Jahat

Sebelum gua jelasin inti pembahasannya, gua rupanya masih berbaik hati untuk memberi  kesempatan membaca penggalan salah satu novel hebat dari penulis hebat: Bang Tere Liye.


**

"Apa yang terjadi?" Ray mencengkeram erat lengan Ilham.

Yang ditanya dan dicengkeram hanya bisa menggeleng patah-patah. Anak kecil berumur dua belas tahun itu menyeka pelipisnya yang berdarah. Mukanya pucat. Kakinya gemetar menopang tubuh. Tangannya berusaha mencari pegangan di tiang-tiang halte.

"Siapa yang memukulmu?" Ray mendesak.

Ilham meringis. Cengkeraman Ray mulai menyakitkan, dia masih diam seribu bahasa. Bagaimana dia bisa menjelaskan? Napasnya masih tersengal tiga tarikan satu detik, keringat membanjir di sekujur tubuh. Dia baru saja lari pontang-panting menghindari kerumunan begundal tanggung yang mengganggunya.

"Apa yang terjadi dengan lukisanmu?" Ray menyambar bungkusan besar terbalut kertas cokelat yang tergeletak.

Bungkusan besar itu robek. Sempurna bolong dihajar sesuatu persis di tengahnya. Ray melepas tali-temali. Membuka bungkusan. Menelan ludah. Lihatlah, lukisan itu benar-benar rusak. Apa perlunya dia membuka bungkus kertas cokelat? Jelas-jelas lukisan itu bolong besar. Lukisanya dibuat Ilham selama dua bulan terakhir di loteng rumah. Lukisan yang indah.

"Siapa yang melakukan ini?!" Ray mendesis, mukanya mendadak memerah, giginya bergemeletukan menahan amarah. 

Ilham akhirnya lemah mengacungkan tangan kanan. Menunjuk ke gang-gang dekat pasar induk. Sementara tangan yang satunya berusaha menyeka pelipis, darah terus keluar. Susah payah dia mengatakan sesuatu, suaranya antara ada dan tidak, masih terganggu oleh sengalan dan erangan perih. 

"Kau pegang gitarku." Ray berkata dingin, memotong penjelasan Ilham. Cukup! Dia tahu apa yang terjadi. Preman tanggung yang sering mangkal di gang dekat pasar itu pelakunya. 

Mata Ray menatap buas. Ilham mendadak mengkeret melihat wajah Ray. Bukankah wajah Ray selama ini selalu terlihat menyenangkan? Ray yang naik ke loteng memperhatikannya melukis. Ray yang tidak banyak berkomentar, tidak berisik seperti si kembar Oude dan Ouda kalau sedang melihatnya menggurat kanvas. Ray yang sering melamun di atap genting menatap rembulan. Ray yang solider pada anak-anak rumah singgah lainnya. 

"Lap mukamu dengan ini." Ray melepas kemejanya. Suaranya terdengar bagai perintah panglima pasukan perang, tak terbantahkan. Menyisakan kaus tanpa lengan, bekas tusukan belati itu terlihat jelas melintang di bahu kanan. Ilham menelan ludah.

"Jangan bilang siapa-siapa. Kau kembali ke rumah. SEGERA! Biar aku yang mengurus berandalan itu!" Ray mendesis tajam. Lantas tanpa ba-bi-bu, melangkah dingin menuju arah yang ditunjuk Ilham.

Semua urusan ini sederhana baginya. Dia melihat Ilham terengah-engah lari entah dari mana dengan pelipis terluka. Tidak sengaja bertemu dengannya yang baru turun dari bus, mengamen. Siapa pun yang melakukannya, mereka harus mendapatkan balasan setimpal. Delapan anak di rumah singgah itu lebih dari saudara baginya. Luka dibalas luka!

Semua urusan ini sederhana baginya. Ilham sudah menyebutkan terbata-bata siapa pelakunya. Ray tahu siapa mereka, anak jalanan yang sering berkerumun di gang dekat pojokan pasar. Ray tidak peduli berapa pun jumlah mereka, tidak peduli seberapa besar mereka, yang Ray peduli hanya satu: darah dibalas darah.

Maka sementara Ilham masih menggigil tidak mengerti apa yang akan dilakukannya, Ray tinggal sepuluh langkah dari gang dekat pojokan pasar. Menatap dingin lima pemuda tanggung yang sedang tertawa-tawa duduk di salah satu warung.

"Hahaha, anak itu terbirit-birit." Tertawa. "Dasar bodoh! Apa susahnya memberikan uang? Malah milih digebukin," yang lain menyahut. "Apa sih isi bungkusan itu? Nekat amat melindunginya. Lebih sayang bungkusan dibanding pelipis. Malah remuk dua-duanya, hahaha!"

Ray mengepalkan tinju. Buku-buku jemarinya memutih. Mukanya menebar kebencian, kebencian yang lebih besar dibandingkan saat melawan penjaga panti dulu.

"SIAPA YANG MELUKAI ANAK ITU?" Ray menendang salah satu kursi kayu. Salah seorang pemuda tanggung yang duduk di atasnya jatuh menghantam lantai warung.

Tawa itu terhenti. Pembicaraan terhenti. Muka-muka menoleh. Bukan hanya muka lima pemuda tanggung itu, taps juga pemilik warung, tukang becak, dan orang yang berlalu lalang di pojokan pasar. Teriakan Ray mengagetkan. Mem buyarkan banyak kesenangan, apalagi aktivitas menyebalkan. 

"SIAPA YANG MELUKAI ANAK ITU? Ray men cengkeram kerah baju pemuda tanggung yang hendak berdiri dari jatuhnya. 

Kepalan tangannya terangkat. Matanya buas mengancam. Maka dalam hitungan detik terjadilah perkelahian massal. Lima lawan satu. Ray sedikit pun tidak membutuhkan jawaban dari mereka. Tangannya langsung menghantam muka orang yang dicekiknya, bahkan sebelum yang bersangkutan membuka mulut. Kemarahan itu terlepaskan menjadi amuk. Ray jelas-jelas tidak mabuk seperti waktu dikeroyok tiga penjaga ruko Cina berpisau belati dulu. Maka tubuhnya yang gempal, gerakannya yang gesit, dan otak cerdasnya yang berpikir cepat berubah menjadi gerakan mematikan.

Lama detik, dua orang terjengkang. Mulut berdarah. Entah gigi sebelah mana yang patah. Orang-orang berseru panik. Ibu-ibu pemilik warung menjerit. Anak gadisnya yang sedang mencuci piring mengkeret. Orang-orang di jalanan berusaha mendekat. Termasuk yang tadi berdiri di lapak. Tapi hanya itu yang bisa mereka lakukan.

Tadi saat Ilham dikerumuni kelima preman tersebut, saat Ilham dipalak, saat Ilham berteriak minta tolong, orang orang di sekitar juga hanya mengangkat bahu, enggan terlibat, memikirkan urusan masing-masing. Apalagi perkelahian seperti ini, mereka hanya sibuk menonton. Siapa pula yang hendak berbaik hati melerai? Jangan-jangan malah merepotkan diri sendiri, kena tonjokan tanpa alamat, tendangan antah-berantah. Mereka hanya menatap, sok prihatin.

Salah seorang dari preman tanggung menyambar botol saus. Menghantamkannya ke meja. Pecah menyisakan ujung- ujung runcing. Ray yang sibuk menangkis pukulan dari depan tidak melihat botol itu datang menghajar pundaknya. Darah keluar mengalir. Demi menyadari bahunya terluka, menatap semburat merah di kausnya, Ray berteriak kalap. Tangannya cepat menyambar salah satu kursi kayu yang roboh terpelanting. Kursi itu memelesat, menghajar kepala preman tanggung yang menggenggam botol.

Orang-orang berseru panik. Ngeri. Pemuda tanggung itu terpental satu meter. Kepalanya berdarah-darah. Ray tidak peduli. Melompat menghantamkan kursi itu sekali lagi tanpa ampun. Dua sisa pemuda tanggung yang berdiri dua langkah di belakang Ray terkesiap. Seketika hati mereka berdesir. Lihatlah! Ray seperti banteng terluka. Ketakutan itu muncul bagai tirai menutup pertunjukan. Gerakan tangan mereka terhenti. Saling pandang.

Ray, setelah kursi itu hancur berkeping-keping, apalagi preman tanggung yang digebukinya, membalik badan. Matanya menyapu sisa lawannya. Dua preman tanggung yang mulai jeri, mencicit menatap amarah yang menguar dari wajah Ray. Balik kanan. Memutuskan lari seribu langkah.

Teriakan polisi yang berjaga di pos depan pasar menghentikan lari mereka. Teriakan yang juga menghentikan gerakan kaki Ray yang buas hendak mengejar. Juga teriakan pemilik warung, seruan-seruan tertahan dan tatapan orang-orang yang berkerumun.

Sementara Ilham gemetar di sela-sela kerumunan. Tangan kanannya berusaha mencengkeram gitar Ray kuat-kuat. Tangan yang kiri membawa lukisannya yang bolong. Ilham hendak melangkah, membantu Ray yang terluka. Tapi gerakan polisi membuatnya terhenti. Borgol-borgol mengunci, Ray dan preman-preman itu digelandang. 

Ilham terbirit-birit berusaha mengikuti Ray yang digiring ke pos penjagaan. Kemudian berlari mengejar mobil patroli yang memelesat menuju kantor polisi. Percuma, mobil itu menghilang dengan cepat. Ilham terduduk di trotoar, tersengal-sengal lima menit kemudian. Menatap nelangsa mobil polisi yang hilang di kelokan jalan. Menyeka dahinya yang perih. Badannya penuh debu dan peluh, kerah bajunya terkena darah dari luka di pelipis.

Ilham mendesah menatap kelok ujung jalan, berusaha tidak memedulikan perih di kening, apalagi lukisannya. Semua ini di luar bayangannya. Ray? Ray mengamuk menghajar preman-preman itu. Menyaksikan Ray menghantam kursi kayu tadi membuat Ilham mengkeret. Menatap wajah Ray yang begitu marah. Luka di bahunya. Polisi-polisi. Bang Ape harus tahu.  Segera!


***


"Apa kabarmu?" Bang Ape menatap prihatin. 

Ray mengangkat mukanya yang sedari tadi tertunduk. Menjawab pendek dengan suara pelan, "Buruk." Menggeleng. 

Bang Ape menatap bahu yang terbungkus perban. Menurut polisi di ruang jaga, luka itu tidak serius. Menghela napas. Ruangan besuk tahanan sepi. Matahari hampir tenggelam di ufuk barat. Tadi siang terbirit-birit Ilham mencarinya. Menjelaskan patah-patah. Satu kata, dua tarikan napas. Gemetar. Dia langsung meninggalkan pekerjaan di kampus setelah mengerti apa yang baru saja terjadi. Mengantar pulang Ilham ke rumah singgah. Anak-anak di rumah sibuk bertanya melihat Ilham pulang dengan pelipis luka. Menjawab singkat. Anak-anak sibuk ingin ikut ke kantor polisi. Menyuruh mereka menunggu.

Hening. Lima menit Bang Ape hanya menatap wajah Ray yang benjut. Tubuh yang memar oleh bekas pukulan. Kaus hitam yang menyisakan gumpalan darah. Lima menit yang senyap. Ray tidak berani memulai percakapan, tepatnya sungkan memberikan penjelasan. Wajah Bang Ape sejak masuk ruang besuk terlihat berbeda dari biasanya. Wajah prihatin. Marah. Entahlah.

"Berapa kali aku pernah bilang, rumah singgah tidak mendidik kalian menjadi preman, Ray. Kau tidak seharusnya melakukan tindakan bodoh-"

"Tapi mereka yang mulai duluan.” Ray meringis, memotong ucapan Bang Ape.

"Dengarkan aku dulu, Ray." Bang Ape mendesis. 

Ray menelan ludah. Terdiam.

"Kau bisa melaporkannya. Biar petugas yang mengurus. Kau seharusnya tidak bertingkah sok jagoan. Lihatlah, apa hasilnya? Salah seorang dari mereka entah selamat atau tidak.”

"Mereka layak mendapatkannya." Ray menyeringai, memotong lagi, kebiasaannya dulu dengan penjaga panti. Meskipun juga karena mendengar Bang Ape menyebut kalimat sok jagoan.

"Bisakah kau mendengarkan aku dulu, Ray?"

Ray terdiam. Wajahnya tertunduk.

Bang Ape menghela napas. "Masalahnya bukan soal layak atau tidak, Ray. Bukan soal siapa yang memulai duluan, bukan soal itu. Bisakah kau memahami sesuatu yang amat sederhana? Tidak ada cara buruk untuk berbuat baik. Cara kau membalaskan kelakuan mereka terhadap Ilham persis seperti kelakuan mereka. Brutal. Kalau sudah begitu apa bedanya kau dengan mereka?"

Ray hendak memotong lagi, tapi urung demi melihat wajah Bang Ape yang menatapnya lamat-lamat. Ekspresi wajah yang sama saat makan sate terakhir bersama Dito. Wajah itu...

"Kau berbeda dengan mereka, Ray. Kalian berbeda dengan anak jalanan. Aku tidak membangun rumah singgah untuk menjadikan kalian preman. Aku ingin kalian berpendidikan memiliki kebanggaan atas hidup, bertanggung jawab. Suatu saat kau akan mengerti, terkadang pukulan tidak mesti dibalas pukulan. Luka tidak mesti dibalas luka.

"Tahukah kau, kita bisa menukar banyak hal menyakitkan yang dilakukan orang lain dengan sesuatu yang lebih hakiki, lebih abadi. Rasa sakit yang timbul karena perbuatan aniaya dan menyakitkan dari orang lain itu sementara, Ray! Pemahaman dan penerimaan tulus dari kejadian menyakitkan itulah yang abadi. Aku tahu merekalah yang memulai mengganggu Ilham. Aku tahu itu. Tapi kau bisa memilih pemecahan masalah yang lebih baik, bukan?" Bang Ape mengusap rambut. Menghela napas panjang. Diam beberapa saat. 

Ray tepekur. Hatinya masih mengkal.

"Meskipun dalam situasi tertentu apa yang kaulakukan bisa saja dimengerti, mungkin malah dibela dan dipuji. Tapi kalian berbeda. Kalian anak-anak yang tahu menyikapi persoalan dengan baik. Setidaknya aku berharap kalian akan seperti itu suatu saat kelak, menyadari bahwa tidak semua persoalan hanya bisa diselesaikan dengan menyalahkan, lantas membalas.”

Ray tertunduk. Membantah nyaris semua perkataan Bang Ape dalam hati. Enak saja. Jelas-jelas mereka yang mulai duluan. Kalau bukan dia, siapa yang akan membalas kelakuan lima begundal itu? Orang-orang malah menghindar. Takut sekali membantu orang yang teraniaya di depan mata mereka sendiri. Sekarang Bang Ape malah menceramahinya tentang pilihan solusi lebih baik. Suara kumur-kumur Ray terdengar oleh Bang Ape.

"Apa kau mengerti apa yang kukatakan?" Bang Ap menyentuh lengan Ray. Berkata dengan intonasi tajam. 

Ray mengangkat kepala. Menatap wajah Bang Ape. Menelan ludah. Mengangguk pelan.


***


Menurut lu, dalam permasalahan seperti itu, siapa yang benar: Ray atau Bang Ape?

Membela atau berdiam?

Membalas atau memaafkan?

Gua tau ini hanya soal sudut pandang. Kita setuju-setuju aja untuk Bang Ape yang berdiam dan memaafkan, tapi bagaimana jika kita yang menjadi Ray?! Dengan segala gejolak dan dorongan membelanya.

Bagi gua, ini hanya tentang cara penempatan kebaikan.

Tapi gua cukup setuju dengan Ray. Seenggaknya, bagaimanapun sesekali kita harus membela dan melawan, balaskan semua kejelekan itu. Bukan maksud melampiaskan amarah dan keterpuasan.

Ia hanya perlu tau dan merasakan kejahatan yang setimpal, bahwa hal yang ia perbuat itu jahat dan menyakitkan!

Jadi, nggak sepatutnya ia berbuat jahat dan menyakiti orang lain!


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Termometer

Semut

Kepompong