Bendera
Semua bermula dari kalimat, “Ahbat, jadi MC, ya?!”
Pemuda yang
baru datang, memasuki ruangan, terperangah dengan selembar list susunan acara.
Ya, di
tengah siang menuju sore itu, acara rutinan tahunan yang hangat, segar, dan
membahagiakan itu kembali terlaksana. Sebuah acara yang menjadi wadah untuk
momen bertemu, berbincang, memberi ruang untuk bertukar kabar dan sapa,
melempar canda dan tawa.
Arti
kebersamaan yang sederhana dan mengena dalam lingkup keluarga besar, santri
atau alumni, pondok pusat atau unit, putra atau putri, tanpa sekalipun harus
terdistraksi perihal tugas dan kerja: meski barang sejenak.
Detik itu
menyapa hangat untuk acara tasyakuran wisudawan dan wisudawati: mereka, para
sarjanawan yang menawan!
Dengan
menimbang waktu dan tatapan-tatapan itu, acara gua mulai dengan pembukaan, lalu
sambutan-sambutan: kepala suku, anggota suku, dan perwakilan
wisudawan-wisudawati.
“Kepada
sarjana semester akhir diucapkan terima kasih, selanjutnya perwakilan atas nama
semester 3 yang akan disampaikan oleh saudara Bakwan: shollu alan nabi
Muhammad!”
Nama yang
disebut itu malah tergagap-gagap.
“Lah, kenapa
gua, Bang?!”
Ternyata
orang konyol punya titik kikuknya. Sambutan itu diralat, mencoreng nama besar
semester 3 yang lain: yang hanya bisa batin.
Acara
dilanjut dengan pembacaan tahlil, “kali ini akan dibawakan oleh
saudara Said!”
Meskipun
sama tergagapnya, kali ini, nama yang disebut itu mau menerima. Maklum, mental
semester 5 nggak bisa diremehkan.
Tahlil
dibacakan.
Do’a
dibacakan.
“Alhamdulillah,
di penghujung acara ini, saya sebagai pembawa acara mohon maaf apabila ada
kata-kata yang kurang berkenan. Acara ini kita tutup dengan pembacaan do’a
makan bersama-sama.”
Ini
mengkhawatirkan: mereka membaca do’a dengan menahan tawa, entah terkabul
nggaknya do’a itu?!
Lalu
makan-makan.
Pemberian cendra
mata dan foto bersama.
Itu adalah
premis awal untuk kejutan-kejutan selanjutnya di hari esok.
Pengumuman-pengumuman.
Iuran-iuran.
“Besok
jangan telat, kumpul jam 11 di gedung belakang.” Instruksi ketua angkatan
memberi komando.
Selepas
menembel kitab, malam berkenan memberi ruang untuk self reward dengan nobar laga klasik el classico antara Real
Madrid dan Barcelona yang begitu dramatis.
Selepas
subuh, badan meminta istirahat lebih awal.
Tapi
bagaimanapun, komando itu tetap terlaksana dengan baik. Kumpul pasukan,
mempersiapkan senjata, dan berangkat ke medan perang: Dies Maulidiyah Ke-58 &
Wisuda Universitas Islam Tribakti Lirboyo Kediri!
Bapak sopir
maxim itu ramah dan asik, mobil melaju membelah padat keramaian.
Sesampainya
di sana, kami disambut sengat terik panas matahari, juga debu-debu.
Grusak-grusuk, penglihatan menyapu segenap sudut yang dapat dijangkau: di
manakah beliau?
Di pasukan
ini, dalam kibar bendera Al-Manhal 25, bapak mustahiq rahimahullah diwisuda S2.
Dengan segenap buah karya gambar sketsa wajah yang mengesankan dalam figura
besar, mewakili hal-hal lain yang nggak dapat tersebut.
Belum sempat
bertemu beliau, rombongan lain malah menarik perhatian, lengkap dengan menarik
ujung lengan gua.
“Ayo, Bat!”
Ajak Item yang cukup kaget melihatnya antusias di tempat sefamiliar Aula
Muktamar.
“Lah, emang
siapa yang wisuda?” Tanya gua oon.
Panjang
pasukan itu memberikan tatapan heran. Maklum saja, semenjak memutuskan menjadi
anak kantor, gua cukup jarang main ke kamar. Hanya sesekali dan terus
diupayakan.
Ya, itu
pasukan Iksanda, kamar terhebat seluas pondok ini!
“Nanti dulu,
ya? Gua belum ketemu beliau ini!”
“Yaudah,
nanti kalau udah ketemu, cepat-cepat gabung ya?!”
“Oke, siap!”
Pasukan itu
membelah kerumunan dan menyelinap di dalamnya.
Ketua
angkatan masih bergelut dengan keyboard hpnya, berusaha mencari titik terang di
sana. Sedangkan kami, hanya berjuang dengan apa yang dibisa. Berusaha
mengaktifkan mode byakugan, sharingan, rinnegan, mangekyou sharingan,
rinne sharingan, mata elang, atau mata yang kelilipan.
“Lah, bang,
lu udah ke sini duluan. Dicariin dari tadi!”
Suara itu
begitu akrab di telinga. Ya, siapa lagi kalau bukan Pak Koordinator, Si Rohman.
“Eh, iya.
Tadi kamar sepi, gua kira lu udah pada ke sini duluan. Jadi gimana? Udah
ketemu?”
Masih ingat
dengan premis di awal? Itu tetap sebagaimana layaknya acara tasyakuran.
Tasyakuran dilakukan layaknya tasyakuran, hadir wisuda dilakukan layaknya hadir
wisuda: pantese masseee!
Ya, termasuk
perbuketan!
“Ini belum
diangkat. Mungkin masih sibuk di dalam. Kita nungguin aja, nyari tempat dulu.”
“Hm oke, lah
lu nggak ikut surprise beliau?”
“Ikutlah,
ngurusin ini dulu. Lagian belum ketemu sama beliaunya, kan?”
“Iya.”
Pasukan yang
membawa nama Pers itu mencari tempat teduh, tetap mendeteksi mengidentifikasi
sosok objek dalam radarnya.
Sampai
tepatnya ketua angkatan mendapat titik terang dengan sosok yang ditunggu hadir,
segerombolan pasukan besar melintas. Sontak gua mencari kepala bos-bosannya dan
ketemu. Ia mendongak, gua isyarat wajah: ia mengerti.
Bendera
pasukan besar yang menamainya JWRT Jabodetabek itu terus berkibar, membelah
pasukan-pasukan kecil remeh temeh dekil kucel kumel.
Dalam huru-hara
itu bisa dibayangkan, apa yang harus gua lakukan untuk bisa memenuhi 4 undangan
sekaligus? Mana yang lebih dulu dipenuhi? Hei, gua bukan Raden Kian Santang!
Tapi,
meskipun begitu, gua merasa tersadari: gua nggak sendiri.
Dari keempat
kibar bendera yang berbeda, memiliki selebrasi yang berbeda pula. Sesederhana pasukan
yang berbeda.
Di bendera
Al-Manhal, kesan sungkan bahagia malu-malu terlukis dalam status guru dan
murid. Apalagi pada saat beliau membuka cendera mata itu. Untuk gambar sketsa
wajah masih oke, tapi untuk pemberian yang remeh temeh? Bukannya tersinggung,
beliau malah tergelak.
“Ini siapa yang bikin?” Tanya beliau memegang hand made sendal jepit.
Kami saling
melempar nama.
Sepenuhnya bahagia,
kami foto bersama.
Setelah itu,
gua langsung pindah ke bendera Pers yang kebetulan objek sasaran udah terpantau radar. Meski baru kemarin ketemu, meriah itu nggak berkurang. Sesekali bersalaman
dengan mereka yang keluarganya datang, lalu meminjam anaknya yang wisuda.
Wisudawan
putra.
Wisudawati putri.
Tampak cerah dalam potret Canon EOS 90D dengan lensa Tele L Series Canon EF 70-200mm: ada yang menandingi? Haha, mas-mas stand foto itu terlihat ketar-ketir insecure!
Seperti kutu loncat, karena bendera
Iksanda nggak kunjung ketemu, gua mencolot ke bendera pasukan besar JWRT
Jabodetabek.
“Nah, tukang fotonya datang!” Ucap
salah seorang hamba Allah, padahal gua belum sempat salaman sama wisudawan itu.
Semat ‘Pers’ terkadang begitu
meresahkan, seakan menjadi jurnalis serba ahli di segala hal, tanpa sekalipun
memandang bahwa jurnalis adalah profesi terstruktur yang mencakup banyak bidang
dan bagian.
Biar cepat, gua foto. Minta pendapat,
mereka merasa cocok dengan hasilnya.
Nyatanya, di bawah pohon mangga bukanlah
tempat yang mempuni untuk menampung pasukan yang terlalu militan. Pasukan bergerak
invansi menuju ruang inti panggung kehormatan. Bentrok nggak bisa dihindarkan,
saling beradu dan menolak berpadu.
Dengan kenyataan ada atensi untuk dilarang
merusak taman, panggung kehormatan itu nggak mencukupi. Bahkan untuk mereka
yang telah memilih untuk berpose di bagian bawah panggung. Dengan itu, payahnya,
gua adalah salah satu orang yang nggak kebagian frame. Celangak-celinguk di antara
kepala orang, berusaha meyakinkan diri bahwa wajah ini kebagian perhatian
fotografer.
Sepertinya, nggak efisien.
“Udah sini, Bat!”
Tengok gua pada sebuah ajakan yang terbilang
‘Bonek’ untuk gua yang ‘The Jak’. Memang menjanjikan untuk tempat yang
ditawarkan si fulan, tapi apa jadinya untuk seorang mahasiswa semester 5 yang
harus naik meja Ketua Senat hanya untuk bela-belain bisa masuk frame foto?
Dan kata ‘naik’ di sini bukan hanya
sekedar naik lalu duduk. Tapi, naik dan berdiri!
Wah, geelaa seeh!
“Yaelah,
lagian emang masih dipake nih meja? Acaranya udah kelar! Udah gasin aja! Jarang-jarang
momen setahun sekali, lagian emang yang wisuda bakal wisuda terus setiap tahun?!”
Iya lagi.
Gua kira,
naik meja panjang Ketua Senat dan berdiri dirasa lebih maslahat. Bukannya manusiawi
itu relatif? Yaelah, terobos ajalah!
Di 3 detik
awal berdiri dan melihat tinggi khalayak, gua gemetar. Ternyata gua nggak
se-loss pikiran setan gua. Nggak lama, gua turun.
Bergrabak-grubuk
cekrak-cekrek cekakak-cekikik dalam kebahagiaan yang lugu, gua menepi dari
khalayak dan sendiri, berusaha menyapa kipas angin tornado dengan bulir air
tipisnya. Bodo amat buat orang lain. Emang gua ngapain di depan kipas? Mandi? Seenggaknya
wajah ini bisa disebut wajah.
Hingga,
akhirnya gua memutuskan untuk mencari pasukan dalam kibar bendera Iksanda. Putar
sana, putar sini, kok nggak ketemu. Mungkin gua terlambat, mungkin mereka udah
pada pulang.
Dengan itu,
gua langsung melabrak beberapa wisudawan eks Iksanda, meskipun sedang belibat
sibuk dengan keluarganya. Apa urusan? Wisudawan gua salamin, sekaligus semua pihak
keluarganya yang hadir!
Ah, aku capek sekali hari itu!
Lagi capek-capeknya,
malah harus lihat wisudawan yang nangis dalam pelukan orang tuanya, atau malah
yang sumringah semu bertemu calon mertua.
Gua memutuskan
menyerah, tepat pada saat Si Epren tanya, “Jadi ke Karangsono? Lu udah sholat?”
“Bebas, lagian
gua udah sholat tadi sebelum berangkat ke sini.”
Hari ditutup
dengan nribun di Karangsono untuk laga Final Liga JKM yang mempertemukan asrama
Al-Ghazali dan asrama Al-Maghfiroh.
Terakhir,
diucapkan selamat kepada:
1. Bapak Sacho
Irfan Hamid S.Ag., M.Pd.
2. Kang Muhammad
Mualim Zarkasyi S.Pd.
3. Kang
Muhammad Ainul Atho' S.H.
4. Mbak Ahdatun
Nasibah S.Pd
5. Mbak Shofa
Naila S.Psi.
6. Mbak
Taufiqiyatul Iftitah S.H., M.Pd.
7. Bang Frendy
Rahmansyah S.Pd., M.Pd.
8. Bang Aun
S.Pd.
9. Bang Gilang
S.H.
10. Bang Ara
S.Psi
11. Bang Sahal
S.H.
12. Bang Ube
S.Sos.
13. Bang Taci
S.Pd.
14. Kang Fahmi
Puradi S.Pd., M.Pd.
15. Kang Ashal
Muhammad S.H.
16. Kang Candra
Azhari S.Pd., M.Pd.
Komentar
Posting Komentar