Biskuit
Suatu hari, gua didatangi kaleng khong guan. Tampak sedih. Wajahnya muram. Suram. Lalu, cerita.
“Padahal,
Bat, gua kira dia dokter sesungguhnya. Gua kira, gua bakal mati kalo nggak ada dia. Semua hal
yang gua rasa, udah gua tumpahin ke dia. Gua udah benar-benar terbuka
sejadi-jadinya ke dia, yang sebelumnya gua nggak pernah gini ke orang lain.”
“Tapi apa, Bat?
Ternyata gua cuma seorang pasien. Segelintir pasien yang kesekian dari panjang
barisan lain yang sudah menunggu.”
“Emang salah
gua, Bat. Gua salah tangkap sikap dia ke gua. Dia orang baik dan ternyata
baiknya untuk semua orang. Tapi, apa iya, Bat? Ada macam kebaikan yang mampu
menyapa perasaan?”
Astaga!
Malang sekali
kaleng itu dikoyak cinta.
“Ya, menurut
gua, nggak ada yang salah dalam hal ini.” Jawab gua sekenanya, mencari jalan tengah.
“Dia nggak
salah dengan segala kebaikannya, emang seperti itu orang positif. Terlalu
welcome buat semua orang. Dan sedangkan lu yang asing dengan hal itu, jadinya malah salah tangkap.
Meski terkadang ada hal yang nggak bisa dibuka secara sembarangan. Dan untuk
kata nyaman, kita nggak bisa berbuat banyak jika ia telah menunjuk tempatnya.”
Lanjut gua.
“Leng,
kaleng. Udahlah. Jangan menggantungkan sesuatu, jangan berharap pada kaleng
yang lain. Meski kita udah anggap dia sebagai satu-satunya untuk terbuka kita,
sedangkan dia malah anggap lu sebagai biasa. Hal yang memang sewajarnya dilakukan sesama
kaleng.”
“Kalo lu suka
sama dia, bilang aja. Jangan malah nyiksa diri lu sendiri! Gua tau lu capek.”
Dia malah
tertunduk. Entah.
Rumitnya dunia
perkalengan.
Komentar
Posting Komentar