Fergie

“Tim lawak!”

“Klub modal sejarah!”

Coleteh itu kian bergemuruh akhir-akhir ini: bermacam-macam dan mengena.

Sebut saja pada saat MU dijamu Crystal Palace di kandangnya yang berakhir dengan skor 4-0. Kata ‘lawak’ dalam konteks kalah dan kesedihan, jelas bermakna penghinaan.

Perihal ini, hanya 2 probabilitas: entah MU yang bermain buruk, atau Crystal Palace yang bermain lebih baik. Perihal bermain buruk, adalah keniscayaan. Karena yang namanya peforma dalam sebuah klub itu bersifat temporer.

Atau tim lawan yang bermain lebih baik, apa yang salah? Apa salah Crystal Palace memiliki progres yang baik? Apa karena sebuah tim yang bernama asing dan tidak memiliki suporter yang militan lalu nggak pantas bersinar?

Di tahun 94-95, EPL pernah dimenangkan tim yang bernama Blackburn Rovers lengkap dengan Alan Shearer yang menjadi top score kala itu dengan mengoleksi 34 gol: apa kita familiar dengan nama itu? Iya atau nggaknya, Blackburn Rovers atau Alan Shearer tetap menang.

Lalu, untuk perihal ‘modal sejarah’, oh itu sebuah kebanggaan!

Menjadi tim yang memiliki sejarah dan benderang, tentu suatu kebanggaan yang belum tentu dapat dicapai oleh klub lain.

Lagi pula, apa yang lu tau tentang sejarah MU dan berkoar-koar?

Dengan itu, biarlah gua bisikan barang sedikit, untuk sekedar sadar, agar ideologi chauvinisme dan fanatik buta lu itu nggak sampai luntur.

Manchester United lahir dari kehampaan dunia setelah perang dunia. Berdiri dengan nama Newton Heath LYR Football lub di tahun 1878, lalu berubah menjadi Manchester United di tahun 1902, hingga bermarkas di Old Trafford di tahun 1910. Sejak itu, Manchester United telah tumbuh menjadi lebih dari sekadar klub sepak bola.

Semua bermula dari sebaris nama Matthew Busby. Dengan konsistensi, mengantarkan nama Duncan Edwards, David Pegg, Bill Foulkes, Mark Jones, Ray Wood, Eddie Coleman, John Berry, Roger Byrne, Tommy Taylor, Dennis Violett, Bill Whelan, dan Geoff Bent: mereka menjuarai liga domestik dan eropa, Manchester United menaklukan semuanya.

Tahun 1958, di leg kedua perempat final liga eropa, setelah menang atas Red Star Belgrade, Munich jadi kuburan penghampus mimpi: kecelakaan itu mengakibatkan meninggalnya 8 pemain kandidat juara.

Sejak awal, konsistensi dan kerja keras sebagai suatu klub sepak bola dan keluarga akhirnya berbalas. Kejadian pahit itu berbalas manis puluhan tahun kemudian: Juara EPL 2-1 dari Tottenham Hotspur, juara FA Cup 2-0 dari Newcastle, dan kemenangan epic heroik juara Champions League 2-1 atas Bayern Munchen.

Tahun 98/99 yang penuh pesona!

Semua itu tidak terlepas dari suatu sosok, Sir Alex Ferguson.

“Aku Alex Ferguson. Aku adalah manajer Manchester United sekarang. Aku tidak peduli siapapun dirimu. Tidak peduli jika kau Whiteside, Robson, Mcgrath, Strachan. Apapun. Mulai hari ini aku manajer Manchester United.” Ucapnya sejak awal, kala itu.

Tanpa mengenal atribut jersey manapun, ia adalah idola bagi mereka yang menjadikan sepak bola sebagai perawatan jiwa.

Terkhusus bagi mereka yang mendukung, ya tugasnya hanya mendukung: nggak lebih nggak kurang. Apa yang harus dipermasalahkan antara menang dan kalah? Peringkat atas dan bawah? Modal utama seorang suporter adalah cinta. Selama itu Manchester United dan cinta, seharusnya udah cukup.”

Tulisan ini ditutup oleh ungkapan pemenang PFA Player of The Year Awards 1996, Sang Legenda: ia, Eric Cantona.

“Memahami United berarti memahami aspek fundamental dari manusia. Yang menggetarkan kita. Yang membuat kita takut. Yang membuat kita merasa hidup.”

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Termometer

Semut

Kepompong