Tenggelam
Lembar itu dibuka.
Pena memulai gurat.
Perasaannya bertutur:
Malam, apa ini temaram? Apa mungkin tenggelam?
Jika seperti itu, tenggelamkan aku dalam gelap, dalam seseorang yang sulit
membuatkan terlelap.
Hai, bagaimana malammu? Tidurmu pulas? Mimpimu
indah? Kita sudah lama sekali tidak berbincang. Atau mungkin, kian hari, kita
kian sendiri: masing-masing dan asing. Entah, aku tidak mau menyalahkan
siapapun. Meskipun harus jujur, aku sedikit terganggu akan hal itu: aku tak
menyukai kebisuan, ia terus menyesakkan.
Yah, semua seperti paradoks. Semua serba
salah. Seakan menjebak dan mengikat. Aku sama sekali tak menyukai pahitnya
kehampaan, tapi di satu sisi, rindu ini kian manis. Itu kenapa kamu
mengosongkan dan sekaligus mengisi diri ini. Jikapun kamu tak paham, ya sudah.
Sekalipun akan kujelaskan, apa mungkin kita berbincang?
Dengan itu, sudikah kau mendengar ceritaku
meski barang sejenak? Ya, cerita, bercerita, dan mendengarkan cerita, selalu
memiliki tempat tersendiri di hati kita. Meskipun kini, tempat itu kian
lengang: kita tau itu.
Tak apa jika kamu tak ada sudi mendengarkan,
tak ada waktu atau peduli, tak apa. Aku tak pernah dan tak akan pernah memaksa.
Karena aku sendiri pun tidak suka melakukan dan diperlakukan seperti itu. Hiduplah
menjadi dirimu, tetaplah menjadi dirimu yang tak akan pernah menutup mata.
Ceritaku ini, bermaksud hanya tak ingin membuat
tempat itu kian lengang hingga berdebu: aku menyayangi sepetak ruang itu.
Kamu tau? Aku baru saja memimpikanmu, suatu
mimpi dari deretan panjang mimpi lain yang datang, menyapa, dan meninggalkan
makna tentangmu. Entah kenapa, mimpi-mimpi itu lebih sering bertamu: meminta
bertemu.
Jangankan sebuah taman dengan hamparan bunga
yang bermekar mengharum, kala itu, malah sebuah jurang dalam yang suram.
Bagai sebuah cinema yang diputar dalam roll
panjang monokrom hitam putih, menampilkan beberapa potongan scane yang sama
sekali nggak ada kuasa kita untuk menentukan dan menetap: di sekolah, di kota,
di desa, di pasar, di jalan, di wahana, hingga di masjid sekalipun, kita
dipertemukan di setiap tempat dan keadaan.
Tempat itu kian berbeda, namun keadaannya
tetap sama: aku yang selalu menghadap, menatap, dan menetap; dan kamu yang
selalu menghindar, berpaling tanpa sepatah kata pun.
Seakan aku tak pernah ada.
Seakan tak pernah menerima aku ada.
Itu melelahkan.
Itu menyakitkan: perih sekali.
Mimpi kala itu, atau yang sudah-sudah, selalu
satu langkah terasa lebih nyata.
“Nggak usah banyak meromantisasi, lagi pula
itu hanya mimpi!” Sergahmu, mungkin, angin lalu.
Baiklah, perlu kusampaikan, dengan kerendahan
hati, aku memang tak lebih cerdas dibandingmu. Mungkin aku kalah di segala hal.
Aku sama sekali bukan apa bagimu. Tapi, bukannya kita tetap harus belajar?
Mengetahui banyak hal, meski sedikit demi sedikit? Bukannya kita tetap harus
memperbaiki?
Bukankah kita tau, bahwa mimpi terbentuk dari
proses aktivasi-sintesis yang berupa aktifnya sirkuit otak pada Rapid Eye
Movement saat tidur, hingga tepat, memicu amigdala dan hipokampus untuk membuat
serangkaian impuls listrik yang serta merta menghasilkan pikiran, gambar, dan
ingatan acak: kita tentu mengenal akrab J. Allan Hobson dan Robert McCarley,
atau setidaknya pernah mendengar, pernah membaca.
Atau, ingin kusederhanakan dengan penuh
kerendahan hati untuk orang secerdas dirimu? Biarlah, aku pun tetap menantikan
momen yang menyatukan kita dalam lingkup belajar dan bersama: setidaknya, mimpi
besar kemungkinan tercipta dari suasana hati dan pikiran di sebelum tidur.
Ya, mimpi termasuk cara untuk menghadapi drama
emosional dalam hidup seseorang.
Jangankanlah aku untuk suasana hati dan
pikiran yang penuh di sebelum tidur? Apakah kamu tau, aku sudah menjemput mimpi
pertamaku tepat di saat kamu baru saja mulai mengeja namaku!
Sudahlah, tak apa. Aku tidak bermaksud apapun.
Kamu tau, aku tidak mudah bercerita. Aku tidak pandai. Lagi pula, katanya,
lelaki itu tidak bercerita: haha. Meskipun kita tau, adalah hak siapapun yang
menjadikan cerita sebagai perawatan jiwa.
Aku hanya bersyukur, aku mempunyai teman yang
bernama menulis ini.
Aku bersyukur, karena aku bisa bersyukur dan
menulis.
Apakah kamu merasa tertuntut atau bahkan
tertekan pada pernyataanku untuk kita yang akrab menjalin bicara, tak perlu
banyak atau sedikit, penting atau tak penting, asalkan hanya kita, kamu dan
aku?
Tak apa. Bagaimanapun, hal itu selalu kuyakini
dalam-dalam, sebagai harap impian yang meski terdengar sederhana. Aku tau,
semua tak selalu harus berjalan sesuai dengan keinginan kita. Harap impian
selalu bersifat probabilitatif. Terwujud atau tidaknya, tetap harus diterima.
Kita adalah dari apa yang diusahakan.
Di ujung kata, aku meminta maaf. Aku tau,
banyak salahku yang membuatmu tak nyaman hingga ‘mungkin’ memakinya lamat.
Tentu aku akan terus menulis.
Tentu aku tak ada masalah jika harus
menulisnya dengan air mata di sehabisnya tinta: tapi, apa mungkin kamu dapat
membacanya?
Sekali lagi, aku minta maaf.
Aku benar-benar...
Ia mengaduh, mengguncang penanya yang tersendat: sayang betul, tintanya
habis.
Detak detik membawa hening: sekejap, mengerjap.
Ia melanjut, setetes dua tetes air mata, pena itu bergerak.
kerennn
BalasHapus