

Sebagaimana ketentuannya, bahwa calon ditentukan dengan cara otoritatif. Nama A, nama B, dilempar saja untuk diajukan hingga pemilihan dan setuju. Acara reformasi itu berjalan anarkis meski tetap dalam koridor syar’an wa adatan: ya cukup seru.

Bukannya memang seperti itu nuansa orde baru? Jadi nggak usah kaget!

Sedari Rois Amm’ dan wakilnya, juga rois-rois pelajaran yang berjumlah 8 itu: semuanya lengkap diganti. Gua merasa lega dengan senormal dan semanusiawi mungkin, bahwa emban amanah menjadi rois akhirnya terselesaikan: tuntas.

Meskipun entah optimal atau nggak, puas atau nggak.

Ya, cukup dibilang terlambat sih jika baru mengenal peroisan di masa jenjang sekarang ini. Sedari mereka bocil-bocil ibtida’ dan tsanawi, peroisan bagi mereka mungkin terdengar lebih familiar. Tapi mau bagaimana lagi, ya lebih baik terlambat dari pada nggak sama sekali. Bukankah begitu?

Seru itu nggak berhenti, sampai hari-hari ke depan, hari-hari di mana para rois baru menjalankan tugas pertamanya. Terlihat menggemaskan dan kinyis-kinyis.

Mereka maju, membawa kitab, dengan wajah yang sulit dijelaskan. Tugas rois disesuaikan dengan jadwal pelajaran di hari itu. Kebetulan saat itu jadwalnya kitab Faroidul Bahiyah, ya Said maju menjalankan tugasnya sebagai rois.

Cukup seru peroisan kala itu. Maksud penyegaran itu terasa. Siapa sangka, mau siapapun orangnya, secerdas dan sejago apapun, jika belum punya pengalaman menjadi rois, ya mental itu terlihat.

Padahal sepasti bagi mereka yang jelas cerdas dan jago, apalagi bagi mereka yang ‘kurang’ cerdas dan jago: kita sepakat, soal ini gua nggak menyebut siapapun. Tapi kalau lu nekat menerka, ya silahkan.

Said maju, dengan tangan bergetar dan suara terbata, dengan malu-malu meraih melihat buku terjemahan itu sesekali.

Sekian lama bergelut dalam peroisan, seru nggaknya, gua jadi paham bahwa peroisan adalah bentuk belajar yang paling non-nepotisme dan kapitalisme. Jangankan mendekat dan berebut, mereka malah saling menjauh dan mendorong orang lain untuk menjadi kandidat. Entah kenapa, rois ibarat suatu status menyeramkan yang selalu meminta tumbal.

Jelas sudah, di luar kompeten nggaknya, di setiap pemilihan rois baru selalu menuntut mereka yang yang memiliki karakter ‘tumbalable’. Entah, macam-macam kategori: wajah, suara, status, jokes, public speaker, hingga nggak mengecualikan bagi mereka yang memang benar-benar cerdas. Meskipun bisa saja peroisan malah mengarah kepada mereka yang malas, agar bisa terdongkrak rajin sebab ini.

Said terus menjelaskan perlahan tapi nggak pasti. Ekspresi wajahnya berubah sesuai dengan tanggapan audiens. Satu per satu qauluhu dibahas penuh libas. Peserta forum terlihat antusias, menikmati, hingga kenyangnya.

1 dibalas 3, setiap hal yang diomongkan Said, benar nggaknya, bagaikan butiran pelet yang dilemparkan ke kolam ikan lele. Brubuk brubuk brubuk, ikan lele saling sikut demi mendapat umpan pakan itu.

Melihat ruang kelas yang semakin riuh, gua cengar-cengir aja dengan membenamkan diri dalam berkutat lembar kertas, menerka masa yang cukup jauh ke belakang.

Perihal Said, gua penah mengalaminya jauh di 5 tahun belakangan, pas lagi baru-barunya santri baru. Sebuah tahun pertama yang menjadi titik untuk tahun-tahun berikutnya dan setiap tahun hingga kini: menjadi rois.

Entah kenapa, kala itu, gua bisa ditunjuk menjadi rois. Padahal secara, gua belum ada yang kenal siapa-siapa dan apa-apa. Gua hanya seorang bocah culun pendiam yang masih planga-plongo saat ada orang yang ngajak ngomong pakai bahasa Jawa.

“Kamu orang kota, ya?”

“Orang Jakarta, ya?”

“Rumahnya dekat nggak sama monas?”

Apalah jamet itu.

Emang nggak bisa ngomong bahasa Jawa, pasti kota?

Emang orang kota harus Jakarta?

Emang Jakarta harus dipatok monas?

Tapi untuk kejadian di ruang kelas itu benar-benar terjadi dengan gua yang ditunjuk sebagai rois Khoridatul Bahiyah. Sedikit informasi untuk kitab Khoridatul Bahiyah ini, ialah sebuah kitab nazhoman yang sering disebut dengan nama Dardir karena mengarah ke nama pengarangnya yaitu Imam Ahmad Al-Dardir, disertai dengan penjelasan yang ditulis menggunakan bahasa jawa pegon.

Lu nggak salah dengar, jawa dan pegon: seperti sia-sia mushonif itu memberikan penjelasan pada santri yang lelet bahasa Jawa ini.

Ditambah ruang kelas yang nggak hanya diisi dengan mereka yang anak SMA sebaya, tapi juga mereka yang mahasiswa dan terbilang cukup banyak. Merasa ‘lebih’ senior padahal masih sama-sama santri barunya, menjadikan mahasiswa itu lebih leluasa menguasai atmosfer kelas. Apalagi bagi mereka, mahasiswa-mahasiswa ngapak: nggak jelas, sok asik! Muka-muka warteg, bawaannya bikin lapar.

Dengan keculunan gua dan ruang kelas model halaqah tanpa kursi, rois sudah tentu harus maju berdiri di depan menjelaskan menghadap khalayak yang udah siap dengan mulut karetnya. Bisa dibayangkan saat itu, ujian mental yang terlalu dini bagi santri baru, seharusnya menjadi sebuah pemakluman untuk bisa lapor ke orang tua lalu boyong dengan menjelek-jelekkan pesantren: seharusnya.

Tapi...

Gua tetap terpilih.

Gua tetap terima.

Gua tetap belajar.

Gua tetap maju.

Gua tetap menjelaskan.

Gua tetap menjadi rois.

Gemetar dan celoteh khalayak yang menggelegar: tetap gua rasakan dan terima, lalu bertumbuh.

Untungnya gua hanya tertolong dengan peroisan itu sebagai pelajaran munawib yang seminggu sekali.

Gua cukup bersyukur, bahwa dulu gua tetap berusaha terus maju melangkah ke depan, meski selangkah dua langkah, meski tertatih dan perlahan, meski sesekali berhenti dan terjatuh.

Pelajaran diberikan selama di perjalanan, dalam prosesnya: dan manis hasil hanya bisa dirasakan bagi mereka yang telah sampai di titik akhir tujuan, dari sekian panjang dan terjal perjalanan.

Pengalaman terkadang sering kali memberikan pembelajaran yang unik dan mengesankan, juga tentunya mengena.

6 tahun memiliki pemaknaannya tersendiri, seenggaknya bagi gua.

Lakukan selama itu benar.

Teruslah berusaha dan berproses: jangan cengeng!

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Termometer

Semut

Kepompong