Sate
Mungkin untuk sekarang dan ke depannya, gua nggak akan pernah tidur malam. Meskipun bukan sama sekali tanpa tidur: ya, sedikit dipindah jam tidur.
Karena
mempertimbangkan ada kegiatan yang tercantum dalam daily activity schedule, di
jam malam hingga subuh dan paginya: bagaimana pun, gua harus lulus Madrasah
Qiro’atil Qur’an!
Ini tahun
terakhir.
Udah sampai
hafalan terakhir.
Do’ain.
Sebagaimana
layaknya suatu kebiasaan yang terbentuk dari hal yang terbiasa, kegiatan ‘melekan’
ini pun tetap terbawa di hari minggu, di hari yang sebenarnya libur dan
longgar. Entah kenapa, jika belum datang siang sebagai jam tidur, kelopak mata
akan terus terbuka dengan sensornya yang
terus aktif.
Hingga, tepat
saja, hari minggu itu memaksa gua untuk berpikir di hari yang sepenuhnya masih dini:
kegiatan apa yang dipilih?
Selepas subuhan
dan lalaran beberapa surat, gua malah merebah, menyelami konten-konten youtube.
Apapun, macam-macam.
“Eh, bocah,
hidup tuh gerak!” Seru matahari yang kian memuncak, menggertak galak.
Berpikir
sejenak: apa? Ngonthel cari sarapan, mungkin bukan ide yang buruk.
Siapa yang
menyangkal, Gor Jayabaya ditambah hari minggu pagi adalah destinasi!
Badan yang
selalu ditempa berjubar-jubar air setiap subuh, rasanya begitu pede
melawan embun dan sejuk pagi tanpa jaket atau seenggaknya hoodie, atau mungkin crewneck:
gua pakai kemeja seadanya, lu boleh menyebutnya collarless shirt, grandad
shirt, mandarin collar shirt, kurta shirt, atau henley shirt. Bebas.
Tapi, itu yang gua maksud.
20 menit yang,
yah, cukup melelahkan. Akhirnya sampai, sekeringat dua keringat.
Sejujurnya, gua
bingung mau sarapan apa. Secara emang, gua termasuk tipe orang yang jarang dan
nggak terbiasa sarapan. Sesekali mengecap lidah, berupaya mencipta bayang
selera, kayaknya tetap nggak begitu membantu.
Sedari ujung,
kanan-kiri, mata ikut membantu proses penggugah selera itu. Mulai dari nasi
tumpang, nasi rames, kebab, pentol, cenil, cireng, cimol, jasuke, dimsum,
sostang, mochi, gorengan, buah, hingga
hal-hal yang nggak bisa dimakan, seperti pakaian, perabotan, dan tanaman hias.
Semua pedagang itu menunjukkan kapasitasnya.
Hingga, tepat
saja, sampai ujungnya. Nggak ada satu hal pun yang dapat menarik perhatian dan
selera ini. Stang onthel hampir saja memutar balik, coba peruntungan di putaran
kedua sepeda itu berkeliling, mengitari.
“Makan sate,
enak kali, ya?!” Pikir gua melihat segerobak tukang sate yang berjualan
menjorok ke dalam, terpencil, tersembunyi: jauh dari kebisingan, tempat yang sepertinya
cukup nyaman.
Memesan,
menunggu, menyantap.
Seporsi sate
ayam yang berisi 10 tusuk dan beberapa potongan lontong, dirasa recomended
dengan harganya yang hanya 10 ribu. Harga dan rasa bumbu kacangnya sama-sama
sulit dijelaskan akal sehat. Ditambah 3 ribu untuk es teh manis, lengkap sudah
kenyang dan syukur ini.
Tapi,
sejatinya, penulis tetaplah penulis. Instingnya terus menuntut peka dalam
mengamati sekitar. Lalu dicerna otak, nggak sedikit yang nyerempet hati.
Ya, entah
kenapa, pasangan adalah keywordnya.
“Lucu, ya?!”
Tiba-tiba aja,
bagi gua, pemaknaan status pasangan itu begitu lucu. Meskipun hanya terlihat
dari hal-hal yang ekstern dan kontras. Meskipun hanya dari 2 unsur sederhana:
lelaki dan perempuan.
Ada yang tinggi
bersanding pendek, terang-gelap, kurus-gemuk, tua-muda, aktif-pasif,
manja-mandiri, serius-bercanda, hingga lainnya dan apapun. Perihal ganteng
nggak ganteng, cantik nggak cantik, apa urusan kita perihal subjektif?
Cinta itu
perasaan! Nggak melulu soal masuk akal atau logis.
Satu lagi, pada
karpet yang digelar memanjang melebar, nggak berselang lama gua duduk, menepi 2
sepeda: yang satu sangat maskulinitif dengan sepeda gunung, yang satunya sangat
feminimitif dengan sepeda lipat.
Jika kalian
menebak hanya ada 2 orang yang akan singgah, berarti itu tebakan yang salah. 2
orang dewasa itu ditemani seorang anak perempuan umur batita yang, ya, cukup menggemaskan.
Tentu saja itu anaknya, mereka orang tuanya.
Nggak mungkin
juga, sang anak yang baru bisa berjalan lancar itu lambungnya langsung dicekoki
sate ayam. Ia lebih memilih membeli bakpau, ditemani ayahnya.
Dan ini nih.
Sekembalinya ayah dan anak itu, duduk bersama bersanding, sang orang tua malah
sibuk dengan hp-nya masing-masing. Gua bisa memastikan sang ibu sedang bermain
TikTok, mudah saja disimpulkan dari backsound alay yang menyeruak. Putri kecil
itu, cepat menyapu sekitar, celotehnya hanya ditanggapi kalimat-kalimat malas
orang tuanya: sekenanya.
Gua nggak mau
berteori soal ini, dengan mengaitkan sesuatu, mengutip sesuatu. Hanya nggak
habis pikir kok bisa-bisanya orang tua itu sibuk dengan hp-nya? Emang ada suatu
hal yang lebih manis dari duduk bercengkrama keluarga kecil, seraya larut dalam
tingkah lucu sang anak? Gua rasa nggak ada.
Setelah bayar
dan beranjak, niat hati gua untuk membeli buah sebagai cuci mulut. Nggak
sengaja tadi lihat alpukat diskonan, 10 ribu dapat 2 biji. Terbayang aja es
alpukat kocok dengan susu full cream ala-ala hand made, lalu teguk.
“Maaf, kak.
Alpukatnya belum matang, palingan 2 hari lagi baru matang.” Ucap fruity
girls itu.
Baik.
Ya kali 2 hari?
Onthel gua
beranjak, berniat pulang. Tapi, sesekali melihat pernak-pernik sekeliling di
sepanjang perjalanan, gua teringat dengan Alexander, cupang merah putih yang
berjenis betta splendens, belum sebulan berteman baik dengan Mulyono.
Sebagai anggota
baru, pemerataan hak harus dijunjung: bukan botol, Alexander harus punya rumah
baru!
Dari sekian
pegiat dan pemerhati fish man, di antara toko dan gerobak, membawa gua
pada pada kedai Si Mbah. Kedai yang berada di ujung jalan itu, langsung
menghadap jalan besar. bukan hanya perihal pegiat dan pemerhati ikan, beliau
juga pengrajin akuarium. Keren!
Berbagai macam
jenis ikan, juga aqurium custom-nya, serius, kece-kece!
“Lihat-lihat
dulu ya, Mbah.”
“Monggo-monggo,
Mas.”
Wajah
antusiasnya, selaras dengan langkahnya yang masih tampak gagah bersemangat.
Klek!
“Wah, itu asli,
Mbah?” Spontan saja, gua terperangah pada akuarium ala-ala yang sangat estetik.
Dengan model kaca tempered yang dibuat berukir bergelombang, terasa simetris
untuk penyatuan dengan lampu metal halide.
Hal yang bikin
silau bukan hanya perihal tampilan eksterior, tapi pada individu yang hidup di
sana.
“Itu terumbu
karang?” Belum sempat menjawab, pertanyaan kedua udah menungkik.
“Lihat aja,
Mas.”
Ternyata,
bongkahan yang gua kira terumbu karang, adalah balok kayu. Tampak hidup balok
kayu itu dengan air mengalir di atasnya. Nggak hanya itu, semua anemon di sana
pun hidup! Termasuk lumut yang sepertinya berjenis ceratodon. Ikan neon
tetra tampak nyaman dalam lincah siripnya.
Dengan itu,
lantas saja, gua menemukan guru spiritual percupangan yang tepat. Termasuk juga
tentang lingkungan adaptasi dan siklusnya.
“Cupang itu,
ukuran minimal akuariumnya itu 10x5.” Jelasnya penuh serius, seperti seorang
dosen yang sedang menjelaskan antitesis terhadap mahasiswanya.
Hingga, kuliah
pendek matkul percupangan itu cukup panjang dan serius, 3 SKS dan nggak perlu
dijelaskan.
Selalu
menyenangkan menyaksikan kisah makhluk bumi!
Komentar
Posting Komentar