Tumis

Entah siapapun itu, sebut saja namanya tumis kangkung.

Di akhir siang menuju sore, jari jemari itu dipeluk dua potong bibir yang sedikit memerah dan tentu berminyak: entah, rasa lapar terkadang bisa begitu mudah untuk menghargai setiap makanan, tanpa memandang kasta dan strata.

Berdirinya ia sehabis makan, gagah tegap: tangan kanan menunjuk langit dan tangan kiri mengkruwek tipis kertas nasi tandas penuh licin.

Buang sampah itu pada tempatnya...” Ucapnya mendikte pada khalayak.

Khalayak menerka.

Tapi, kalau tempatnya nggak ada?” Lanjutnya, menggantung, mematung.

Kruwek sampah kertas nasi itu dibuang sia-sia, sembarangan: sebagai jawaban.

Meski sepenuhnya, terasa ada sedikit yang salah, entah apa, mulut-mulut itu terkatup mencari pembenaran, melerai semrawut otak yang tiba-tiba ikut terkruwek-kruwek selaras kertas nasi malang itu.

Kemudian, lagi-lagi, semua belum selesai.

“Lagian nggak setiap hal buruk itu buruk, nggak setiap hal buruk tanpa baik. Coba deh pikir, jika kita itu tertib membuang sampah pada tempatnya, halaman-halaman itu menjadi bersih, terus bidang kebersihan ngapain? Nganggur dong?! Malah jadi menutup dan menghalangi lapangan pekerjaan seseorang.”

Hah?

“Buang sampah sembarangan itu diniatkan sebagai membantu sesama, membuka lapangan pekerjaan. Bisa dibayangkan, jika ini udah masuk lingkup yang lebih luas lagi, negara, kalau nggak ada yang narkoba, kalau nggak ada yang korupsi, BNN dan KPK berarti nganggur. Berarti pegawainya nggak lagi punya kerjaan, dong?” Lanjutnya, tiba-tiba aja tuh tumis kangkung berubah menjadi titisan cucu Socrates yang sedang mengisi seminar filsafat anak maba ingusan.

“Lagian ini juga nggak sepenuhnya sengaja, kan emang tempat sampahnya aja yang nggak ada!” Lengkap sudah.

Apa-apaan sih? Kayaknya gua emang harus buru-buru baca buku Logical Fallacy itu!

Wah, nggak benar nih!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Baik

Dosa

Dompet