H3

Kalimat mengena itu, selalu diucapkan J.S. Khairen dalam setiap kampanye literasinya:

“Minimal bacalah 2 buku dalam satu bulan: 1 buku non fiksi untuk pikiran dan 1 buku fiksi untuk perasaan!”

Meski dirasa jam baca fiksi gua amburadul untuk akhir-akhir ini, tapi kepekaan, tetap menunjukkan desir harunya tersendiri.

Suatu hal yang berharga, masih bisa diberikan kesempatan untuk menjadi bagian dari mereka.

“Saya kira, kegiatan ini sangat penting. Agar bisa dijadikan bekal suatu saat nanti, saat dibutuhkan.” Kalimat Gus Nabil yang sempat gua tulis di lembar terakhir catatan buku pedoman itu, pada malam sosialisasi, menjadi nyala api yang membakar semangat ini.

Mulai terbayang, menerka akan daftar pelajaran kitab-kitab itu: Safinatussholah, Awamil Jurjani, Dasar-Dasar Shorof, dan Ubudiyah.

Bagaimana bisa seorang pelajar yang diharuskan memakai jubah seorang pengajar?

Jika ditanya ‘bisa’, tentu bisa-bisa aja: meski barang tentu akan terasa longgar terlampau besar, tetap terkesan aneh dan nggak pantas.

Tapi, jika ‘mampu’ yang ditanya, apalagi ‘mau’? Jawabannya harus mampu, tentu mau nggak mau: sebab memang seperti ini cara ‘tuntutan’ memberikan pelajaran!

Bayang-bayang Pondok Ngampel, sepertinya nggak begitu menyeramkan.

Hingga, di hari pertama, setelah yang ditentukan, tentu harus menghadap mustahiq yang berwenang, atas pelimpahan tanggung jawab pembelajaran kelasnya.

“Saya nggak muluk-muluk, Kang. Nggak harus dengan metode dan strategi pembelajaran yang harus beginilah, begitulah. Sesederhana, tugas sampean itu menyampaikan, tugas anak-anak itu paham.”

Gua mengangguk dalam tunduk.

“Sampean kalau mau lanjut menjelaskan dari batasan kitab, monggo. Nggak, ya monggo. Tapi saran saya, lebih baik mulai dari awal aja. Terutama untuk kitab Awamil Jurjani. Saya dari kecil sampai besar itu di Pondok Ngampel ini. Saya tau betul kultur dan kapasitas mereka. Nggak perlu banyak-banyak dan berpanjang penjelasan, meski sedikit yang penting mereka bisa paham. Saya harap juga, untuk teman-teman diarahkan perihal peroisan kelas. Juga kalau mau menyimak setoran, monggo. Mau menyabeti mereka yang tidur-tidur, monggo.” Lanjut beliau dengan sesekali gua yang menelan ludah.

Di kesan pertama, pandangan gua tentang Pak Rif’an Muslih, adalah sosok mustahiq yang menjadikan intuisi sebagai pegangan.

Gua kagum pada beliau.

Gua belajar dari beliau.

Hingga akhirnya, hingga dimulainya.

Bagaimana bisa, gua yang spontan kebakaran jenggot untuk salah bawa kitab di kesan pertama pertemuan? Tapi, bagaimana pun, pendidikan punya sisi kredibelitas dalam fleksibelitas. Semua bisa diatasi!

“Jangan panggil saya ‘Pak’. Saya nggak setua itu, kita sama-sama masih siswanya. Panggil ‘Kang’ atau ‘Bang’, bebas.” Deklarasi gua setelah perkenalan singkat. Meskipun pada akhirnya, lambat laun, panggilan ‘Pak’ itu tetap menjadi konsekuensi.

Hmm, yah.

“Jadi mohon maaf aja, jika nanti selama pertemuan kita ke depan, ada penjelasan saya yang kurang jelas dan sulit dipahami. Karena memang, saya nggak pernah belajar kitab ini. Nggak pernah merasakan Ibtida’!” Penjelasan yang entah dimaknai sebagai suatu kesombongan atau nggak, gua kira, gua sepenuhnya jujur atas itu.

Benar saja, 2 bentuk reaksi ekspresi itu menggambarkan 2 pemahaman beda yang mendasar: mereka yang menganggapnya bercanda, dan mereka yang menganggapnya serius.

Detik, menit, jam yang berdetak berputar, memiliki degupnya tersendiri. Seenggaknya, muluk-muluk konsep mengajar sebagai anak Fakultas Tarbiyah itu mencoba gua terapkan. Mencoba menerka dampak efektifitas hasilnya: perlu dan pentingkah tetekbengek omon-omon materi yang memenuhi buku catatan 200 halaman gua itu?

Karena itu, gua mulai berkenal dengan si mitos yang selama ini berkelebat di telinga: ia, RPP.

Untuk diri sendiri, persiapan adalah usaha pemantasan yang harus. Dan matangnya persiapan ditentukan oleh seberapa niat dan banyaknya dalam belajar. Gua mencoba untuk itu, mengusahakan.

Tapi seenggaknya untuk mereka, ada 2 hal yang menjadi titik fokus: soal karakteristik mereka yang berbeda, dan soal ‘tura-turu’ sebagai penyakit ganas yang mudah menjangkit.

Terkhusus untuk ‘tura-turu’, jatuhnya, gua malah mikir: “mungkin kayak gini ya rasanya, kalau mustahiq lagi ngejelasin pelajaran tapi gua malah tidur?!” Meskipun nggak sampai untuk kata sabet menyabeti, “bagi yang ngantuk, silahkan wudhu!”

Ada beberapa hal yang menurut gua, nggak dapat diselesaikan dengan konsep-konsep teoritis. Ada kalanya, kita diharuskan membuka mata untuk melihat realita yang sesungguhnya: banyak faktor, banyak sebab-akibat. Itu yang sulit dijelaskan, meski sepenuhnya terpahami.

Dengan itu, gua sepenuhnya setuju dengan Pak Rif’an akan pentingnya intuisi. Seenggaknya, kita bisa dapat kepercayaan dengan cara pendekatan apapun: termasuk komedi dan literasi, adalah macam seni yang terlihat mempesona di mata gua.

Seminggu awal berjalan, minggu kedua gua mulai berganti metode-strategi-model: baik koperatif atau konvensional, baik PBL atau CTL. Kalau ucap dosen Metodologi itu, “terapkan 2 PTK yang berbeda lalu analisis!”

Seenggaknya, kedekatan dan peroisan lebih berkembang. Di minggu kedua itu, menyimak setoran mulai diterapkan. Menyimak, bukan menambah. Awamil, bukan Aqidatul Awam.

Dalam konsep public speaking, story telling adalah kunci. Dan minat membaca sangat menentukan akan kualitas public speaking, story telling, dan bahan cerita tersebut!

Setiap hari di sudut akhir jam pembelajaran selepas materi, bercerita adalah momen sakral bagi kami!

Seberapa pun dingin angin malam menggoda, kami punya cara tersendiri untuk mencipta hangat satu sama lain: menyenangkan.

Sampai akhirnya, harus berakhir. Setiap pertemuan harus ada perpisahan. Meskipun, untuk sedih, nggak harus selalu diluapkan dalam tangis.

“Untuk pertemuan terakhir kita ini, saya boleh minta tolong? Untuk mengisi lembar kertas yang akan saya kasih dengan kesan pesan pertemuan kita selama 2 minggu ini, kurang lebihnya saya, semua unek-unek bisa disampaikan. Semakin banyak, semakin bagus!”

Mereka setuju, mereka menulis. Gua membaca kemudian: lucu-lucu, sepenuhnya menyentuh dan haru.

Perihal dingin dan hangat, melek dan merem, ngakak dan fokus, hingga jaburan dan foto: dalam ucapan maaf dan terima kasih yang paling manis.

 

 

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Baik

Dosa

Dompet