Rabu
Di “pertama” ini, sebagai jawaban atas trobosan pertama: alhamdulillah, juga kesan pertama.
Tapi
sebenarnya, jika diruntut ke belakang, gua bisa dibilang cukup kenal dekat
dengan beliau. Siapa yang nggak kenal, secara beliau adalah salah satu dosen
yang gua hormati, beliau, bapak Moh. Fikri Zulfikar S.Pd., M.Pd.
Dengan 2
semester diajar, di awal tahun pembelajaran kampus, di semester 1 dan 2, matkul
studi Bahasa Indonesia itu memberi warna baru, sebagai obat atas dahaga nasib
literasi yang sedang tidak baik-baik saja. Asupan yang bergizi, amat amat
bergizi dan mengenyangkan.
Juga perihal
kebebasan berpendapat dan berekspresi, pada suatu kesempatan diskusi kelas,
perihal membaca kritis: selalu teringat dan menggelitik.
“Pak, izin
bertanya!” Ucap salah satu mahasiswa ingusan, di antara segelintir mahasiswa
linglung, sepenuhnya mahasiswi pemegang kuasa.
“Iya,
silahkan.”
“Dengan
mempertimbangkan penjelasan materi tadi, apakah semua bacaan bisa kita kritisi
untuk menangkap poin-poin pembelajaran yang terkesan konotasi dan intuitif?”
Wajah bersahaja
itu tetap menampilkan senyumnya. Lalu, mulai menjelaskan perihal pentingnya
membaca kritis, untuk sebuah pemahaman yang utuh dan berarti. Menangkap dan
mengkaji dengan penuh bijak seksama, bahwa sebuah tulisan itu perlu dibaca
dengan sungguh-sungguh dan penuh kepekaan. Agar hal yang ingin tersampaikan
seorang penulis itu tersampaikan. Termasuk nilai-nilai pembelajaran itu: ya,
semua bacaan itu bisa dikritisi.
Mahasiswa
ingusan itu menerka. Sepenuhnya paham, meski ada gelagat ketidakpuasan.
“Tapi, pak, hal
yang saya pahami, ada beberapa bacaan yang tidak boleh kita kritisi. Sebut
saja, kita tidak boleh untuk mengkritisi hal-hal yang bernada agama, hal-hal
teologi pada khususnya. Pembahasan tauhid itu mutlak dan absolut. Secara memang
karena akan terasa sia-sia, bahwa otak dan pola pikir kita itu tidak akan mampu
untuk mencapai paham dari hal-hal ilahiyah, ketuhanan. Karena jika berkaca pada
substantif fundamentalnya, kita itu diperintah beriman. Dan kata iman atau
percaya, tak memerlukan pengetahuan empirism untuk membuktikan dan memegang
teguh. Tentu Islam tidak melarang untuk menggunakan akal pikiran secara
efektif, tapi tentu ada batas-batas yang perlu kita tau. Sebut saja lafadz alif
lam mim atau yasin dalam ayat mutasyabihat yang tidak ada tafsirnya,
tidak boleh ditafsiri, dan tidak mampunya kita untuk mentafsiri. Itu mengapa,
di setiap kitab tafsir, ayat-ayat mutasyabihat selalu dimaknai dengan kalimat wallahu
a’lam bimurodihi, hanya Allah yang tau maksudnya.”
Salah maksud
jika menerka dialog tersebut dengan menarik pembahasan retorika dan dialektika
sub-sub ruwet filsafat yang baru masuk matkul kelas diskriminatif itu pada
semester 3: salah besar. Emang aja dia terlanjur keren, haha. Atau mungkin
menyesuaikan dan disiplin dengan makna status mahasiswa.
Beliau tetap
tersenyum, meski kali ini dengan getir, lalu menjawab dengan penuh kerendahan
dan pengakuan bahwa sebenarnya beliau tidak tau, kalah. Beralasan belum
pernah tau menau dunia pondok pesantren yang padahal meskipun bukan termasuk
kaum santri bukan berarti tanpa perlu tau menanu akan seputar cakrawala
keilmuannya, seenggaknya dengan membaca, seenggaknya dengan skeptis khazanah
islamiyah. Beliau tetap menjawab serpihan pembahasan yang tersisa, yang
sekiranya terikat dan terkait, tetap dengan senyum getirnya: gua jadi nggak
enak sendiri, sampai sekarang.
Tapi, di lain
itu, cukup mengena dan gua tanam dengan penuh, sebuah konsep mengenai unsur
pembelajaran mulai dari membaca, menulis, mendengar, dan berbicara: penjelasan
itu, pemahaman ini, gua pegang kuat-kuat.
Lalu, pada
kesempatan kali itu, kala pencetusan program baru berupa pendalaman materi,
untuk internal dan seputar jurnalistik, mendapat persetujuan dan dukungan penuh
oleh khalayak. Hanya yang menjadi persoalan, adalah perihal koordinasi
realisasinya: akumulatif kalender kerja, intensif materi pokok, dan tentunya
pemateri.
Hingga, dengan
melalui pertimbangan panjang dan ruwet yang malas untuk gua ceritakan,
disepakatilah nama beliau, bapak Moh. Fikri Zulfikar S.Pd., M.Pd.
Kenapa beliau?
Yeh, kan udah
dibilang itu ruwet. Tapi, dengan tanpa sekalipun penyandangan status panitia,
hanya sebagai seorang murid yang penuh ta’zhim dan kagum dengan gurunya, hal
ini menunjukkan betapa hebatnya beliau.
Dalam salah
satu buku beliau yang terbaru, Kisah Sawo Kecik, sebuah buku kajian
investigasi mengenai penjelajahan prajurit Diponegoro di Kediri, data diri itu
tertera di kolom biodata penulis.
Moh. Fikri
Zulfikar, lahir di Kediri 19 November 1992, hidup di dusun kecil di Kabupaten
Kediri, Dusun Sumberagung, Desa Krecek, Kecamatan Badas. Pria yang telah
menyelesaikan pendidikan Pascasarjana Universitas Negeri Malang Jurusan
Pendidikan Bahasa Indonesia ini gemar menulis sejak kuliah S1 di kampus yang
sama. Meskipun lulusan Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia, dan Daerah, sejak
2014 dia berprofesi sebagai wartawan dan pernah bekerja di beberapa media massa
di Jawa Timur, di antaranya di Jawa Pos Radar Kediri (2014-2018), Jatimplus.id
(2019-2020), dan sekarang berprofesi sebagai pengajar di Universitas Islam
Tribakti Lirboyo Kediri.
Adapun karya
yang telah dia tulis dalam bentuk buku di antaranya kumpulan cerpen berjudul
Fantasi (2017), kumpulan puisi Melankolism (2020), kumpulan laporan jurnalistik
Di Bawah Langit Kota Api: Jejak Literasi, Pecinan, dan Masa Perjuangan Kediri
(2021), buku hasil penelitian Formasi Sastrawi Covid-19: Konstruksi Pengetahuan
Epidemiologis Kelas Pekerja (2022), dan Pragmatik Sastra Lekra: Resistansi
Kelas Pekerja dalam Cerpen Lekra. Berbagai organisasi kini diikutinya, di
antaranya Komunitas Lapak Diskusi dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kediri.
Penulis bisa
dikontak melalui akun instagram @mohfikrizulfikar atau melalui surel fikrizulfikar982@gmail.com.
Artikel-artikelnya juga bisa ditemui di website muarabooks.com.
Hingga, hari
itu, kebuntuan itu, masih melekat dengan kenyataan bahwa beliau begitu sibuk,
jadwal agendanya begitu padat. Dengan usaha susah payah, akhirnya, gua dan Maul
bisa ketemu beliau.
2 kali.
Pertama,
mengantar surat permohonan pemateri.
Kedua, perihal
pembahasan materi dan pelaksanaan.
Terakhir
kalinya di kampus, saat libur, dengan Maul selaku mahasiswa teladannya: mungkin
bisa menjadi solusi.
Ngobrol ngalor
ngidul, Si Maul malah mengeluarkan buku Kisah Sawo Kecik-nya di akhir
pembicaraan.
“Minta tanda
tangan, Pak.” Ucapnya dengan nada malu-malu. “Sekalian qoutesnya.”
Di situ, gua
kesannya jadi malu dan iri.
Malu, karena
gua belum punya bukunya, meskipun toh untuk sekedar penasaran akan baca, gua
kerap kali curi-curi pinjam buku itu dari Maul.
Iri, karena
selain tanda tangan itu, sebuah kalimat yang ditulis oleh seorang penulis yang
ditujukan kepada pembacanya adalah sebuah kebahagiaan yang penuh dan salting
yang harus. Di selesainya berbincang, kalimat itu gua lihat, gua baca: rahasia.
Was wes was wes, akhirnya hari itu tiba.
Kedatangan beliau disambut senyum
lega oleh para redaktur putra dan putri. Bersalaman bagi kami yang putra, dan penyambutan hangat
oleh mereka yang putri.
Terhitung cukup
ramai meski dengan kenyataan terhalang hadir kakak-kakak KKN dan redaktur
pondok Muning. Sesekali diganggu padam listrik, sinar proyektor itu akhirnya
tetap bercahaya pada layar yang dihujani tatapan-tatapan haus ilmu, tentu
dengan telinga dan pemikirannya.
“Sebenarnya
saya kira, untuk pembahasan Jurnalistik Multi Platform yang telah kita sepakati
di awal, sudah ada pada kalian. Dengan memandang kiprah dan alur kerja, saya
rasa itu sudah cukup. Dengan itu saya berniat untuk
membahas materi dasar bagi seorang penulis, terkait berita.” Ucap beliau
mengawali pembahasan, setalah bercakap ringan.
Tanpa banyak cincong, gua akan tulis semuanya
di sini. Atau mungkin,
menyalin dari apa yang gua tangkap. Meskipun tentu, ada beberapa pembahasan
yang luput dari lengkap. Tapi, secara garis besar, meski dalam bentuk orat-oret
catatan, gua berani percaya.
News Value (Berita Bernilai)
Berita harus:
1.
Faktual.
2.
Sesuai
kode etik jurnalistik.
3.
Bernilai.
News value menurut Tempo Institut:
1.
Penting,
-pengaruh (Significant).
2.
Besarnya
kejadian (Magnitude).
3.
Kedekatan
(Proximity): “Orang kediri lebih tertarik berita kopi kandangan dibanding kopi
gayo.”
4.
Aktualitas
(Timeliness), -hangat, baru terjadi.
5.
Tenar
(Prominence): ketokohan/terkenal dan dekat, -bisa baik atau buruk.
6.
Informatif:
-mengandung hal baru, semua itu sumber informasi, tapi setiap sumber punya
kredibilitas.
7.
Konflik.
8.
Ketertarikan
Manusiawi (Human Interest), -inspirasi.
Hal yang terpenting:
1.
Semakin
banyak nilai masuk, semakin bernilai berita.
2.
Pasar
(pembaca).
3.
Tujuan
Media (indenpendensi).
4.
Hal
menarik, penting, dan dibutuhkan pembaca (kebutuhan pembaca).
5.
Cara
keerja jurnalistik.
“Jurnalis harus Merdeka dan bebas!”
“Menjadi jurnalis, harus siap
menjadi orang yang nggak umum!”
“Berita harus berimbang.”
“Sebuah berita
nggak harus memenuhi semua nilai. Semakin banyak nilai semakin bernilai.”
“Tugas jurnalis
itu menjernihkan, memperjelas isu berita.”
*
Dan hal-hal
yang harus digarisbawahi dan tanamkan bahwa, menariknya berita itu dilihat dari
sudut pandang. Dan bagi gua, sebenarnya, termasuk segala jenis tulisan apapun,
bijak mengambil sudut pandang itu penting.
Tepat saja,
selesainya pendalaman materi, beliau langsung izin pamit ke kampus, beralasan
masih ada hal yang harus dikerjakan.
Kami
mengucapkan maaf dan terima kasih banyak-banyak.
Juga ‘hal-hal yang sepantasnya’.
Semoga bermanfaat.
Sangat berkesan.
Komentar
Posting Komentar