Nirbita
Bagi seorang pembaca buku, waktu dan tempat dirasa cukup berpengaruh. Nggak hanya itu, sebenarnya, suasana hati adalah hal yang sangat berperan atas keberlangsungan kegiatan usaha menyelami diri sendiri itu.
Semua bisa
gelap.
Semua bisa
terang.
Pahit atau
manisnya, untuk pengaruh kondisi penyesuaian selera: meski novel, ya, meski
novel!
Hingga, di
musim semi yang kesekian, bunga itu bermekarkan buku-buku. Tampak cerah,
sepenuhnya mengharum.
Apa daya,
cacing yang bercita-cita menjadi abjad itu tetap nggak berdaya dihadap jarak
antara kuntum dan permukaan: sejujurnya, ia menyukai, memuja harum tanah dan
huruf-huruf.
Ia memilih
memunguti, dari kelopak-kelopak layu yang bergugur.
“Apa boleh,
Bunga?” Tanya cacing tampak ragu, dalam tunggu.
“Bukankah kita
saling mengenal?”
Penuh senyum,
ranum.
“Kuharap kau
percaya.”
“Aku bukan
tempat percaya.”
Ilalang
bersorai, lerai.
“Hmm, baiklah.”
Cacing itu
berjingkrak dalam geliatnya, berseluncur lembab tanah gembur dalam riang
genggam selembar kelopak yang ternamai: “Sekotak Senja Untuk Nirbita”.
Sebagaimana
layaknya novel remaja bergenre romance, kita bisa menerka dengan porsi logika
anak remaja: sebuah novel yang menceritakan latar sempit dengan alur yang
dipanjang-panjangkan. Tentang sekolah, kenakalan, kendaraan, dan kemilau
duniawi, berusaha mencipta istana megah dari pasir.
Ya, kita akan
sedikit hilang selera jika menggunakan logika itu. Tapi coba sesekali kita
menghidupkan skeptis dalam konsep-konsep kritik sastra: meski hanya dari judulnya.
Mungkin akan
terkumpul beberapa opsi probability:
1. Seberapa besar
makna konotasi “sekotak” dalam kalimat sekotak senja?
2. Siapa yang
memberi sekotak senja itu?
3. Alasan apa yang
membuatnya bisa sampai memberikan sekotak senja?
4. Kenapa harus
sekotak senja?
5. Apa penyikapan
Nirbita atas itu?
Hingga setiap
kalimat di novel itu menjadi alasan dari timbulnya rasa penasaran.
Sebagaimana
mereka yang menghidap anxious introvert, nggak semua orang bisa dengan
mudah mendapatkan chemistry pada bab-bab awal novel.
Walaupun pada
akhirnya, novel itu bisa dipetakan dengan sederhana dari hanya 3 tokoh utama
yang dikembangkan: Nirbita, Raiden, dan Sekala.
Raiden untuk
putusnya.
Sekala untuk
nyambungnya.
Untuk
tokoh-tokoh yang lain, diperhitungkan dari penempatan keterkaitan 3 tokoh
utama.
Cukup menarik
membaca cerita percintaan kaum borjuis yang nggak melepaskan sisi materialistik
dari romantisasi. Seolah-olah sempitnya ide pemikiran, harus menggunakan
bergelimang hura-hura harta untuk mencipta imajinasi kesan melankolism dalam
cinta. Seperti nggak ada frame sisi holistik lain, dari mengangkat dan mencipta
sudut pandang lain.
Sebenarnya,
intrik utama topik yang menjadi tanda tanya besar dalam novel itu adalah soal
penyadaran dan penerimaan cinta bagi seorang Nirbita. Soal ia dengan luka yang
diberikan sosok ayah, lalu harus mengalami penyadaran atas selingkuhnya Raiden
dan belajar penerimaan atas tulus cinta Sekala.
Perempuan
dengan surplus kalori itu, harus dihadapkan dengan surplus maskulinitas.
Ya, hal yang
menjadi plot twist dari novel itu adalah perihal Raiden yang tiba-tiba
selingkuh dalam status semat couple hits atas 4 tahun hubungannya dengan
Nirbita dan Sekala yang ternyata menyimpan perasaannya pada Nirbita semenjak
tahun awal SMA dan konsisten hingga berbalasnya.
Dan sisanya?
Hanya tentang famous, nilai akademik, metropolitan, persahabatan dan
kekeluargaan, juga upacara memuja senja.
Tapi
bagaimanapun, dirasa selalu menarik membaca dan mengenal beragam kisah
percintaan makhluk bumi. Meskipun hanya untuk sekedar tau perihal bagaimana cara
kekuatan cinta bekerja.
Tentang
mencintai dan dicintai.
Tentang cemburu
dan rindu.
Cinta adalah
sebuah penyikapan, dan kita belajar akan itu: terus menerus, meski sedikit dan
perlahan.
Membaca buku,
terutama novel, hingga bisa sampai timbul antusias dan gugah itu. Selain
terjawabnya skeptis, tentu juga perihal relate sisi diri yang tertuang di sana:
kadang haru, kadang pilu.
Hal lain,
perihal pembelajaran yang disajikan dalam potret alur kejadian dan kutipan.
2 ini, cukup
mengena.
“Dunia ini
luas. Semakin lama kita di sini, semakin banyak kita ketemu orang dan semakin
banyak pula sudut pandang yang harus dimengerti. Kayak misalnya, soal jahat dan
baik. Sebenarnya, nggak ada yang benar-benar jahat dan benar-benar baik. Semua
tergantung siapa yang melihat dan seperti apa takaran yang telah mereka
tetapkan untuk menentukan jahat dan baik tersebut. Hidup itu simple kok,
cuma soal sudut pandang. Makanya kita
nggak boleh hakimin orang cuma dengan lima detik pengamatan.”
“Lain kali,
kalau ada sesuatu yang mengganjal, jangan diterka dan disimpulin sendiri. Kita
bisa omongin bareng-bareng. Nggak capek apa buang banyak waktu cuma untuk ribut
sama isi kepala yang belum tentu kebenarannya?”
Lucu nggak sih
kalau ada suatu gejolak diri yang ditimbulkan dari novel? Merasa mengena,
merasa dinasehati, merasa terjawab.
Ya, itulah
bentuk cinta buku kepada pembacanya. Kita diharuskan meraba setiap pesan dan
makna yang terkandung di dalamnya.
Oleh sebab itu,
bagi kalian yang sedang dalam usaha penyadaran dan penerimaan, buku “Sekotak
Senja Untuk Nirbita” ini direkomendasikan.
Terucapkan maaf
dan terima kasih untuk penulis.
Terucapkan maaf
dan terima kasih untuk bunga yang salah satu kelopaknya rela layu.
Komentar
Posting Komentar