Evolusi
Masa-masa dalam serangkaian ujian seperti ini berdampak pada adem tentramnya suasana pondok. Lembar-lembar kertas kuning, huruf-huruf hija’iyah tanpa harokat, hingga lantunan-lantunan merdu sumbangnya.
Sebut saja pada tahap pertama dalam serangkaian ujian ini: tam-tam atau koreksian kitab, mungkin menjadi momen yang membuat para mushonif terharu di peraduan sana.
Semingguan itu hanya tentang kitab yang intensif dan merdu.
Selayaknya bahwa tam-taman ini selalu dijadikan sebagai momen penebusan dosa bolos, salah jadwal, nggak bawa hitech, hingga tertidurnya: untuk mengisi makna-makna yang bolong terbengkalai.
Kali ini mungkin cukup tersadarkan dan berbeda dari musim-musim yang berlalu. Dengan sistem, strategi, metode, konsep, model, tak tik, siasat, atau apapun dalam pelaksanaan pra tam-taman, dalam nembel-menembel yang terjalin antara sesama muta’alimin itu nyatanya terkesan monoton dan klise.
Mana revolusionernya, wahai kaum yang mengalir darah pahlawan?!
Beruntungnya gua yang hidup di sekotak kamar atau kantor atau mungkin kandang yang kadang terasa rapih nyaman, walaupun seringnya yang ruwet porak-poranda kacau-balau hancur-lebur cerai-berai morat-marit semrawut awut-awutan acak-acakan nggak karuan: seenggaknya, cukup bersyukurnya gua yang hidup dengan orang-orang pekerja kreatif dan keren.
Terkhusus perihal tam-tamann dan tembel menembel, bukan lagi menggunakan cara satu orang penembel dan satu orang pembaca makna. Sebagaimana metode konvensional yang terbilang aksioma, itu cara lama: mana main?!
Dengan kenyataan status pekerjanya, jangan harap nggak punya tembelan makna kitab yang bolong. Bukan maksud keluh kesah dan menunjukkan kesibukan, lingkup ini punya cara yang unik dalam beberapa golongan yang berbeda.
Pertama, mereka yang menganut metode pdf-an. Dengan berselancar di maktabah-maktabah online, kita bisa dengan mudah untuk mencari jenis kitab apa yang dibutuhkan. Tentu kitab yang dicari adalah kitab pdf, pdf yang pastinya petuk pegon. Bolak-balik melirik dari kitab pdf ke kitab pribadi. Satu per satu bolong mulai tertutup.
Pena itu bergerak.
Kedua, mereka yang berpegangan pada ngaji youtube. Dengan segala konten baiknya, youtube juga memberi ruang kebaikan dengan bentuk pengajian online dalam live streaming. Konten yang menjamin akan sosok guru, kitab, juga suara makna pegon yang dibacakan. Santri online itu bisa dengan tenang menembel kitab sambil headset-an dan rebahan. Meski harus dengan bertumpu internet.
Pena itu bergerak.
Ketiga, mereka yang mendekap daring video call. Mungkin cukup menekan effort hingga kouta, sedari negosiasi kaku chat lalu selubung niat lain tanpa melupakan bolong makna yang membutuhkan perhatian. Sampai akhirnya, sinyal-sinyal menyambungkan ilmu dan hal-hal yang membuat semu. Urusan wajah, suara, hingga senyumnya, itu urusan lain. Atau paling nggak, mentok-mentok melalui voice note yang remang maksud.
Pena itu bergerak.
Keempat, mereka yang percaya pada diri sendiri. Mencari kitab petuk pegon, membacanya, merekam, mendengar, seraya menutup bolongnya makna kitab. Di sisi lain, itu terkesan lebih mandiri: kita yang tau batas kita, sebanyak dan mau secepat apa. Nggak ada yang namanya rasa ’nggak enakan’.
Sebelum pena itu bergerak, sejatinya ini begitu sederhana bagi mereka dengan hp-nya. Apa daya bocah kentang ini dengan segala kemauan dan halangannya, nggak akan habis meski harus menggunakan fitur voice recording laptop. Satu per satu lafaz-lafaz bolong itu dibantai!
Ya, pena itu bergerak.
Dengan waktu yang semakin mencekik, membuat ujung jarum pena ini semakin berderet. Semakin cepat, menuntut sempat: waktu ujian koreksian kitab itu tiba dengan 2 gelombang.
Apa yang terjadi dengan hasilnya?
Bukan menolak kegagalan, kami hanya mau memaksimalkan potensi ada: sebagai manusia.
Selamat untuk mereka yang berusaha dengan keringatan, meski berkeriting tangan!
Komentar
Posting Komentar