Tembok

Bagi gua, ada 2 hal yang menjadi modal utama bagi seorang penulis ketika menulis: ide dan mood.

Ide untuk bahan bakunya.

Mood untuk tenaganya.

Tulisan dan menulis itu akan terganggu jika salah satu dari keduanya itu terganggu.

Tapi, mau seberapa deras ide yang mengalir dan mau seberapa baik mood yang terbentuk, hal itu sama sekali nggak berkutik di hadapan writer's block.

Ada yang tau writer's block? Kondisi yang membuat seseorang buntu dalam menulis ini pasti pernah, jarang, atau bahkan sering dialami oleh seorang penulis.

Kita semua sepakat, bahwa ide itu mudah didapat dari membaca. Tapi pada saat writer's block, membuat pikiran benar-benar semrawut yang dibarengi dengan mood menulis yang hancur. Jangankan menulis, mood membaca aja nggak ada. Hal itulah yang berpengaruh terhadap erornya otak dalam menyusun kalimat ketika menulis.

Nggak ada mood baca, nggak ada ide.

Nggak ada ide, nggak ada mood nulis.

Nggak ada ide ditambah nggak ada mood: tamatlah sudah!

Bagi seorang penulis, writer's block adalah sebuah penyakit yang masing-masing orang mempunyai obat yang berbeda. Setiap penulis mempunyai terapi dan waktu pulihnya tersendiri.

Itu sebabnya, seorang penulis harus mengenali writer's block-nya dan dengan terapi apa ia akan mengobati.

Nggak seperti Tere Liye yang berpetualang atau Joko Pinurbo dengan secangkir kopi, gua hanya bisa tampak ragu untuk menjawab writer's block ini. Mungkin karena memang gua belum mengenal sebab-akibat, serta solusinya. Atau mungkin karena, gua memang masih dalam pengaruh writer's block yang serupa genjutsu ini.

Di masa sepi dan hampa ini, sepertinya memang nggak ada yang berarti untuk bisa dijadikan penawar: nggak ada ranum buah, nggak ada harum bunga.

Hingga diputuskan, bahwa benar-benar nggak bisa terselamatkan oleh stok novel yang tandas terlalu cepat, yang seharusnya bisa menjadi terapi ringan yang berdampak. Novel manapun, apapun, siapapun, hanya bisa menutup telinga, lalu perlahan pamit undur diri.

Entah, gua akhir-akhir ini cukup sibuk menghabiskan waktu untuk duduk di depan lemari yang terbuka, memperhatikan seekor ikan cupang yang berenang menggemaskan dalam akuarium kecil yang tampak nyaman. Sesekali ia mengibaskan buntut panjangnya di sela pepohonan batu karang, sesekali gua tersipu lalu tergerak untuk kembali memberikan pakan, lagi, lagi, dan terus.

Kayaknya gua masih kurang begitu paham bahasa cupang, apalagi saat ia sedang mengatakan,“Aku udah kenyang!”

Atau mungkin, ya, ngabisin duit hanya untuk mengabsen berbagai jenis es krim di setiap waktu dan kesempatan. Nggak mengecualikan juga, di tengah malam dan selalu:  terjaga dalam kesendirian dan menatap bintang yang kembali ke peraduan, es krim itu sesekali meneteskan sedihnya.

hingga, hujan yang akhir-akhir ini datang berkunjung musim, sedikit menghibur untuk gua yang kembali berusaha mencipta kata, meski dengan huruf-huruf yang patah.

“Nggak apa-apa. Kamu bisa memulainya dari puisi, Bat!” Tabah hujan.

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Termometer

Semut

Kepompong