Sejuk
Meskipun pondok pesantren menampung berbagai macam luas perbedaan, terkadang kita malah terhimpit sempitnya.
Berkenal dengan berbagai macam orang dalam ruang lingkup yang sama, pondok pesantren selalu berbaik hati akan pemberian kesempatan menjalin hubungan satu sama lain dan erat. Kita berkenal dengan teman sebaya, kepada adik atau kakak kelas.
Tapi mulusnya jalan aspal, tetap ada kerikil yang senantiasa menanti dan mengganggu. Meski hanya sebatas kerikil, tetap ada sisi nggak nyaman yang ditimbulkan.
Bagaimana tanggapan tentang guru? Ustadz? Interaksi kita dengannya?
Bukan bermaksud membangkang atau bahkan memberikan ‘racun-racun’ mematikan yang akan merubah sikap ta’zhim kita pada seorang guru. Bukan, sama sekali bukan.
Tapi yang gua maksud, tentu ada batas-batas tertentu yang lebih luas dan harus kita jaga dalam menjalin hubungan dengan seorang guru, dibanding sebaya atau adik-kakak kelas.
Batas-batas yang lebih intern dan sensitif.
Seperti pengalaman berharga yang gua dapatkan, juga yang tentunya menarik dan menggelitik dari guru gua yang hebat: Ustadz Zarkasyi Nur Iman.
Nggak pernah terbayangkan akan nama akrab yang selalu gua panggil dengan sebutan ‘Kang’ dan menyempatkan diri untuk duduk mengobrol dengannya di mushola atau tangga asrama itu akan terhalang sekat.
Kami yang memang disatukan dalam sebuah asrama yang sama, juga menjadi penganut jama’ah mushola yang militan dan loyal, menjadikan gua bisa mudah akrab dengan beliau.
Dengan kenyataan paut umur 4 tahun yang terbilang dekat, gua sering ngobrol dengan beliau di sela menghafal nazhom atau Qur’annya, di saat beliau masih berstatus siswa jenjang akhir.
Beliau orang yang pendiam dan penyendiri, meskipun tetap bisa menjadi teman ngobrol yang asik. Selera humornya cukup bagus, candaannya masuk.
Jangan ditanyakan akan kedalaman ilmu dan wawasan beliau yang seakan meliputi semua hal, gua sering konsul ke beliau perihal apapun dan relevan.
Mungkin kalian cukup terbingung akan kedekatan itu atau malah kesan nggak sopannya gua. Secara kalau mau dibilang dekat, gua dekat. Mau dibilang akrab, gua akrab. Mau dibilang sefrekuensi, gua sefrekuensi. Karena memang, ya memang seperti itu kenyataannya.
Hingga, momen itu mengubah segalanya:
Di saat lagi semangat-semangatnya Madrasah Qiroatil Qur’an karena kenyataan gua yang naik tingkat ke Aliyah B, dengan itu, menandakan gua nggak harus berurusan lagi dengan hafalan. Karena memang, tingkat Aliyah B hanya butuh setoran Qur’an bil Nadzhar target 15 Juz dan dilanjut tingkat Aliyah C yang 15 Juz selanjutnya.
Gua hanya perlu rajin masuk untuk menghadap setoran, setoran, setoran, dan naik segera tingkat.
Seperti biasa, pengumuman pembagian kelas itu ditempel merata di papan pengumuman besar.
Para siswa berkumpul, untuk mencari tau, lulus atau nggak, dapat kelas apa dan di mana. Termasuk dengan siapa pengajarnya.
Gua yang udah jelas dinyatakan naik tingkat dari Aliyah A ke Aliyah B, mencari nama di setiap kelas di kolom Aliyah B. Di sana tertera, bahwa gua masuk kelas Aliyah B bagian A-2.
Tapi bodohnya, gua nggak sempat melihat nama pengajar.
Hal ini berdampak di kemudian harinya, saat gua masuk ke kelas yang sudah ditetapkan. Betapa terkejutnya gua yang sedang melalar setoran Al-Qur’an, Asatidz atau pengajar yang ditunggu itu akhirnya tiba. Ide duduk di depan, di sajadah yang sudah disiapkan. Karena memang kelas tingkat Aliyah B itu berupa halaqah.
Asatidz itu menatap sekilas muridnya, tawasul, dan mengabsen.
Gua hanya penuh tunduk dengan keterkejutan yang sepenuhnya belum hilang, bahwa Asatidz gua adalah Kang Zarkasyi!
Apa siap gua memanggilnya dengan sebutan ‘Pak’?
Menunduk di setiap berhadapan?
Hingga, renggangnya keakraban tanpa ada lagi obrolan di mushola atau tangga asrama?
Mau nggak mau, babak baru itu dimulai. Menyandang status guru dan murid, memiliki ceritanya tersendiri.
Perlu gua akui, bahwa beliau adalah orang yang alim dan sholeh, cerdas dan istiqomah. Beliau termasuk ke dalam golongan penghafal Qur’an, santri yang selalu konsisten ke maqbaroh masyayikh.
Sesi penjelasan materi di sehabis sesi setoran adalah hal yang ditunggu-tunggu. Karena memang, beliau akan menjelaskan tajwid besertaan mencotohkan pelafalannya. Suara indah itu akan terlantun, menyapa telinga dan memberi sejuk dada. Biasanya juga ada kalam-kalam hikmah yang tercurah.
Gua beruntung punya guru seperti beliau.
Tapi sayang, kesempatan itu begitu singkat. Kurang dari 3 bulan, karena konsistennya pembelajaran yang beliau rancang, gua udah melampaui target Aliyah B berupa 15 Juz dan bersiap untuk naik ke tingkat Aliyah C.
Meskipun begitu, yang namanya guru tetap guru. Nggak akan pernah ada yang namanya istilah mantan guru.
Beliau tetap guru gua, guru gua yang hebat.
Gua teringat, di sela menjelaskan materi ringkasan tajwid selepas jam setoran, beliau pernah bilang:
“Kebanyakan orang itu malu pada orang lain. Dan jarang dari mereka yang malu pada dirinnya sendiri!”
Hal itu masih mengena.
Masih dan akan selalu gua pegang.
Komentar
Posting Komentar