Sale

Haul sebagai momen sakral yang sering kali ditunggu-tunggu oleh sebagian orang. Lagi-lagi, lagi-lagi, dan lagi-lagi: penulis ini hampir gila karena lagi, ia kembali krisis identitas dengan kenyataan harus menjadi tim marketing di momen haul kali ini.

Sebuah rekor yang mengagumkan, sedari awal dan setiap tahun, penulis ini malah kembali terpilih menjadi sales di hari semonumental haul akbar: mungkin harus dibanggakan dan entah apa itu.

Pergrasak-grusukan persiapan stand yang kurang mood untuk excited diceritakan, cukup bias menerka haul kali ini yang malah tanpa ada jadwal untuk bazar. Dengan kenyataannya tanpa ada saingan dagang, stand yang tetap bisa berdiri dan melenggang dengan leluasa ini tetap harus menerima konsekuensi tempat yang dipilihkan. Tahun ini hadirin begitu membludak, semua tempat nggak tersisa kecuali sepetak tanah di depan toko pondok, di bawah pohon mangga besar.

Di tengah lengang senggang riuh khalayak mengkonsumen, lamunan itu malah membawa sadar yang bisanya baru hadir tepat di tahun ketiga jadi babu marketing ini.

“Mungkin hikmahnya, supaya gua bisa dekat dengan buku!”

Itu jawaban yang keluar.

“Lagi pula ini bisa jadi momen rehat, atau mungkin suatu kesibukan yang lebih fleksibel yang begitu sarat akan literasi. Menjadi titik dalam untuk kenal dan dekat dengan buku dari sudut pandang yang lain, melatih mental untuk gambaran nanti gimana rasanya menjadi penulis buku yang harus mengurus penjualan bukunya: mengenal pasar dan menghadapi konsumen, mengenal nasib literasi secara langsung. Mungkin Allah memberi kesampatan debar lain perihal bibliophile.”

Sanggahan lanjutan yang menenangkan.

Karena memang, buku adalah komoditi utama dari selain banyak produk lain dan nggak ada stok makanan-minuman. Alhamdulillah lancar jaya aman sentosa adil makmur untuk rubung konsumen yang silih berganti pasang surut: entah karena tertarik atau terpaksa tertarik karena nggak ada stand lain? Yang penting untung!

“Kamu mau beli, apa?” Tanya gua ke bocil-bocil lugu, ingusan.

“Nggak kang, lihat-lihat aja.” Senyum malu-malu itu, pada pandangan yang menyapu baris rapih buku-buku. Spontan aja, hal itu mendapatkan geruduk celoteh dari teman-temannya yang lain. Terutama dari mereka yang merasa percaya diri dan mempunyai legalitas hanya karena telah membeli buku saku, buku bacaan.

Iya sih stand gua jadi ramai, tapi gua nggak mengharap ramai yang seperti ini: mereka malah ribut!

“Yaudah, gini-gini,” insting PGMI ini muncul di waktu yang tepat. “Siapa yang bisa jawab pertanyaan, nanti dapat permen!”

Bocil SD lugu ingusan itu bisa dengan mudahnya antusias, meski dari permen abang-abang tukang dagang yang nggak bersifat komersil.

Dengan kalkulator yang sepenuhnya menganggur, -bukan tanda sepinya konsumen, tapi lebih tepat karena tergantikan oleh cerdasnya otak abang-abang tukang dagang jebolan jarimatika itu-, Clash of Champions dadakan itu digelar!

Hanya hitungan dasar penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian, angka-angka itu tersebut dalam hitungan tebak atau hitung seriusnya mereka dalam memberi jawaban. Satu per satu sampai habisnya permen abang-abang tukang dagang, stand itu malah menjadi tempat kuis. Serasa sekolah SD pindah gedung. Dan gengsi ceng-mencengi satu sama lain, kini ditentukan oleh banyaknya permen yang didapat: lucu!

“Lagi dong, Kang!” Ucap salah satu dari mereka yang kalah, mereka yang masih belum terima: entah atas hasil atau celoteh si pemenang.

“Yah, permennya udah habis!” Abang-abang itu menggaruk kepalanya yang nggak sepenuhnya gatal.

“Ayolah, Kang!”

Sedikit termenung pada minat belajar yang entah jenis apa ini, ia terpaksa membuat statement baru.

“Yaudah, ini pertanyaan terakhir dan paling sulit. Hadiahnya, bisa dapat pentol 3 biji, plus seruput kuah!”

Mereka menerka.

“Oke siap, Kang!” Senyum itu kembali merekah.

Untuk perihal pentol, tentu karena permen gua udah habis. Tapi untuk 3 biji, seplastik pentol menghangat itu menu sarapan gua! Masa baru beli dan belum dimakan sama sekali, udah ludes aja?! Tukang marketing dimarketingin? Yang bener aje, rugi dong!

Pertanyaan terakhir itu hanya sedikit diberi kesan sulit untuk angka-angka yang diajukan. Nyatanya tetap ada yang bisa menjawab. 3 biji pentol plus seruput kuah harus direlakan besertaan dengan khawatir terkontaminasi antara rasa asin gurih kaldu kuah pentol dan ingus itu!  

Tapi, dari sekian konsumen yang datang dan beli, cukup membuka mata akan sebuah data yang kita percayai selama ini, bahwa minat baca di negara kita ini masih minim: nyatanya nggak juga! Bolak-balik gua temui di stand, mereka yang bahkan masih bocil-bocil SD hingga SMP-nya yang malah membeli banyak tumpuk buku sekaligus yang bahkan belum masuk kelas asupan bacanya.

Jatuhnya gua malah jadi percaya akan data fakta lain untuk dicoba diyakini, bahwa bukan salah pembaca yang minim membaca. Tapi, salah penulis yang minim menulis. Penulis-penulis yang hanya segelintir, dan segelintir itu pun masih memiliki masalah akan hal produktifitas. Pembaca kurang pasokan buku. Teori itu menunjukkan realitanya!

Sedari pagi sampai sorenya, perutak-atikan kutat sibuk itu terus berlanjut. Konsumen malah makin melonjak dengan datangnya santri pusat di pondok unit ini. Nyatanya es teh itu hanya mengobati dahaga, meskipun cukup meminimalisir lesu ini. Untuk bisa minum aja, abang-abang tukang dagang itu harus berkesepakatan untuk dagang dan rehat minum secara bergantian.

“Bisa kayaknya!” Tanpa sopan santun, sebuah ide tiba-tiba saja menghantam kepala abang-abang yang sedang haus minum penat rehat itu.

“Teng, kayaknya dagang es teh bakal laku, nih?!”

“Ah, jangan aneh-aneh, Bang. Es teh atau bahkan makanan, kan nggak masuk list. Kita nggak ada persiapan dan perhitungannya. Lagian produk-produk yang kita stok ini aja masih bisa ramai.”

Kadang teguh dalam memegang prinsip itu bisa berarti jumud yang memutus ilham inovatif kreatif.

“Kita bisa ramai ini bisa aja karena faktor kita adalah satu-satunya stand yang ada. Dengan menimbang udah sedari pagi dan di sore produk kita masih gini-gini aja tanpa adanya penyegaran, konsumen akan bosen. Gua aja yang dagang udah nggak tertarik lagi ngeliatnya. Barang makin sepi, dan yang tersisa malah penuh debu.”

Sepertinya ia menunggu lanjutan, ujung dari pembicaraan itu.

“Dagang es teh nih menjanjikan, apalagi sampai ditambah stok produk makanan. Lihat aja antrian mereka di toko yang memanjang dan sampai dibatas jika mau masuk itu untuk apa kalau nggak buat makanan-minuman?! Kalau kita bisa nyediain, kita bisa memutus panjang antrian itu untuk diarahkan ke stand kita agar membeli makanan-minuman yang kita sediain. Kalau nggak percaya, nih coba aja taruh es teh ini di situ, dipajang, taruh 2 buat cek ombak. Kalau nggak laku, gua yang ganti. Tapi, kalau laku, kita harus nyetok konsumsi!”

“Oke.”

2 es teh yang masih mengembun itu, diletakaan bertumpuk, di samping gantungan kunci. Sampai, belum ada satu menit, es teh itu ditawar dan lenyap dalam untung.

Perjanjian itu ditunaikan.

Mendadak stand haus ilmu itu melebarkan sayapnya menjadi stand haus dahaga dengan distoknya 20 es teh jumbo dan 10 bungkus pentol. Benar saja, senempelnya 2 produk dadakan itu pada meja stand, jari-jari mulai baku hantam berkroyok. Abang-abang itu malah antusias merasa seru: kayak lagi kasih makan ikan lele!

Terbukti, stand itu berhasil memutus antrian panjang toko yang menggila untuk mampir minum dan makan dari es teh dan pentol yang distok bergilir dan terus menerus. Krubuk-krubuk ikan lele itu nggak berkurang. Abang-abang penulis itu nyatanya mulai memiliki insting marketing yang terasah: sisi jiwa penulisnya dalam bahaya!

Sampai sore, malam, dengan segala krasak-krusuk seperti sedatangnya teman kenalan ke stand, nggak beli, hanya untuk berceloteh-celoteh ria. Hingga tutupnya, hingga teparnya.

Sepulihnya tepar, bukan berarti tanpa tepar lainnya. Di hari setelah selesainya acara, kali ini badan yang dituntut untuk barang-barang yang perlu diangkat diantar dan batang-batang besi stand yang perlu dibongkar diantar. Tossa menjadi jawaban.

Untungnya waktu sore masih berbaik hati untuk sebuah angin segar dan kesan lain yang cukup menyenangkan. Aslinya, mau seberapa capeknya, perihal naik nebeng tossa adalah sebuah obat yang ampuh untuk segala penat-penat yang berkutat.

Menikmati suasana sore di atas laju tossa, angin, perjalanan, sibuk orang-orang, langit, semuanya menyenangkan: menenangkan. Hingga antarnya, hingga teparnya.

Terakhir mungkin, sejatinya, haul merupakan momen tumpah kasih sayang. Selain tentunya perihal status murid pada guru, sesama teman adalah arti kekeluargaan yang sesungguhnya. Reuni-reuni tahunan tercatat dan terjadwal dalam reuni. Jauh dekat jarak dan panjang pendek waktu seketika terhapus dalam status sesama keluarga pondok pesantren.

Dampaknya, kamar ini menjadi lebih ramai dan hangat oleh kedatangan para hokage: sesepuh dan elite global itu, para jurnalis panutan!

Tanya kabar, berbagi kabar.

Tawa-tawa lepas dan getir, hingga pengetahuan-pengetahuan luas dan menekan pikir.

Ada benarnya juga dalam sebuah keterangan yang pernah gua baca, bahwa kapasitas orang-orang dalam suatu perkumpulan itu ditentukan oleh topik yang mereka bicarakan. Semakin tinggi dan berat topik itu, terlihatlah kualitas individunya. Dengan itu, agak cukup terlihat jarak renggang intelektual dan spiritual jurnalis itu: jam terbang pengalaman kinerja hingga baca tulis itu begitu terlihat di antara status senior-junior!

Lantas bukan berarti semangat harus menyurut!

Dengan mayoritas para hokage adalah mereka yang jebolan anak hukum, pembahasan yang sedang ramai hingga berujung demo itu nggak bisa terlepaskan. Berbagai macam teori dan data dijelaskan menurut kepercayaan opini masing-masing.

Begitu juga, nggak menutup kemungkinan perihal sub pembahasan lain yang merambah keislaman, fan pesantren, hingga pendidikan secara menyeluruh. Dengan itu, gua menegang dalam antusias. Suatu hal yang mengalasi, bisa dengan tiba-tibanya kuis dadakan itu dilempar. Para cendekiawan sedang membahas argumen-argumen fakta yang diliputi opini pribadi, secara spontan, mudahnya melempar pembahasan itu pada objek-objek yang sedang menyimak, sekehendak hati mereka, orang yang terkena target sasaran seketika melongo.

“Gimana, Bat, selaku jebolan PGMI?!” Ya, tiba-tiba aja gitu. Bukan lebih ke anak pendidikan tarbiyah keguruan, hingga PGMI secara kejurusan: malahan pada status diri yang menjadi generasi penerus mereka, seberapa meyakinkannya? Seketika matkul Supervisi Pendidikan, Ilmu Pendidikan Islam, Media Pembelajaran, hingga materi-materi silabus dan per-RPS-an terasa penting saat itu.

Saat itu, pembahasan sedang berpendar pada minim atau bahkan bobroknya ketidakjelasan dan carut marut arah pendidikan, hingga perihal fakta rendahnya SDM negeri ini. Menyorot tentang bahan ajar sekolah pada hal sesederhana buku LKS yang sama sekali nggak kompeten.

“Masa buku pembelajaran di LKS, referensinya dari wikipedia?! Bahkan yang parah, sampai dari kompasiana dan blogspot?! Harusnya kan, dari sumber website resmi, atau buku-buku, meski e-book, hingga jurnal. Kalau gitu, mending bikin materi sendiri!”

Fiuh!

Spontan merasa ada yang salah dari duduknya berjam-jam, berlama-lama kuliah.

Sebagaimana hal yang berlaku, sebuah peraturan tersirat dan ketetapan yang nggak resmi, semakin lama, pembahasan semakin mengarah pada hal apapun. Sampai di waktu malam, pembahasan semakin kelam: nostalgia, hingga mendadak bucin dan puitis!

Kajian filsafat cinta telah dibuka oleh para pujangga.

Selamat berdiskusi dan menikmati malam!

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kepompong

Klausa

Mekar