Mulyono

“Bahagia itu ketika semua kegiatan kita berjalan lancar, Kak!” Jawab seorang gadis yang ambisius menjadi penulis, pada sebuah pertanyaan arti bahagia, di forum lingkar pena sederhana.

Cukup panjang pembahasan diskusi tersebut untuk diceritakan. Untuk hal yang ringan dan pasti, gua semakin meyakini jawaban tersebut di suatu kejadian.

Kita, manusia, punya luka masing-masing: dan berhak menentukan dengan menggunakan obat apa untuk mengobati.

Dengan ini, gua bersyukur. Sebuah hal, yang membuat gua merasa sebagai manusia. Hari-hari kadang memiliki pahit manisnya tersendiri. Banyak hal yang mempengaruhi penilaian kita akan kunyahan dan kecapan.

Hari itu, cukup terasa manis.

Untuk pembahasan hari, sebenarnya, bisa dimulai dari rentang bangun tidur sampai kembali menuju tidur. Tapi, bukankah setiap orang punya jam bangun dan tidur masing-masing?

Oleh karena itu, kita ambil jalan tengah dengan membahas hari dari permulaan hari itu di mulai, dari angka di jarum jam: mulai dihitungnya hari.

Di awal tengah malam, semenjak remang cahaya menunjukkan pukul 00.01 WIB: forum bathsul masail itu kini telah lebih efisien dan optimal dengan durasi tetap. Jam 1 malam harus udah selesai. Meskipun sebagaimana layaknya bathsu, terutama pada jadwal pembahasan fiqh di malam ahad, detak detik waktu bukan pertimbangan. Jangan tanyakan pula kepekaan terhadap lelap kelopak mata yang menyerah.

As’ilah tentang “Kantin Kejujuran” itu menerawang konsep akad mu’athah dalam bab mu’amalah.

Hingga, termasuk semua hal yang menjadi sisi kekantinan dan kenyang, menjadi balasan atas mereka yang jujur: nampan-nampan nasi berlauk dingin, tersambut sendawa-sendawa mungil, lugu, dan menggemaskan.

Rutinitas pekerja malam, mengharuskan ‘belajar’ lebih dari membaca dan menulis. Meskipun kali ini tetap dalam ranah perkitaban: dalam suatu kandang acak-acakan para cendekiawan.

“Besok malam rabu, bab 2 harus udah selesai. Biar nanti pas presentasi di hari sabtu sama beliau bisa matang dan lancar.” Ucap Kepala Suku.

Kepala pribumi mulai mengepulkan asap. Berbagai jenis asap. Kipas otok-otok berusaha menghalau mata-mata yang memanas: semampunya.

Perkrotak-krotok tak-tik-tak-tik suara keyboard laptop bersahutan dengan argumen-argumen yang menolak surut.

“Lihat tuh Si Ahbat, malah baca novel!” Celoteh seorang pribumi, pada saat water break.

“Lah, kenapa? Lagian tugas gua udah selesai!” Ucap gua ketus, tepat di saat bab konflik novel itu, cukup mengganggu.

“Lu, bawa novel satu doang?”

Sontak gua kembali menengok, cukup kaget, akan ujung kalimat tersebut. Wajah itu terlihat memelas mengenaskan.

“Ohh, kamu mau noveeel? Selesain dulu garapannya!”

Pembahasan diskusi dan menangkap ekspresi itu: cukup menarik dan seru, selain lembar-lembar novel ini.

Selepas bergerah-gerah badan dan pikir itu dicukupkan, bermain air dirasa menjanjikan segar. Mandi di jam 2 malam memiliki simpang siur manfaat dan mudharatnya tersendiri. Entah melegakan atau merisaukan, ada ‘sosok’ lain yang rupanya berkenan untuk menemani bermain air di malam itu.

Siapa sangka, ‘sosok’ itu memperkenalkan dirinya.

“Kamu Ahbat, ya? Perkenalkan, aku buntelan! Kayaknya main air bareng aku seru, deh!”

“Kok?”

“Iya, bareng aku. Emang pakaian kamu tinggal berapa di lemari?”

Yah, sebagai orang yang nggak enakan, terutama pada ‘sosok’ yang baru dikenal dan sopan, gua penuhi tawaran itu. Apalagi hal ini didukung dengan suport ember dan tumpukan hanger. Degradatif pakaian di lemari sepenuhnya akan tersudahi.

Nyatanya, hening gagal bersemayam di peraduan.

Setelah mandi segar bersih ganteng kalem, malam tanpa kelam: sarung, kolor, kaos, kemeja, bersubstitution. Beberapa semprot parfum mengucapkan selamat datang dan memeluk. Menggelar sajadah dan menerka makna:

وَاِذَا سَاَلَكَ عِبَادِيْ عَنِّيْ فَاِنِّيْ قَرِيْبٌۗ اُجِيْبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ اِذَا دَعَانِۙ فَلْيَسْتَجِيْبُوْا لِيْ وَلْيُؤْمِنُوْا بِيْ لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُوْنَ

“Apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Nabi Muhammad) tentang Aku, sesungguhnya Aku dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia berdoa kepada-Ku. Maka, hendaklah mereka memenuhi (perintah)-Ku dan beriman kepada-Ku agar mereka selalu berada dalam kebenaran.”

Ala bidzikrillahi tathmainnul qulub...

Allahu Akbar Allahu Akbar!

Adzan subuh, lanjut sholat shubuh. Dan sholat, nggak hanya sekedar sholat. Seenggaknya dzikiran, pastinya berdo’a.

Sepenuhnya atas kesadaran diri dan bayang-bayang mustahiq, lalaran setelah subuh dirasa sangat membantu. Baca aja keterangan terkait kinerja motorik otak yang digunakan di waktu pagi.

Selepas itu, gua menemui Mulyono.

Bukan seperti Mulyono yang kalian bayangkan, Mulyono di sini adalah sobat baru gua: ia, seekor cupang Bagan bersirip gradasi merah scarlet dan hijau jungle. Ba’da subuh adalah jam sarapannya.

Beberapa butir dari botol pakan pelet ditabur halus pada permukaan aquarium toples bening. Seperti layaknya orang bangun tidur, Mulyono mengunyah malas. Meskipun tetap dilahap habis. Ia berenang tenang. Semingguan dirawat, postur tubuhnya makin subur. Kian elegan dan gagah.

Melihat ikan itu berenang ke sana kemari, rasanya sama seperti membaca 2 buku self improvement.

Untuk pemilihan nama Mulyono, nggak ada filosofis yang spesial. Ya, biar mulia aja. Karena nama adalah do’a.

Karena berhubung Madrasah Qiro’atil Qur’an sedang ujian, dan ujian memiliki beberapa gelombang untuk beberapa tingkatan, pagi itu memberi ruang untuk gua bisa sarapan pecel di waktu pagi. Karena memang, pagi itu bukan jadwal gua ujian.

Dari sekian tukang pecel yang terpuja di seluruh pondok ini, tukang pecel arah timur laut nggak pernah tergantikan: soal cita rasa, porsi, pelayanan, dan harga.

Meski bukan tipe orang yang biasa sarapan pagi, kali itu malah terbesit minum susu. Kebayang, sarapan seporsi pecel aja merupakan keberanian yang perlu diapresiasi, apalagi harus ditambah susu murni dari peternakan sapi perah pondok penghafal Qur’an itu.

“Beli berapa, Kang?”

“Setengah liter aja.”

Uang diberi, seplastik susu murni diterima.

2 kantong plastik itu sepenuhnya tertenteng tangan kanan, terayun, seirama langkah kaki.

Sesampainya di kamar, menu itu digelar.

Seporsi nasi pecel bersayur berayam berbumbu kacang berkrupuk dan ditambah setengah liter susu murni untuk minumnya: apa yang terjadi jika itu semua bersatu padu dengan asam lambung? Kita buktikan!

Allahumma bariklana fi ma rozaqtana wa qina adzabannar!

Nyam nyam nyam.

Sruput sruput sruput.

Dan....

Kenyang.

Alhamdulillahilladzi ath-amanaa wa saqoonaa wa ja'alanaa minal muslimiin.

Kayaknya, banyak sekali do’a dalam hidup?!

Selepas segar bugarnya sarapan, terasa fabiayyi ala irabbikuma tukadziban untuk membaca buku yang tersambut fajar. Novel perjuangan itu dibuka, dibaca. Kata demi kata, kalimat demi kalimat, lembar hingga bab, lalu blubuk-blubuk. Ternyata lambunglah yang malah memberi plot twist novel itu.

Sekembalinya selesai dengan panggilan alam, cukup terkaget ketika melihat seseorang yang tengah terbaring terlelap. Sepenuhnya familiar, orang jauh, dan kenapa bisa sampai nyasar ke sini: beliau, Gus Nahdlo rahimahullah.

Nggak ada salaman bahkan sapaan, bukan apa, biarkan beliau istirahat.

“Loh, kok beliau bisa sampai ke sini, Kang?” Tanya gua ke hamba Allah, masih dalam kaget nggak menyangka.

“Iya, kemarin beliau ada acara di Kediri, sekalian mampir ke sini.”

Di sisi lain, sekelabat bayang tugas kuliah pemberian menung saat ‘panggilan alam’, kembali hadir seketika puas melihat wajah Sang Founder yang terlihat begitu lelap lelah.

Ya, lagi-lagi, buka buku, ambil pena, obok-obok materi dan menakan pikir, lalu menuangkannya di 3 lembar kertas folio bergaris.

Selembar selimut dan sepotong bantal dalam telungkup menjadi solusi dari meja belajar yang raib.

Tangan dan mata saling bersinergi dalam bayang-bayang tugas yang harus dikumpul hari itu juga: wajah dosen itu, lengkap dengan intonasi dan pemilihan diksinya.

“Bat, punya handuk, nggak?” Tanya seseorang, dari suara-suara bangun tidur.

“Punya, Gus.”

Gua bergegas mengambil handuk, beliau beranjak mandi.

Lembar-lembar folio sepenuhnya prioritas dari jari-jari yang mulai mengkeriting.

“Bat, anterin saya ke stasiun, yuk?!” Ucap Gus Nahdlo yang tampak bersiap, menghadap kaca sehabis mandi.

“Ke mana, Gus? Jenengan mau pulang?” Gua tentu kaget.

“Iya nih, jam delapan jadwal keretanya.”

Tepat di saat gua menyelesaikan tugas kuliah itu, gua bersiap memakai kemeja, mengambil kunci motor, dan 2 helm.

“Biasanya di kota sering ada razia, Gus.” Ucap gua seraya memberikan satu helm ke Gus Nahdlo.

Barang bawaan yakin terbawa, motor itu melaju.

Selama di perjalanan, nggak banyak yang diobrolkan. Karena secara sekilas intip gua dari spion, beliau tengah sibuk berbalas chat di hp-nya. Jadi, yaudah deh.

Sebisa mungkin gua berkendara dengan aman dan nyaman. Perlahan, spidometer statis di angka 60 km/jam. Pelan, fokus, dan hati-hati.

Motor melaju di tengah kota yang mulai padat.

Sesampainya di stasiun, Gus Nahdlo memberikan sebaris senyum, tepat di saat melepas helm. Lalu, terdiam sesaat.

“Mau saya ikut tungguin nggak, Gus?” Niat hati menemani beliau sampai jadwal datangnya kereta itu.

“Eh, nggak usah, nggak usah.”

Barang-barang itu sepenuhnya diturunkan.

“Yaudah, Bat. Terima kasih, ya!” Seraya menjulurkan tangan, bersalaman.

“Iya, Gus. Sama-sama. Terima kasih juga udah mau mampir ke kamar.”

Gus Nahdlo terlihat limbung, merogoh sesuatu dari saku hand bag-nya.

“Ini buat kamu, sekalian buat jajan teman-teman. Sama bensin juga.”

Lembar itu lebih dari cukup.

“Eh, Gus, nggak usah, Gus. Kayak sama siapa aja.”

“Udah, nggak apa-apa. Sekali lagi makasih ya, Bat. Saya pamit dulu!”

“Iya, Gus. Terima kasih, hati-hati.”

Gua kembali salaman penuh dalam. Sayang sekali rasanya, hanya bisa bertemu dan berbincang singkat di tengah jauh dan sibuknya beliau. Tapi, diberi kesempatan ini pun rasanya udah seperti di luar dugaan: sangat bersyukur, cukup senang.

Mesin motor itu kembali menyala, berputar arah dan berbalik haluan tepat di saat Gus Nahdlo perlahan hilang dari penglihatan. Misi sekarang adalah menunaikan amanah dengan mencari sarapan apa yang tepat untuk masyarakat kamar dengan kadar selera dan spesifikasi kantong perutnya.

Kediri gua thawafin. Kudapan manis, kudapan gurih, dirasa udah terlalu menggelembung pada cantolan motor sebelah kanan. Belum lagi gua harus membawa 2 bongkah helm dan berkendara dengan fokus.

Ngeng... ngeng... ngeng...

Sesampainya di kamar, kudapan itu disambut dengan brubuk-brubuk, grasak-grasak.

“Wih, edisi apa, nih?” Tanya seorang hamba Allah dengan wajah bantal, mulut sepenuhnya menggiling.

“Dari Gus Nahdlo.”

Ya, sarapan hari itu terjamin. Kekeluargaan terjalin: semakin terjalin.

Dirasa udah mandi dini hari, masih terlalu bersih dan ganteng, gua hanya berniat kembali sikat gigi dan berface wash ria, lalu wudhu. Hingga, berprot-prot parfum dan 4 rokaat sholat dhuha, lalu menggiring buku-buku ke dalam tote bag dan caw!

“Et, tapi, kenapa nggak sampai pada frame penjelasan ambil kunci sepeda?” Tanya salah satu anggota ukhwah ontheliyah, mungkin.

Btw, onthel gua lagi rada nggak enak badan. Minta do’anya aja: biar gua nggak ikutan nggak enak badan karena harus bolak-balik kampus jalan kaki setiap hari.

Di kampus, sedatangnya dosen, gua kira, gua adalah orang dengan prestisius kesiapan tugas yang jauh dari optimal. Secara emang, eksekusinya yang mendadak. Tapi nyatanya, gua adalah orang pertama yang mengumpulkan tepat di saat dosen itu menagih bahan penilaiannya. Dan yang lain?

“Pak... Tugas saya.... #$%^&FDGFGHJJH#$%$^&*’.%^&*().,’.@#$%. Fuh-fuh-fuh!”

Dengan itu, gua hanya bersenandung dalam pikiran: utungnya bumi masih berputar, untungnya ku tak pilih menyerah, du-du-du-du-du!

Segala hal yang perlu ditunaikan di kampus, gua tunaikan: dari yang senyum-senyum, sampai cemberutnya.

Pembelajaran selesai, beranjak pulang, kembali berpanas-panas jalan kaki, merapihkan buku dan ganti pakaian, mandi, sholat, makan, dan hal-hal yang mengganggu waktu tidur.

“Bang, hari ini jadwal lu piket!” Cord itu berintruksi.

“Siap!”

Sampai datangnya para tamu berkumis itu, lalu bersiap untuk memberikan arahan dan penugasan konten tulisan, gua beranjak, segera berganti atribut-bertumpuk bantal-menggelar selimut-ambil buku, dan bobo ganteng!

Dicepatin aja ya?! Gua udah mulai rada capek nulis, malas! Ternyata jauh dari kalimat ‘ringan dan pasti’ di awal.

Bangun tidur di waktu sore, loading, wudhu, sholat, waqi’ah, lalaran, cek penugasan tamu berkumis, makan, dan me time dengan novel 347 halaman itu!

Di hari yang semakin gelap, kamar udah berubah status menjadi kandang: ini pertanda waktunya piket, penyapu adalah jobdes inti!

Lalu, menjadi bagian dari khalayak pengantri kamar mandi, wudhu, sholat, tadarus, kasih makan Mulyono, baca sebab dua bab novel, rapihin kitab, sholat isya, dan berangkat madin.

Di madin, ya begitu: lalaran, peroisan, pembelajaran, setoran, pulang.

Malam itu rasanya, nasi goreng Portugal adalah dinner menu offerings yang recomended. Buat Portugal, pribumi menjelaskan akronim dari porsi tukang gali: murah, banyak, micin, adalah definisi dari seporsi nasi goreng bapak gendut yang akrab dipanggil Pak No itu.

Lalu, malam semakin kelam.

Tulisan ini harus tenggelam.

Terima kasih udah rela menemani dan membaca write vlogger ini: anda kurang kerjaan sekali!

 

 

 

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Termometer

Semut

Kepompong