Dimensi

Nyatanya penyakit writer’s block ini belum kunjung reda, sembuh.

Berbagai macam terapi gua coba sekenanya, perlahan.

Selain itu, bagi gua, menyaksikan bagaimana hidup menceritakan dirinya melalui orang-orang di dalamnya, dirasa memberi kesannya tersendiri. Memperhatikan orang-orang dengan gerak-geriknya, meskipun nggak semua hal itu penting diperhatikan: gua nggak begitu peduli soal orang.

Tentu kita nggak begitu bodoh untuk mana yang penting dan mana yang nggak penting.

Oleh karena itu, setiap hal yang alami itu menenangkan.

Mengesampingkan ruang untuk cupang, es krim, dan hujan, waktu tetap gua isi dengan hal semestinta: sewajarnya. Kali ini gua nggak sependapat dengan Bernadya untuk ‘Sialnya, Hidup Harus Tetap Berjalan’.

Nyatanya, Allah tetap berbaik untuk anugerah cengar-cengir lugu ini.

Setelah dipikir mendalam, mungkin ini cara Allah untuk mengembalikan selera mood menulis gua yang hilang: meski terkesan aneh atau mungkin unik.

Terwakilkan untuk perawatan jiwa fiksi maupun non fiksi.

Fiksi, sebenarnya akhir-akhir ini gua juga sering terapi nonton anime. Berusaha rutin, tentu dengan kadar dosisnya.

Gua nggak kenal banyak kenal anime, gua hanya paham Naruto Shippuden: jadi gua memilihnya untuk terapi.

Sebenarnya, serial Naruto mempunyai 3 sekuel. Pertama, Naruto, kisah perjalanan Naruto yang lebih sederhana, pendek, dan kualitas yang ala kadar. Kedua, Naruto Shippuden, kisah perjalanan Naruto secara lengkap dan dramatis. Hal itu terbukti dengan 500 episodenya, dibanding 220 episode sekuel Naruto yang pertama. Ketiga, Boruto: Naruto Next Generation, anaknya naruto. Dengan grafik dan latar dunia ninja yang lebih modern, bagi gua malah membuat hilangnya sisi keautentikan anime tersebut. Mengetahui itu, gua malah nggak berniat mencoba menontonnya, meski hanya dari tau jumlah episodenya.

Gua memilih sekuel yang kedua.

Aslinya sekuel itu pernah ditanyangkan di tv. Menjadi tontonan wajib bagi anak-anak yang baru pulang bermain di waktu sore, mandi, lalu makan menghadap tv. Gua masih ingat jadwal penayangannya: setiap hari di jam 5 sore, di channel yang masih Global TV, bukan GTV.

Tapi, episode tv sulit ditandai. Itu kenapa, atas keluasan anugerah dalam pemberian kesempatan dan keluangan, gua mencoba kembali ‘lalaran’ dari episode 400: dari awal perang Aliansi Shinobi hingga tamatnya.

Asli, seru!

Dengan itu, ‘lalaran’ berani untuk lebih menarik lagi ke episode belakang. Kali ini dicoba dari episode 150: dari awal penyerangan Akatsuki ke Konoha.

Scane epiknya, tentu perihal pertarungan Naruto VS Pain di episode 167 yang membuat Konoha hancur lebur dengan Shinra Tensei-nya.

Tapi sebenarnya, poin yang gua maksud itu berada di episode 166. Saat Naruto sedang mati-matian berjuang melawan 5 orang Pain ciptaan Nagato, hingga akhirnya terkurung dalam tusukan besi hitam Pain di setiap titik cakranya Naruto.

Apa dayalah. tiba-tiba saja Hinata datang ke gelanggang pertarungan setelah penuh cemas dengan hasil penglihatan Byakugan-nya. Apakah Hinata benar-benar mampu untuk melawan Pain? Sudah barang nggak! Lihat saja Naruto yang betekuk lutut nggak berkutik di hadapan Pain dengan kondisi tertusuk di sekujur tubuh.

Tapi apa dayalah bagi gadis lugu dari Klan Hyuga yang sering kali hilang kepercayaan diri itu, tentu sangat salah jika tujuannya datang ke gelanggang adalah untuk melawan 5 Pain yang super power itu: dengan rasa cinta yang ia pendam sejak lama, ia hanya ingin menolong Naruto.

Sesia-sia kekuatannya.

Sebatas yang ia bisa.

Bahkan, di momen yang begitu dramatis seperti itu, di hadapan Naruto yang terkulai dan Pain yang bersiap menyerang, Hinata menyatakan cintanya dengan anggun, feminis, dan berkelas:

“Aku ingin menyelamatkanmu, Naruto. Aku bahkan selalu menangis dan menyerah sebelum mencoba. Aku selalu membuat kesalahan berulang kali. Tapi berkat bantuanmu, aku berhasil menemukan jalan yang benar, Naruto. Aku selalu mengejarmu. Aku ingin bersamamu. Aku ingin berjalan di sampingmu setiap saat. Aku ingin selalu berada di sisimu. Kau telah mengubahku, Naruto. Senyumanmu telah menyelamatkanku! Itu sebabnya aku tidak takut mati, jika itu artinya aku harus melindungimu! Karena, aku mencintaimu, Naruto!”

Haha, Hinata yang menggemaskan.

Lalu non fiksi, diberikan tepat saat agenda bulanan untuk ziarah maqbaroh masyayikh, Lirboyo dan Ngampel.

Ba’da ashar ditentu, puluhan abang-abang yang sedari tadi berkumpul di Taman Toga itu serempak berkemeja dan berkopeah putih sebagai dress code: semakin terlihat gagah dan ganteng kalem. Sebagian ada yang memakai sorban, sebagian ada yang membawa hp untuk dokumentasi.

Sedatangnya mereka yang berdomisili di luar pondok, rombongan itu mulai bergerak, berangkat, berjalan kaki. Mereka menuju maqbaroh Masyayikh Lirboyo, dan lanjut ke Ngampel dengan naik elf.

Satu dua, mata santri induk terlihat memandang mengintimidasi.

“Mau ke mana, Pak Haji?”

Apa-apaan?

Kenapa dia nggak terlebih dahulu berdo’a untuk dirinya saja?

!@#$%^&*()_+”:>

Sesampainya di maqbaroh Masyayikh Lirboyo, pembacaan salamullahi ya sadah, lalu dilanjut tahlil dan do’a. Seperti biasanya, nggak ada yang istimewa. Hanya saja, ziarah kali itu tanpa kehadiran beliau dikarenakan ada suatu halangan.

Hingga, hal itu harus gua saksikan.

Karena rombongan memilih tempat di arah timur, tentu saja kami berhadapan dengan para peziarah yang berada di arah barat. Sore itu cukup sepi, nggak seramai biasanya. Lalu, datanglah sepasang peziarah seumuran wali santri, memilih tempat di ujung depan arah barat. Sang suami mendahului, sang istri mengikuti. Mereka terduduk, tersimpuh.

Sesekali dalam sela khidmat pembacaan tahlil, gua malah menjatuhkan pandangan pada sepasang peziarah itu. Mereka bersuara lirih, wajahnya nggak kalah khidmat.

Tapi anehnya, yang membuat gua bingung penasaran, sang istri yang bermasker itu kian lama ziarah, kian lama pula semakin mendekat ke arah sang suami: semakin dekat, dekat, dan bersanding lekat.

Hingga tepat di saat rombongan gua dan sepasang ziarah di sesi do’a, momen itu semakin menambah: sang istri udah nggak kalah dekatnya, tangan kanannya kini malah menyambut tangan kiri sang suami yang sepenuhnya terangkat berdo’a.

Melihat hal itu, sang suami malah menerima sambutan sang istri, menggenggamnya, membentuk suatu menengadah tangan yang lembut dalam permohonan penghambaan.

Mungkin saat itu, kayaknya hanya gua yang sadar. Ditambah bentang jarak blok timur dan barat, mentari yang kian temaram, khalayak yang kian meramai, suara yang kian membising, dan batas durasi pasangan itu berdo’a, mengalasi gua sebagai orang yang beruntung atas kesempatan menyaksikan hal tersebut.

Dari raut wajah sang suami dan eratnya rangkulan tangan sang istri, gua hanya menerka: mungkin mereka sedang mendambakan momongan. Semoga.

Terima kasih atas masukan ide destinasi wisata masa depannya, Pak, Bu!

Fiksi non fiksinya, terima kasih atas terapi ini, Ya Allah!

Apapun itu, gua harus segera aktif menulis!

Do’ain

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Termometer

Semut

Kepompong