Kitten
Mungkin di sebelum habisnya bulan ini, gua pengen nulis aja hal-hal yang dirasa takan pernah habis ini.
Yah, atau mungkin sedikit cerita penyegaran. Di suatu sisi, masa libur
punya titik jenuhnya tersendiri.
Beberapa waktu belakangan, kamar gua bertambah ramai dengan anggota
keluarga baru, mungkin 5 atau 4.
Sore itu, meski cukup lengang untuk mengucapkan terima kasih pada novel
berpuluh bab, beratus halaman itu, lalu merebah, dan menguncup dalam lelap:
pojokan petak kamar yang nyaman.
Eh, kok lah ndilalah pas maghribnya...
“Ih ih, manak-manak!”
“Eh, iyo kuwi!”
“Ambilin kain!”
“Ojo di ndelokno!”
Lu tau vibes maling tertangkap warga? Ya kurang lebih gitu.
Sinyal ribut yang diterima daun telinga, sontak membuat kelopak mata ini
perlahan terbuka, malas, sebal.
Tepat di depan mata gua, ‘setumpuk’ kucing sedang meringkuk, sesekali
menggeliat patah-patah.
“Sejak kapan nih kucing di sini?!”
Dengan sedikit kaget dan kesal yang tersisa, gua beranjak, wudhu. Mengesampingkan
segala riuhnya makhluk bumi, potret kepedulian sesama makhluk bumi.
Saat kepercayaan diri ‘ke-makhluk-an’ gua mulai kembali, ‘tumpukan’ itu gua
tengok barang sejenak.
Oh... shit!
Ibu kucing itu melahirkan 4 anak yang tentu saja kucing. Meski entah apa
jenis kelaminnya.
Mungkin lepas saja untuk ‘amai’ yang terucap dalam hati, kesal itu menguap
saja dengan basah wajah yang menetes, saat melihat 2 anak kucing berwarna
putih, 1 hitam, dan 1 percampuran putih-hitam.
Kaki-kai yang berjingkrak patah-patah malu, juga grakan kepala yang ragu
dengan mata yang sepenuhnya masih terpejam, sontak menambah tingkah gemas anak
kucing yang berwajah bulat itu.
Gemas, rasanya pengen ngeletuk kepala-kepala mungil itu: saking
gemasnya.
Tapi di luar itu, ke mana bapaknya? Nih anaknya nggak diadzanin?
Mulai dari situ, sekilas, seakan tumbuh satau perasaan yang, ya, cukup
aneh. Seperti suatu kebencian terhadap ‘kelelakian’.
Mungkin ada benarnya ucap kakak bucin gila cinta itu bahwa, “Semua
laki-laki sama aja!”
Kebayang nggak sih gimana dramatisasi faktualnya? Sang Ibu kucing itu saat
hamil, ngidam, hingga proses persalinan. Apakah Sang Suami ada di sisi? Menggenggam
tangan, mengusap kening, dan menguatkan?
Nggak kebayang perasaan ibu kucing itu.
Nggak kebayang nasib keluarga itu.
Istrinya jadi janda, anaknya jadi piatu: langsung, seketika, broken home,
Haha, kayaknya berlebihan deh?! Lagi pula nggak ada istilah ‘kelekaian’
dalam ‘perkucingan’. Adanya juga ‘kejantanan’.
Sederhananya, gua punya’mainan’ baru untuk liburan kali ini. atau mungkin, ‘teman
main’.
Suatu pojok petak kamar harus direlakan untuk relokasi anggota keluarga
baru. Dibangun sebuah rumah dari selembar selimut yang terlipat, harus
direlakan. Apalagi bagi Si Bakwan selaku sohibul maal.
Hingga, hari-hari ke depannya menjadi ruang diskusi dan debat terbuka
perihal perkucingan. Spontan saja khalayak jadi pemerhati kucing.
Belum sempat khalayak memberikan sebaris nama-nama gemoy untuk panggilan
pada setiap anak kucing gemoy itu, kucing belang percampuran putih-hitam itu
mati. Kabar itu seketika aja tersebar ke seluruh penjuru kamar dan hati-hati
yang memar.
Prosesi pemakaman dibalut dengan deraian air mata.
Haha, kayaknya berlebihan lagi deh?!
Dengan itu, dengan sisa bocil-bocil gemoy-nya bu maemunah, -anggap saja
seperti itu- membuat ruang diskusi dan debat terbuka kian sering digelar dan
memanas: untuk mempetahankan ‘mainan’, atau ‘teman main’, eh atau mungkin ‘keluarga
baru’.
Dari sekian banyak isu dan tema yang bisa diperdebatkan akan dunia ‘perkucingan’,
perihal bulu kucing masih belum mendapatkan kesimpulan yang akurat.
Entah kenapa bulu kucing bisa tumbuh dengan begitu cepatnya. Gua yang tau
persis kondisi anak kucing saat masih merah-merahnya baru saja dilahirkan, bulu
itu hampir gundul. Tapi pas besoknya, bulu itu udah tumbuh penuh dan merata,
bisa dibilang lebat dalam porsi anak kucing.
Aktivis saintifik harus membahas ini!
Di luar itu, pernah suatu kejadian membuat gua cukup terenyuh.
Pada suatu pagi, saat gua mulai merasa aneh dengan kegiatan rutin sarapan
di setiap harinya, tiba-tiba aja tuh Si Maemunah, Sang Ibu Kucing, udah bangun.
Ya, meskipun gua ngga terlalu tau persis kapan jam tidur di dunia kucing.
Ia mendekat ke gua, mengeong tanda lapar: matanya menyelidik ayam goreng
gua.
Ia terus mendekat dan mengeong mengiba. Tentu gua nggak ada masalah untuk
berbagi ayam goreng hingga sarapan bareng dengan Si Maemunah, -lagian gua
jomblo dan ia yang udah janda juga kan-, tapi nyatanya nggak sesederhana itu.
Dari seberang, tepat di ‘rumah subsidi’ pojok petak kamar, terdengar
miaw-miaw mengais memanggil sang ibu, meminta disusui.
Di satu sisi, memang serba salah juga jadi Si Maemunah. Akhir-akhir ini ia
jarang nongkrong ngerumpi dengan circlenya, kurang hiburan. Jangankan hiburan,
ia juga udah jarang untuk keluar cari makan demi bisa menemani menyusui
anak-anaknya, lalu mendongeng di setiap jam tidur mereka.
Mungkin itu kesempatannya untuk bisa keluar cari makan, tepat di saat
anak-anaknya masih tertidur. Tapi siapa sangka, saat makanan udah ada di depan
mata, seenggaknya untuk sedikit mengganjal perut, anak-anaknya mengiaw tanda
minta susu.
Gua bisa melihat dengan jelas gurat keterbingungan serba salah Maemunah,
Sang Ibu Kucing.
Seperti di ujung tanduk, antara ia yang lapar atau anaknya yang lapar?
Ia yang kenyang atau anaknya yang kenyang?
Gua menolak berkedip untuk mengetahui jawaban itu.
Sang Ibu kucing memilih balik mundur perlahan, kembali ke ‘rumah subsidi’
untuk anak-anaknya yang butuh susu.
Sontak aja gua terenyuh.
Ternyata sebegitunya sosok seorang ibu, siapapun, apapun, dan di manapun:
gua jadi pengen pulang ke rumah.
Dengan itu, dengan degup dan debar yang kian melebar, gua teringat dengan
obat penenang yang diberika Bang Jason Ranti untuk setiap anak yang memiliki
ibu, setiap anak yang memiliki hati.
Obat penenang itu diberi judul “Pekerjaan Ibu”.
pagi pagi betul ibu sudah
membangunkan matahari
memandikan awan
mengepel langit
sekaligus menyiram pelangi
kelar itu semua ibu lanjut
ke dapur
memasak harapan hangat
sambil berdoa di depan panci
buat semua anak anaknya
Komentar
Posting Komentar