Paket

Mungkin sering kali kita terbesit mempertanyakan perihal keadilan Tuhan.

Sesederhana nggak terbalasnya kebaikan yang kita lakukan.

Mana melakukan baik akan diperlakukan baik?

Mana siapa yang menanam ia akan menuai?

Terasa bagai sebuah sentimen, nyatanya ‘orang-orang itu’ terlalu mendalami peran dari refleksi kalimat, “hidup adalah sebuah perlombaan”.

Nggak ada yang salah untuk itu, karena memang setiap lomba memang ditujukan untuk menang. Tapi cara mereka untuk meraih kemenangan: benar-benar menjijikkan dan kekanak-kanakan.

Berhasilnya mereka untuk mencapai taraf tingkat sebanding, malah semakin menambah kerakusan egoistik itu.

Gua nggak pernah sesekali untuk merasa dendam saat membangunkan ‘orang-orang itu’ agar bisa berangkat MQQ dan lulus tepat waktu, di saat yang bersamaan mereka memberikan tawa puas saat melihat gua yang bangun kesiangan nggak berangkat MQQ dan tentunya nggak dibangunkan.

Meskipun nggak secara langsung, wajah-wajah itu menyimpan keterpuasan tanduk iblis yang nyata.

Setelah 3 hari jadi korban pengkhianatan dengki peserta lomba karbitan, nyatanya hari itu gua bisa menerobos kantuk dan subuh. Tepat saat adzan terkumandang, “Ayo bangun, subuhan. MQQ, nggak?”

Gua yang selepas mandi, memakai pakaian terkece, lalu bersiap sholat subuh dan pernak-perniknya.

Gua berangkat MQQ tepat saat ‘keroco-keroco itu’ lebih dahulu berangkat dengan penuh semangat. Nikmat sekali rasanya, terbangun dari tidur pulasnya.

Sesampainya di sana, seperti biasa, apa yang harus dilakuin ya gua lakuin. Lalaran beberapa ayat, hingga lembar yang mampu dijangkau. Selebihnya, gua udah cukup siap untuk apa yang akan disetorkan saat menghadap beliau nanti.

Nggak lama, gua cukup kaget yang melihat Fahmi rupanya udah kembali masuk. Karena secara, kemarin ia baru saja izin pulang ke rumah, jangka seminggu durasi izin untuk jarak rumahnya.

Berbincang ringan, ia mengaku baru sampai tadi malam dan belum tidur demi bela-belain berangkat MQQ: segitunya.

Mendengar itu, bukannya tersentuh, gua malah terpacu untuk berbuat lebih. Seenggaknya dari pencapaian lalaran dan setoran. Hal itu, malah gua jadikan tolak ukur untuk diri sendiri. Terus maju bergerak tanpa harus menghambat laju orang lain. Gua pahami betul konsep hidup yang perlombaan itu.

Tapi sayangnya, hari itu, beliau nggak hadir.

Sampai di suatu titik, gua kembali mempertanyakan keadilan itu: apa yang gua dapat? Apakah kebaikan benar bisa sia-sia? Gua udah sejauh dan seberusaha ini? Semembahagiakan apa berdamai dengan kedengkian dan ketidakadilan?

Gua menghitung waktu, sedikit demi sedikit: sedetik demi sedetik, lalu detak.

“Lu mau jengkol?” Tiba-tiba saja, Fahmi nyeletuk seperti itu di antara sayup lelah kelopak matanya.

“Lah, mau. Emang lu bawa jengkol?”

FYI, udah menjadi ketetapan sosial, bahwa buah tangan sebagai interpretasi dari idkhol as surur. Berbagi kebahagiaan dalam batas kemampuan. Dan jengkol adalah idkhol as surur mereka yang berdomisili Jabodetabek, yah, ikonik.

Sepulangnya MQQ, gua mampir kamar Fahmi terlebih dahulu, menengok masakan yang sangat pintu rumah itu. Siapa sangka, ternyata jengkol balado 1 wadah besar itu pun ikut mengajak dan memperkenalkan temannya.

“Aku ayam goreng serundeng,” katanya berkenalan.

Cukup tercekat.

“Cari wadah, lu ambil sendiri aja, ya!” Ucap Fahmi, dengan wajah yang sepenuhnya masih terlihat lelah, mengantuk.

Gua cari wadah, menghadap, mulai menyortir satu per satu: tapi sayang, nggak ada nasinya.

Ya sudahlah!

Dirasa cukup, gua berterima kasih dengan pergolakan ludah yang mulai nggak beraturan.

Melangkah semampai, tanpa alas kaki, menenteng lauk pauk berselera sepulang MQQ nyatanya cukup membuat heran khalayak yang berpapasan melihat wadah lauk pauk berselera tipe outdoor itu.

“Pulang MQQ bukannya bawa Al-Qur’an, kok malah bawa jengkol seayam goreng serundengnya?!” Bingung mereka, mungkin.

“Emang seberselera itu?”

Haha!

Aromanya cukup menjawab.

Baru sampai komplek kamar, pada tetangga, pintunya terbuka.

“Ada nasi, Ba?” Tanya gua iseng-iseng pada Uba, tepat sebelum gua berniat ke warung untuk beli nasi.

“Ada nih, Bang.”

“Serius?”

“Iya.”

Wah!

Sedapatnya nasi yang menggunung, malah membawa pada sesi terngauh-ngauh bernyam-nyam ria dalam suap-suap yang penuh pesona: maaf, bagian ini nggak bisa diceritakan. Kalau lagi makan, katanya jangan banyak ngomong.

Beranjaknya hari, bertukar satu dua kegiatan dan bersambut.

Nggak berhenti sampai di situ, di waktu sore, tiba-tiba saja.

“Bat, ada paketan atas nama lu.” Ucap beliau, selaku orang di bidangnya: Departemen Pos dan Telekomunikasi.

“Paket?!” Bingung gua.

“Iya, buruan ambil.”

Sejak kapan gua paketan? Dari siapa? Apa? Perasaan gua nggak belanja online dan sekalinya pun harus coba, nggak akan mungkin gua alamatkan ke pondok. Mboten eco kados niku, Mbah Yai mboten remen!

Tanpa diduga dan taraaa!

Gua dapat paketan dari orang rumah, tiba-tiba sekali.

Gua hanya bisa menerka, apa isinya: cinta dalam bentuk apa?

Lu mau tau apa isinya? Ternyata sama sekali bukan makanan seperti apa yang gua tebak. Bukan apa, karena Ibu gua selalu kampanye penyuluhan masakan hand madenya ke anak-anaknya: di manapun, kapanpun, bagaimanapun.

Sekotak paket yang nggak terlalu besar itu berisikan 4 macam:

Pertama, peci putih sejenis nabawi. Berbahan kain, bukan batok. Sangat momentum sekali, kebetulan peci gua baru aja hilang, atau mungkin disita.

Kedua, sarung Wadimor. Tebakan gua pada sarung yang nggak disertakan kotakannya itu, kayaknya motif Bali Moon. Yah, gua lagi butuh banget sarung, krisis primeritif.

Ketiga, nggak habis pikir, gua dipaketin Jersey Persija dan yang Retro! Oh, ikonik sekali jersey tahun 1985 itu. Vintage dan kece parah! Dengan mengingat kini Persija peringkat 2 Klasmen, sedikit lebih bangga dan pede memakainya. Mari kita bungkam jawir-jawir!

Keempat dan nggak kalah out of the box, oh oh oh: gua dipaketin Novel Pulang dan Pergi-nya Tere Liye! Ini penawar yang mujarab untuk kemarau diri yang dahaga akan asupan novel yang akhir-akhir ini tersendat hingga writer block-nya! Apakah ini menjadi pertanda bagi gua untuk harus memulai berani dan bertantang dengan novel-novel series Teri Liye?!

Sebagaimana jengkol dan ayam goreng serundeng sebelumnya, paketan ini berakhir sinyal ujung telpon yang tersambung: dan tentu saja, lagi-lagi nggak akan diceritakan.

Hingga satu hal yang membuat gua harus menulis lebih ini, perlu kita ketahui, bahwa Allah pasti selalu memberikan jawaban atas segala pertanyaan kita. Allah selalu memberi bahagia itu. Hanya saja, nggak melulu dan harus sesuai dengan apa yang kita harapkan.

Allah lebih tau apa yang kita butuh, bukan apa yang kita ingin.

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Baik

Dompet

Dosa