Badal
Suatu hari, berhari-hari: sebuah rumah terasa lebih sepi dari biasanya.
Meski udah sepenuhnya mengusahakan, tetap saja, salah satu anggota keluarga
‘terpaksa’ harus menempuh jalan lain: meski sendiri dan dingin.
Ruang kelas itu lengang, menyisakan satu bangku kosong.
Beliau yang akhirnya mendengar juga mengenai kabar itu, hanya bisa
mendo’akan yang terbaik baginya dan menguatkan mereka yang tersisa.
Bukannya setiap orang memiliki jalan dan cara suksesnya tersendiri?
“Sopo sing lungguhe paling buri dewe? Kene maju, isi bangku sing kosong!”
Mendengar komando itu, spontan mata khalayak tertuju ke gua.
“Ahbat, Pak!”
“Ahbat, Pak!”
Usaha gua bersembunyi kepala, kayaknya, akan tetap sia-sia.
Mau nggak mau, karena beliau, gua harus mengsisi bangku yang baru saja kosong
ditinggal oleh empunya.
“Ndang maju!”
“Nggih, Pak.”
Mengangguk, merapihkan kopeah, lalu segera mengangkut segenap kitab-kitab
sekaligus alat tulisnya. Berjalan terbungkuk, melewati 4 meja, hingga
sesampainya di baris depan: berhadapan dengan meja mustahiq dan papan tulis
besar.
Mungkin cukup berat bagi gua untuk bisa menempati bangku-bangku baris depan
yang penuh gengsi dan ambisi itu. duduk sendiri di meja paling belakang,
membentuk sebuah ruang yang sama nyamannya dengan arti kamar. Ada cukup waktu untuk
diri, menjadikan meja-meja berbagi peran antara tempat belajar dan tempat
istirahat.
Sampai akhirnya, ya, gua harus merobohkan kamar itu, berbagi ruang untuk
interaksi-interaksi yang membosankan. Lalu, untuk ide-ide yang sebelumnya
mengalir deras, nggak usah ditanyakan bagi gua tipe orang yang paling nggak
bisa menulis kalau dilihatin orang.
Hari-hari berjalan semestinya, sewajarnya.
Baru mulai bergerak, merangkak, dan berjalan selangkah dua langkah, ruang
kelas itu gulita. Lebih sepi dari sebelumnya: seram dan suram. Hal yang perlu
diterima, bahwa beliau izin pamit beberapa minggu untuk pulang ke Palembang.
Bukan tanpa alasan, beliau akan melangsungkan pernikahan di bulan ini!
Kebetulan, jodohnya masih satu daerah: putri gurunya.
“Sapurane, aku nggak bisa ngajak awakmu kabeh. Lah piye, Sumatra adohh’e.
Mosok madin ngko iki kelase rak enek wong?! Diseneni Gus Nabil, aku!” Sanggah
beliau, saat lembar undangan atas nama angkatan itu diberikan.
Yah, mau bagaimana lagi?
“Di live mawon, Pak!” Hamba Allah yang budiman itu nyeletuk, beliau
terbatuk: khalayak merutuk.
Dengan ini, menjadi isyarat bahwa beberapa minggu ke depan akan ada
mustahiq badal yang akan mengajar di kelas. Khalayak seperti kurang berselera
menerkanya, hingga Pak Ilham Fawaid keluar sebagai jawaban.
FYI soal Pak Ilham, beliau ini adalah tipe orang yang multidisiplin. Tamat
pondok ini dan pondok induk hingga Ma’had Aly-nya, mempunyai gelar akademik S2,
mustahiq tamatan periode 2022-2023, Assatidz MQQ Aliyah C, Pembina LBM, dan
kini menjabat sebagai Ketua Pondok: kurang apa?
Perihal cerdas nggak usah dibahas. Ganteng dan kalem, juga skill komunikasi
yang baik, adalah poin plus tersendiri. Apalagi, selera humor beliau bagus. Yah,
beliau santri kelas eksekutif! VVIP, golden card.
Dengan itu, jangan lupakan soal gua yang pindah duduk bangku ke barisan depan!
Tapi, di salah satu waktu, setelah dipikir-pikir dalam lamunan di sela-sela
Pak Ilham sedang menjelaskan pelajaran, bahwa duduk di depan nggak begitu
membosankan. Meskipun sering direcok minta air minum, bolak-balik numpang lihat
jam tangan, dan ajak obrolan gabut teman sebangku, gua cukup bersyukur.
Mungkin pertama, karena duduk di depan gua jadi fokus memperhatikan
pelajaran. Di tambah gua yang nggak perlu membagi fokus dengan memperhatikan
gerak-gerik khalayak sebagaimana saat gua duduk di bangku belakang, penjelasan Pak
Ilham yang renyah menambah antusias ini.
Penjelasan yang lugas, pengetahuan yang luas, mengambil pengertian yang
singkat padat beserta contoh-contohnya yang dekat, beliau juga sesekali
menyelingi penjelasan dengan cerita dan candaan. Gua merasakan manisnya buah
pemahaman itu.
Ditambah, dengan gua duduk di depan, membuat gua jadi ‘nggak bisa’ tidur.
Meskipun nggak sepenuhnya beralasan ‘nggak mau’. Ya, karena setiap orang punya
kegiatan dan capeknya masing-masing. Itu kenapa, ngantuk bisa menghadirkan tidur
yang paling rahasia dan nggak terduga.
Meskipun begitu, selama gua duduk di depan, gua selalu mencatatkan nama
sebagai member tetap orang pertama yang mendapatkan air di meja mustahiq, bekas
beliau, penuh tabarrukan dan berkahnya!
Bagaimana bisa tidur, duduk di depan yang dilihat seluruh khalayak dari
belakang dan dilihat beliau langsung dari depan, membuat tidur ini bernada
serba salah. Maju kena, mundur kena. Soal ini, gua punya banyak strategi
mengantisipasinya. Aman.
Ternyata benar ucap film itu, “Romansanya hanya ada di kepala lu doang!”
Nggak semua hal yang ada di kepala harus dituruti.
Sudah seharusnya masa pencarian ilmu itu dilewati dengan debar dan sabar.
Terima kasih untuk Pak Ilham Fawaid.
Semoga diberi kesehatan, kemudahan, dan kebahagiaan untuk Pak Sakho Irfan
Hamid: semoga dijadikan keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah, Pak!
Komentar
Posting Komentar