Barista

Di detik yang berlalu, gua termangu: kok hidup bisa selucu ini?

Entah kenapa, pada suatu hal di sudut pikiran, memberi kesan lucu dengan ritme dan jenis artikulasinya tersendiri.

Bulan ini mungkin bisa dibilang banyak sedihnya, banyak lelah dan pasrahnya. Ya, meskipun nggak semuanya bisa diceritakan dan mendapat jawaban.

Mungkin dengan sebab tercubit oleh ‘lucu’ ini, gua bisa cerita barang sedikit, kecil aja. Meskipun juga hal ini nggak bisa dibilang remeh, sama sekali.

Karena apa?

Kemarin, hampir aja, hampir aja cita-cita besar dan paling gua impi-impikan ini terwujud: suatu kesempatan yang menyapa di depan mata, untuk berpeluk haru dengan bertemu Bang Tere Liye!

Lu nggak salah dengar, ya Tere Liye!

Kabar itu lepas saja dengan halus, menyiram hati-hati yang gersang, sedekit memberi pupuk ajaib, lalu menumbuhkan sekuntum bunga dengan harumnya yang nggak bisa dibayangkan seberapa harumnya.

Pada suatu taman bunga yang bernama “ROADSHOW PENULIS TERE LIYE” untuk menyongsong terbitan bukunya yang terbaru, ALDEBARAN bagian 1.

Taman bunga itu resmi dibuka untuk 6 hari, dimulai selasa sampai minggu, setiap jam 4 sore.

Hingga, petugas taman bunga yang menamainya Gramedia Metropolitan Mall Bekasi resmi mengundang gua tepat di hari kamis, saat gua berhalangan hadir di hari selasa dan rabunya.

Roadshow Aldebaran edisi Jabodetabek itu sangat memungkinkan gua untuk pulang dan hadir. Lagi pula, apa halangan? Tinggal izin pondok, orang rumah pasti akan menyambut suka cita kabar gembira itu, bahkan nggak segan-segan untuk menyiapkan tiket perpulangannya. Dan hal baiknya lagi, ‘lokasi taman’ bunga itu hanya perlu 20 menit dari rumah dan udah termasuk macetnya.

Jalan itu begitu terang.

Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak, apa boleh buat? Al insanu fi tafkiri, wallahu fi taqdiri: yah, manusia hanya bisa berencana.

Cepat aja kabar lain datang menyebabkan jalan itu menjadi suram muram durja: di tanggal yang sama, menjadi seksi acara Ngaji Jurnalistik dan koordinator.

Itu bukan main-main.

Seksi acara adalah jantung.

Mimpi itu terkubur.

Apa gua boleh menyalahkan Tuhan atas ‘kejahatan’ ini?

Gua tetap harus fokus pada deadline rundown untuk penyusunan dan pemantapan: meski nggak sepenuhnya selalu berjalan lancar. Meski nggak sepenuhnya penerimaan.

Semua angan-angan seolah terkubur bersama kelamnya akhir bulan. Gua hanya bisa memeluk kalimat di salah satu halaman buku itu:

“Jika kita sudah tidak bisa melakukan hal yang kita sukai, maka mulailah menyukai hal yang kita lakukan.”

Gua berusaha, belajar menyukai kegiatan ini, pelan-pelan. Meski melupakan bertemu sapa dengan Tere Liye jauh lebih sulit dari ucapan ‘pelan-pelan’ itu sendiri. Dirasa, akan ada banyak paragraf yang tertulis tentang hal apa saja yang akan dilakukan saat pertemuan itu, dibanding dengan menyusun acara seperti ini.

Meskipun tetap berhasil menyukai hal yang sedang dilakukan, tetap beda rasanya untuk hal yang dimulai dari keterpaksaan. Lu boleh percaya atau nggak, bebas, itu hak lu.

Tapi dipikir-pikir, mungkin cukup mudah membangun ketercintaan pada kegiatan yang menamainya Ngaji Jurnalistik yang telah menginjak edisi ke-6 ini. Nggak seburuk yang dibayangkan.

Bukan karena apa, meski lingkup jurnalistik itu luas, materi kepenulisan adalah hal wajib. Selalu dimenangkan di atas semua pertimbangan acara ini.

Bukan hanya itu, dari yang sudah-sudah, edisi kali ini akan mengangkat tema sastra!

Dan Ning Najhaty Sharma, adalah nama yang tepat untuk itu: siapa yang nggak tau novel best seller Dua Barista?

Kelopak hati ini mulai menampakkan rekahnya.

Tapi jujur, perihal novel Dua Barista, tentu gua tau novel itu. Suatu novel tentang bagaimana pesantren memberikan definisi romantisasi, yang sarat akan isu keperempuanan di atas realita kuasa patriarki.

Tapi itu hanya sekelibat bayang-bayang gua, tentang novel yang belum gua baca itu. Hanya sesekali pernah pegang dan baca sinopsis dengan sekilas di masa dompet tipis, lagi-lagi nggak berani hingga terkalahkan dengan novel-novel aksi di masa dompet tebal.

Sayangnya, keyword ‘akhir bulan’ cukup menjelaskan saat ini.

Dalam hal instingtif, gua membeli novel untuk dibaca persiapan menghadapi doorprize dan tanda tangan saat meet and great, atau seengaknya untuk modal mengikuti pembahasan pada saat talk show nantinya. Ya, rencana indahnya memang seperti itu.

Tapi mau bagaimana lagi? Sesuap nasi demi mempertahankan hidup, kayaknya lebih maslahat sebagai hifzhu an-Nafs.

Semua hal yang perlu dilakukan, gua lakukan.

Semua hal yang perlu dibenahi, gua benahi.

Proses sampai pada tahap selesai, tinggal melihat hasil proyeksi pada saat acara berlangsung.

Tapi apa boleh dikata untuk satu hari sebelum diselenggarakannya acara, ‘abang-abang pegawai’ tumben sekali mengechat adiknya meski barang sejenak untuk menikmati beberapa potong basa-basi bersama.

Apapun basa-basinya, nggaklah penting.

Ada hal yang lebih penting dari itu:

“Sini nomer rekening!” Tulisnya singkat di ujung pesan.

Dan tas-tes-tas-tes, selampiran bukti transfer diikuti narasi pesan, “Buat beli sarapan nasi uduk aja itu mah!”, lalu do’a-do’a.

Nasi uduk dengan anggaran segitu? Kayaknya bakal muntah 3 minggu deh.

Meskipun begitu, gua tetap menyongsong acara dengan tanpa membeli dan membaca buku Dua Barista itu. Kali ini memang nggak ada waktu, nggak ada kesempatan yang tersisa. Antusiasme, tetap menjadi modal utama.

Dengan kenyataan menjadi koordinator seksi acara yang harus mondar-mandir untuk memastikan bahwa semuanya terkendali dan baik-baik saja, gua cukup pede untuk tetap menulis, menyimak berjalannya pembahasan. Bahkan gua bisa dapat 1 judul berita lengkap saat itu. Jadi jangan tanyakan perihal apa yang gua dapat dan tulis?!

Meski sastra yang menjadi muatan materi talk show tersebut, Ning Najhaty tetap meruntutnya dari dasar, dimulai dari menggali passion menulis, hingga pada inti teknik menulis secara kuantitas dan kualitas, teknis dan non teknis.

“Kualitas bisa didapat dari seringnya membaca karya sastra, sedangkan kualitas berasal dari kepekaan dan hikmah dari setiap pengalaman.”

Dari sekian pemaparan panjang, entah kenapa perihal pembahasan membaca menjadi topik yang selalu ditekankan dan dijelaskan dengan excited lebih, lalu beliau merefleksi beberapa buku-buku hebat dari penulis-penulis hebat.

“Kita harus membicarakan membaca terlebih dahulu, sebelum membicarakan menulis!”

Gua terpukau dengan bacaan-bacaan beliau yang terjelaskan. Nggak heran jika beliau telah menerbitkan 6 buku.

“Banyak penulis hebat yang berawal dari jurnalis!” Ucap beliau berapi-api.

Gua mencerna.

Tepat saja, do’a dalam-dalam.

Hingga di akhir pemaparan sebelum sesi tanya jawabnya, benar saja, akan ada pembedahan novel Dua Barista. Bisa ditebak, gua melongo!

Tapi nggak apa-apa, gua tetap nyimak.

Cepat saja, setelah ada penampilan cipta baca puisi oleh perwakilan pemenang, acara ditutup dengan pembacaan do’a, pemberian hadiah pemenang lomba, dan foto bersama.

Jangan sangka dan cepat puas bahwa cerita ini telah selesai. Itu hanya pengantar, bahwa ada framing acara sebelum ke poin inti: cerita ini baru saja dimulai!

“Untuk edisi kali ini, akan ada diskon 40% untuk setiap pembelian semua jenis buku beliau!” Ucap moderator yang kini menjadi sales dadakan.

“Lu beli, Bang?” Tanya Mail yang udah meraih 3 buku.

“Kapan lagi, Bang?! Sekalian minta tanda tangan dan kata-kata.”

Itu kata kunci penyebab gua beli. Dari sekian judul esai dan antologi cerpen, gua harus memulainya dari novel best seller itu: kebetulan stok bacaan novel gua habis.

“Yaudah, gua ambil satu!”

Info transferan dadakan itu langsung bersambut info buku dadakan, kok bisa tepat gitu? Rencana Allah emang keren: secepat, semudah itu. Kun fayakun, abakadabra!

Selesainya acara Ngaji Jurnalistik, malah memberi ruang yang lebih luas dan nyaman dalam sesi ramah tamah dan sarasehan. Di ruang multimedia gedung sekolah itu, adalah lingkup yang tepat untuk unsur manusiawi dan profesionalitas.

Gua datang sedikit terlambat sekembalinya dari rewang-rewang usung-usung, dengan memegang erat sebongkah novel yang baru saja dibuka dari sampul plastiknya.

Mencari tempat duduk yang tepat, menyimak obrolan yang telah lebih dulu terjalin.

Baru beberapa menit menyimak, juga belum genap habis menyicip lemper ayam jumbo, “Bat, nanti ikutan tanya, ya?!” kang-kang barisan depan itu berniat mencari pasukan.

Lah, jangan pakai disuruh juga gua pasti bakal tanya! Orang gila mana yang melewatkan kesempatan berbincang dengan penulis hebat meski hanya beberapa potong pertanyaan?

Untuk ajakan itu, gua mengangguk aja: dalam kunyahan-kunyahan ganteng, melumat ketan lemper itu.

Tetap dalam asyik menyimak tentang perjalanan membaca dan menulis beliau yang telah dimulai sejak dini, sejak anggapan yang sedikit sentimental untuk kaum pesantren yang membaca novel, hingga anugerah-anugerah yang ditimbulkan sebab karya. Juga sesekali menanggapi perihal bullying dan kultur santri yang bertolak belakang dengan kebiasaan menulis.

“Ini Ning, Ahbat mau tanya.” Tiba-tiba saja penyodoran itu, saat meredanya obrolan.

Aman aja, gua yang udah siap sejak pagi dalam acara, sedikit mengangguk saat Ning Najhaty mengarahkan pandangannya ke gua, menunggu, apa yang sekiranya akan ditanyakan.

“Iya, silahkan.”

“Saya mau tanya sedikit, Ning, perihal kepenulisan novel.” Ucap gua mengawali.

Ning Najhaty terlihat menyimak, serius. Terlihat sekali gestur seorang pembaca level tinggi.

“Sebelumnya, alhamdulillah, saya suka membaca, Ning. Fiksi, non fiksi. Apalagi membaca novel. Kebetulan kemarin saya baru khatam novel series Pulang-Perginya Tere Liye.”

Sontak aja itu mendapat riuh khalayak.

“Wah, bagus itu. Sama, anak saya yang kelas 6 juga sedang membaca novel itu.”

Jangan ditanyakan gelak selanjutnya yang menggelegar, sebuah persamaan porsi bacaan antara mahasiswa semester 5 dengan anak SD kelas 6: oh tidaaak!

Ning Najhaty yang sepertinya ‘nggak enak’ melihat gua diolok sebab pengakuan itu, memberi klarifikasi tambahan.

“Tapi anak saya bacanya yang series Bumi, kan itu memang buat anak-anak.”

Buat series Pulang-Pergi gua setuju untuk konsumsi di luar umur anak-anak, pembahasannya memang lebih terbuka untuk mereka yang menginjak pola pikir mahasiswa karena topik shadow economy dan permafiaan itu. Sarat akan unsur kekerasan.

Tapi untuk series Bumi yang ‘katanya’ cocok untuk anak-anak, maaf, gua nggak tau karena belum pernah baca. Atau mungkin belum berani baca. Jadi gua setuju-setuju aja.

“Ayo dilanjut, Mas.”

Gua mengangguk.

“Itu untuk membaca. Sedangkan menulis, alhamdulillah, saya sedikit-sedikit masih latihan: artikel, opini, esai, cerpen, puisi, berita, biografi. Tapi dari sekian genre rubrik itu, saya belum pernah sama sekali mencoba menulis novel, Ning. Karena dari hal yang saya rasakan, setidaknya ada 2 hal yang dibutuhkan saat menulis, yaitu ide dan mood.”

Ning Najhaty terlihat mengangguk, terlihat menikmati alur pertanyaan yang entah sampai di mana ujungnya.

“Tapi terkadang ada beberapa tulisan yang ternyata tidak hanya membutuhkan ide dan mood saja, ada kalanya juga membutuhkan mentalitas. Dan itu yang saya rasakan saat hendak menulis novel, saya selalu kehilangan mentalitas. Jadi pertanyaannya, Ning, mentalitas, niat, semangat, dan alasan seperti apa yang jenengan bangun saat pertama kali hendak menulis novel Dua Barista? Sebelumnya saya ucapkan terima kasih.”

Perihal gua yang langsung menembak perihal nama novel Dua Barista, karena dari keenam buku yang udah beliau terbitkan, hanya Dua Barista yang berkategori novel.

Mendengar pertanyaan itu, beliau terdiam. Cukup lama. Entah kenapa.

“Sebentar, ya.” Bahkan beliau sampai meraih air mineral untuk minum, lalu sempat terdiam kembali di setelah minumnya.

Apakah pertanyaan gua bersifat intelektualitatif saintifik teoritis sehingga begitu sulit untuk dicerna dan dijawab? Bahkan diksi pertanyaan yang gua ajukan aja, sama sekali nggak ada kosa kata yang aneh.

Husnuzhon gua, mungkin beliau bingung hendak dari mana memulai penjelasannya. Sederhana itu.

“Sebenarnya untuk novel pun, sesimpel seperti menulis genre rubrik lain. Kita tetap harus banyak membaca dan latihan menulis. Cuma bedanya, untuk novel, karena disebabkan tebal dan butuhnya riset mendalam malah membuat kita menaruh ekspetasi atau bahkan ketakutan berlebih. Seharusnya seperti itu dihilangkan.

Saya juga pas awal-awal menulis novel, ya ditulis aja. Jangan banyak yang dituntut harus bagus, harus selesai, harus tebal. Sekarang saja, sudah ada berapa novel saya yang terbengkalai karena nggak selesai? Kurang lebih ada 3 novel. Dan itu akan tetap saya simpan, jika suatu saat bisa dilanjut. Hal itu tetap diperlukan. Mindset tetap harus dibangun. Jika orang lain mengatakan bahwa itu adalah sebuah kegagalan, maka kita menganggapnya sebagai bagian dari proses.”

Deg!

Sengaja kalimat itu gua bold, karena memang, begitu mengena: bahkan bukan dengan kata ‘saya’, tapi ‘kita’.

Cukup terjawab: sebenarnya alasan apapun yang dibentuk saat di awal menulis, selama itu baik, tetap dianggap cukup. Tapi hal yang perlu diperhatikan adalah perihal seberapa banyak dan lama jam terbang latihan kita dalam menulis. Jangan hanya kerena novel itu tebal dan membutuhkan data riset yang rumit, malah membuat suatu ketakuan dalam menulis. Atau bahkan malah tertuntut ekspetasi novel yang ideal dan sempurna, sedikit-sedikit salah, sedikit-sedikit ganti, sedikit-sedikit merasa nggak cocok, hingga gerak menulis itu menjadi tersendat dan berhentinya. Itu juga nggak baik.

Jadi bagaimanapun, berhasil nggaknya, bakal lancar nggaknya, gua tetap harus berani memulai satu kata, kalimat, paragraf, hingga halaman dan lembar awal dalam menulis novel. Itu bagian dari proses, jam terbang, dan pengalaman.

Sedangkan kita tau, konstruksi ide menulis akan terbentuk sendiri di sepanjang proses penulisan. Jadi kita hanya perlu memulai dan temukan setiap ide di sepanjang prosesnya.

Jauh melayang tinggi, akan seperti apa ide dan mood gua jika disatukan dengan mentalitas yang terbangun untuk memulai menulis novel? Akan ada berapa judul? Akan sampai berapa series? Waaah!

Nggak hanya mendengar dengan telinga, gua tentu juga mendengar dengan pena. Setiap hal yang diucapkan Ning Najhaty, sebisa mungkin gua tangkap dalam tulisan. Gua bagi beberapa:

“Wattpad adalah sinetronnya dunia penulisan.”

“Semakin banyak membaca, semakin banyak literasi.”

“Golden age itu berlangsung sejak umur 1-25 tahun.”

“Kesalahan orang dewasa itu idealisme.”

“Kualitas terbentuk setelah kuantitas.”

“Karya tidak selesai dalam semalam.”

 “Tulislah tulisan yang dibutuhkan banyak orang, luaskan cakupan pembahasannya, agar bisa dirasakan dan dinikmati oleh banyak orang.”

Terakhir, sedari hal-hal yang seakan tak akan pernah berakhir, mungkin cukup ditunggu-tunggu: selepas sharing-sharing sarasehan, jeda makan siang, adalah menyodorkan buku untuk minta tanda tangan!

“Eh, tapi novel Dua Baristanya udah ada tanda tangannya.” Ucap gua pada Mail, sebelum menghadap beliau.

Mail membuka salah satu dari ketiga bukunya.

“Iya juga, Bang.” Terlihat bingung.

“Yaudah, kita minta kata-kata aja.”

Di momen dan kesempatan yang tepat.

“Ning saya minta kata-kata, pesan supaya saya semangat menulis seperti jenengan.” Jujur gua dengan lembar muka yang terbuka, menyodorkan pena.

Apa coba yang ditulis Ning Najhaty buat gua?

“1 tulisan bisa menembus ribuah kepala, di saat 1 peluru hanya menembus 1 kepala.”

Semenjak itu, gua sudah mulai nggak berselera lagi dengan suguhan-suguhan meja.

Ya, meskipun akhirnya tetap kecolongan ‘sebongkah’ lemper: nggak tau kenapa, itu lemper kok bisa enak banget?!

Tapi di luar lemper, sedari awal sampai akhir, ada yang berhasil menemukan sisi lucu dari tulisan ini?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Termometer

Semut

Kepompong