Peluk
Sebenarnya, apa yang hendak manusia cari? Kenapa semua harus sesuai dengan keinginannya?
Seenggaknya, mungkin, ada beberapa hal yang kita jadikan pegangan, kita
jadikan acuan. Kita cukup mempercayai sedikit hal, di atas banyak hal yang begitu
dicurigai atau bahkan ditolak mentah-mentah.
Gua sepenuhnya percaya, bahwa Allah nggak akan membebani seseorang kecuali
dalam kesanggupannya.
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
Allah Maha Pengasih, Maha Penyayang: Allah nggak setega itu.
Tapi, di saat kita telah meyakini itu dan memeluk erat untuk setiap
tantangan-tantangan yang harus dihadapi, terkadang, di suatu waktu, otak malah
mengingatkan dalam pikir: sadar, lu itu emang nggak kuat!
Hadap tantang tugas yang bertubi itu nyatanya memang menyiksa. Kita dituntut
selesai, bukan karena egois. Tapi, ada nasib orang lain yang bergantung di
sana. Dan harus diakui, seberapa keras usaha dan memaksakan, bahwa pada
akhirnya, kita tetap gagal.
Lalu bagaimana maksud ayat itu? Apa gua yang salah memahami?
Tapi, hebatnya, terkadang gua sadar, bahwa Allah sebenarnya menjawab setiap
pertanyaan kita melalui hal-hal yang nggak kita duga: meskipun terkesan unik
dan penuh kejutan.
Itu mengapa kita harus terus berprasangka baik pada-Nya. Nggak lain, salah
satunya, agar mempertajam penangkapan dan penerimaan jawaban itu.
Sampai pada saatnya, mungkin waktu maghrib itu dirasa lebih manis dari
waktu maghrib yang sudah-sudah. Secara tanpa sadar, bahwa pembiasaan bisa
menjadikan kepribadian, seenggaknya konsisten melakukan hal dalam durasi
minimal 40 hari: itu yang pernah gua dengar.
Tapi, perihal tadarus membaca Al-Qur’an ba’da maghrib ini udah gua mulai
sejak dari SD. Ya, meskipun berawal dari perintah paksaan orang tua yang
terkadang malah melahirkan penolakan dan nangis-nangis berkepanjangan. Ya,
meskipun omelan balasan dari orang tuanya nggak kalah mengerikan.
Haha, kalau ingat kejadian itu, gua cukup terharu. Kalau ada kesempatan,
nanti gua bisa memulai cerita dan berbagi tulisannya di sini.
Hingga, kini.
Meskipun minimal 2 halaman setiap hari. Ya, terus berlanjut, terus
diusahakan, sesibuk dan semalas apapun.
Hingga akhirnya, di setiap jam tadarus itu, gua mulai membiasakan memakai
Al-Qur’an terjemah. Meskipun sebelumnya rutin menggunakan Al-Qur’an standar
Madrasah Qiro’atil Qur’an yang Rasm Utsmani, yang tanpa terjemah dan penunjuk
tajwid. Ya tujuannya, supaya melatih kepekaan tentunya. Tetap baik maksudnya.
Tapi dengan memakai Al-Qur’an terjemah dan penunjuk tajwid, hitung-hitung
melalar pemahaman, sekaligus mengoreksinya. Dan terjemah itu, dengan kenyataan
masih Rasm Utsmani, sangat bermanfaat untuk penghayatan makna.
Itulah jawabannya.
Entah kenapa, maghrib itu, gua tampak tersendat membaca setiap ayat. Hingga,
benar-benar memilih berhenti, di saat belum sampai batas ujung minimalnya, atau
mungkin jeda: malah mengambil selembar kertas dan pena, lalu menulis.
وَلَا تَهِنُوْا وَلَا تَحْزَنُوْا وَاَنْتُمُ الْاَعْلَوْنَ اِنْ كُنْتُمْ
مُّؤْمِنِيْنَ
“Janganlah kamu (merasa) lemah dan jangan (pula) bersedih hati, padahal
kamu paling tinggi (derajatnya) jika kamu orang-orang mukmin.”
Di Surat Ali Imran ayat 139 itu, gua rasa, Allah begitu manis memberikan
jawaban: memeluk.
Komentar
Posting Komentar