Tiga
Baik 03 atau 30, 13 atau 31, setiap tanggal yang mengandung unsur 3 di kalender memiliki maknanya tersendiri: momen-momen dan kenang, yang sudah terlampau hingga yang akan datang.
Mungkin kali ini, nggak mau terlalu banyak yang dibahas, nggak berniat yang
memberatkan. Kita ambil angka 3 murni, hanya angka 3.
Gelap terangnya, manis pahitnya, coba dijelaskan dengan lugu.
Agaknya, untuk ini, gelap pahitnya, hanya dirasa bagi sebagian orang dengan
memuja makna yang sama. Perihal sepak bola yang nggak hanya menjadi sarana olah
raga dan hiburan, tapi hingga melekatnya dan menjadi jati diri.
Sepak bola dan angka 3, kurang terdengar baik. Memaksa seluruh anggota
badan berolah raga, nggak ada hiburan, gejolak panas malah membakar jati diri.
Dimulai dari kesebelasan tim asrama Ibnu Sina yang dibantai 0-7 oleh asrama
Al-Maghfiroh, Persija yang dipaksa keok oleh rival abadi: Persib Bandung dengan
skor 2-0, hingga Manchester United yang begitu compang-camping ditekuk 0-3 oleh Tottenham Hotspur di kandang sendiri dengan kartu merahnya
sang captain: Bruno Fernandes, banyaknya kartu kuning, dan kalah di setiap lini
rekap statistik, itu benar-benar kalah yang nggak terhormat, sangat memalukan.
Nggak hanya itu, nonton bola tentu nggak mungkin seorang diri. Dan setiap
orang tentu berhak memilih kepada tim mana ia berpihak dan mendukung, sesuai
dorongan alamiah cintanya. Termasuk ia yang berhak menilai tentang peforma tim
yang nggak didukung, yang terlanjur mendalam dan kritis, hingga harus terdengar
sebagai ledak ledek para haters.
Saat ini bukan waktu yang baik untuk membahas sepak bola: menghayati sepak bola.
Meskipun yang namanya cinta ya tetap cinta.
Semoga di bulan-bulan selanjutnya, laga-laga selanjutnya, kalimat “bola itu bundar” masih diyakini dan membahagiakan.
Hingga sepertinya, cukup lepas untuk sekiranya kita membahas hal-hal yang
terang dan manis. Seterang dan semanis indah mekar bunga pinggir jalan itu. Serius, bunga itu benar-benar indah. Gua suka
banget saat mekar. Sepenuhnya sadar bahwa gua bukan anthophile, cukup senang
untuk mengenal jenis itu: Tabebuya!
Mekarnya bunga Tabebuya di pinggir jalan itu, selaras dengan mekarnya
Tabebuya di hati ini.
Pertama, Tabebuya Putih, mengenalkan gua pada semerbak sekotak kelas dengan,
meski nggak seeklusif kemeja dan sarung, kopeah putih itu identitas. Lugu mereka
yang SMP, konyol mereka yang SMK, dan bijak mereka yang Mahasiswa: bersatu padu
dalam latar belakang asal kotanya masing-masing, dalam lembar-lembar kitab arab
tanpa harokat.
Kedua, Tabebuya Kuning, memberikan gua untuk kelopak lembar ringkasan
tajwid kaidah dasar membaca Al-Qur’an. Peralihan masa kanak-kanak ke jenjang
remaja, mengharuskan banyak pemakluman. Pendekatan personal begitu penting,
apalagi untuk sesama kultur. Dengan itu,
pembentukan karakter udah harus dimulai sejak dini, sejak porsi umur mereka ini.
Penangkapan pemahaman dicoba untuk penerapan materi pada praktek analisis di
Juz Amma. Cukup seru.
Ketiga dan terakhir, Tabebuya Merah Muda, meyakinkan gua akan lembut indah
warna untuk tetap cerah itu. Mereka adalah orang yang terpilih atas minat,
bakat, dan tekadnya. Suatu hal yang perlu diapresiasi akan kepedulian dan cinta
mereka akan dunia literasi, kelas menulis. Meskipun, apa yang bisa mereka dapat
dari pengorbanan menulis tanpa membaca? Mereka menyatakan, membaca nggak hanya
pada buku! Semi-semu merah muda semakin mempesona di balik sekat hijab
matriarki.
Latar dan kultur, karakteristik dan spesifik, soal ketiduran di kelas atau
keterlambatan datang hingga keterbatasan bacaan adalah sisi manusiawi itu
sendiri.
Tapi, binar mata itu dipersatukan oleh cerita dan bercerita: satu padu.
Gua, mereka, kami yang percaya bahwa cerita dan bercerita adalah bagian
dari perawatan jiwa.
Anggun rekah indah 3 kelopak Tabebuya itu, begitu semerbak menyapa: di bulan
tarbiyah dan puncaknya.
Komentar
Posting Komentar