Monster

Satu hal yang harus kita tau, segala sesuatu yang kita dapatkan, sejatinya bukan serta merta sebab kita. Apapun itu, semua hanya titipan. Kita hanya disuruh menjaganya amanah dengan menggunakan sebaik-sebaiknya.

Dengan begitu, lantas apa yang bisa kita sombongkan?

Hari-hari ini, dengan mengingat masa-masa ke belakang, cukup menarik senyum seorang lelaki bangku belakang yang duduk nyaman seorang diri.

Sebuah masa di mana ia yang masih lurus mulus terhalang bias-bias nurut patuh sebagai santri di ruang lingkup sempit. Sama sekali belum mengenal apa itu hipokrit. Disuruh A, melakukan A. Disuruh B, melakukan B. Semua berjalan sesuai alur yang telah ditentukan. Bagai unggas-unggas yang digiring kepada arah yang dikehendaki sang juru angon. Unggas-unggas tak pernah tau, ke mana akhir tujuan mereka: mungkin sawah, mungkin kandang, meskipun sebuah keniscayaan akan berakhir di penjagal untuk diperjualbelikan.

Tapi, bagaimanapun, makhluk ya tetap makhluk. Manusia ya tetap manusia. Al insanu fi tafkiri, wallahu fi taqdiri. Manusia hanya bisa berencana, tapi Allah lah yang menentukan.

Sebuah kejadian tengah sore yang cukup redup, hanya sebatas membeli keperluan, mereka dijegat di pos gerbang pondok. Ya, setiap santri harus izin jika ingin keluar pondok. Meskipun makna keluar ini hanya masih sebatas lingkup pondok besar. Pondok-pondok unit di dalam pondok besar induk. Sebuah angan-angan yang berlebihan untuk sampai bisa melihat dan menikmati bayang suasana kota, meski hanya pada perempatan lampu merah yang ‘katanya’ ada sebuah tempat yang menjual minuman enak dan ikonik yang bernama “Mak Tam”. Entahlah.

“Seko endi we?!” Ucap seorang monster gempal yang mukanya tetap kucel meski harus mandi berulang kali, meski menghabiskan facial wash setoko, merek apapun.

Seorang santri lugu tergugu berjongkok, menahan getar getir, di sepengambil kartu identitas, kartu jaminan izin.

“Dari toko, Pak. Beli ini, beli itu.”

Jujur, nggak ada yang dikurang-kurangi. Setenteng kantong plastik itu membuktikan, menjawab.

Ia nggak percaya, ia tetap menggledah: nggak ditemukan bahan untuk amarah menunjukkan kuasanya.

Untuk jam perizinan, santri itu sepertinya menggunakan jam. Ia tau batas, ia sepenuhnya taat dengan durasi yang diberikan. Meskipun konsekuensi apa yang harus diberatkan dari jam sore yang memang luang sampai maghrib: ini perintah! Baiklah.

Oh tidak!

Santri itu salah, Si Monster bodoh itu tetap memilih sub waktu untuk topik bahan amarahnya, untuk menunjukkan kuasanya. Dari sini bisa kita pahami bersama, bahwa yang benar nggak selalu menang dan yang salah nggak selalu kalah. Tapi, bodoh itu, bisa kita menilai bersama.

Dan, “dhgfxgbfjgsnzsgcdxbvudugdnxdjdfgjrrgdbjjsjhcnxygbftcexmcixmeu!” Si Monster menunjukkan kuasanya dengan intonasi dan eskpresi. Tanpa perlu menggertak berlebih, parasit satu ini udah sepenuhnya menciut: mungkin terkanya.

Siapa sangka, pikiran satu dengan pikiran lainnya, -bukan pikiran, tapi mungkin otak: karena nggak setiap otak itu punya pikiran-, otak satu dengan otak lainnya itu berbeda. Bisa kita husnuzhoni untuk isi otak santri itu, bahwa, “Lah, kok malah kumur-kumur?! Atau mungkin bahasa monster memang seperti ini?!”

Dengan argumen ‘mantap’ itu, sepertinya ia mulai menyadari atas kebodohan itu karena tatapan ‘parasit’ lain yang mengantri panjang, berjongkok, lugu tergugu, menunggu antrian penghakiman.

Atau bagaimana? Si Monster malah mengoptimalkan anggota badannya dalam penghakiman: diskriminatif itu nggak bisa dijelaskan.

Nggak ada yang bisa diterka dan ditebak untuk sebuah makhluk yang terkungkung dalam sebuah telur. Sampai menunggu waktu yang tepat untuk menetas, sepenuhnya nggak bisa disalahkan untuk makhluk apa yang menetas dari cangkang itu: apakah insektivora, seperti nyamuk dan belalang; omnivora, seperti ayam dan bebek;  atau malah karnivora, seperti ular dan buaya.

Waktu menjawab, cangkang telur itu menetas, sebuah makhluk: dinosaurus!

Sampai akhirnya, Tuhan begitu adil. Membalas besar pada hal besar, membalas kecil pada hal kecil. Menganggap baik hal baik, menganggap buruk hal buruk. Fa may ya‘mal mitsqâla dzarratin khairay yarah-wa may ya‘mal mitsqâla dzarratin syarray yarah: semua tak luput dalam pengawasan-Nya.

“Siapa yang di sini bidang muhafadzhoh?” Tanya beliau pada khalayak kelas.

Setelah sidang pleno pusat, kepekaan beliau itu tumbuh berkali lipat. Masing-masing individu memeluk status backgroundnya dalam celangak-celinguk pada sesama, berusaha mencari jawaban atas pertanyaan yang telah dilontarkan 3 kali berturut-turut. Namun sayangnya, tetap aja, pertanyaan itu nggak berbalas jawaban.

Buku pleno itu, akhirnya, terpaksa dibuka.

“Ahbat! Galih! Yeeeh, ditanyain kok malah diam aja!” Ucap beliau puas, menekan. Seperti seorang paleontologi yang akhirnya menemukan konsep filogenetik, rumus taksonomi, atau sepasang fosil eukariota multiseluler.

Sontak, khalayak itu semarak!

Sialnya, Galih sedang berhalangan hadir. Penghakiman itu sepenuhnya tertuju pada satu nama yang tersisa.

Lah?

“Maaf, Pak. Saya dan Galih itu bidang ubudiyah, bukan muhafadzhoh.” Jawaban gua begitu yakin, karena memang kenyataannya seperti itu. Meskipun perihal bidang muhafadzoh yang masih satu poin kolom yang sama dengan bidang ubudiyah, pikir baik gua, mungkin penyusun buku pleno itu mengefesiensikan lembar buku pleno untuk poin-poin tugas dan pelaksanaan yang tentu berbeda. Dari tahun yang udah-udah pun memang seperti itu, bidang ubudiyah dan bidang muhafadzhoh itu selalu dipisah, 2 bidang yang berbeda dengan struktural yang berbeda. Dan seingat gua, pada saat sidang pleno, nggak ada satu pun nama anak kelas yang tercantum di bidang muhafadzoh, hanya diisi oleh para adicks-adicks kelas.

“Iya, saya paham. Tapi ini loh ubudiyah dan muhafadzoh masih satu poin.” Udah bisa gua tebak, pasti beliau mengungkit poin itu. Gua husnudzon, mungkin memang gua yang salah paham terkait maksud poin itu yang padahal nggak ada pembahasan perubahan mengenai 2 bidang tersebut pada sidang pleno pusat.

“Yaudah, nanti kamu koordinir terkait hafalan teman-teman!”

Dan, fakta dadakan itu sekarang menjadi tugas baru gua!

Huhu!

Huuh!

Tanpa menimbang ruwet dan ribet untuk hanya sekedar berdiskusi mengobrolkan ini dengan Si Galih, gua gercep mikir konsep, lalu buku setoran. Palingan Si Galih hanya beroke-oke ria.

Mendata anak.

Mempelajari konsep hafalan tahun-tahun sebelumnya.

Menyusun konsep baru.

Setoran harian dan mingguan, individual dan berkelompok, terjawab jelas dalam satu buku setoran besar gaya baru: bismillah!

Konsep itu berjalan cukup baik, progressnya selalu naik: teman-teman antusias berlomba, beliau respect tiba-tiba.

Lalu, apa hubungannya dengan cerita Si Monster di awal?

Btw, Si Monster itu mustbat atau nggak naik kelas. Karena angkatannya tepat di atas angkatan gua, mau nggak mau ia harus menjadi bagian. Entah harus senang karena ketambahan personil atau malah sedih dengan menerima beban aib itu, sejatinya ialah yang tersiksa untuk sekedar bisa duduk tenang di kelas, dari setiap tatapan asing yang mendiskriminatif. Mungkin ini balasannya, masih salah satu balasan kecil.

Dan untuk balasan besarnya, bisa dibayangkan, ia yang harus ikut aturan main angkatan ini. Terutama dalam hal hafalan: emang ia nggak tau siapa pangliman tertingginya? Apa ia melupakan kejadian penghakiman? Haha!

Untuk panglima yang dijadikan percontohan, nggak perlu diterka perihal tekad dan usaha hafalannya yang tentu sangat berpengaruh pada sistem yang sedang dirintis dan berusaha kokoh.

Kebayang nggak sih, gimana ekspresi menunduknya seekor monster linglung yang sedang mengemis mengais cecer potongan hafalan dari otak yang udah kita ketahui bersama dari cerita di awal, hingga perlu dituntun dipapah untuk mengeja potongan lafaz bait nazhom itu?!

Apalagi harus setoran dari koordinator kelompok yang kebetulan berhalangan hadir pada suatu waktu dan spontan diambil alih panglimanya?

Hei, sehari minimal 5 bait!

Untung baru setoran harian perkelompok, belum nanti pas setoran mingguan yang disimak langsung oleh beliau: yakin masih berharap tuntunan papahan beliau? Punya solusi pendingin apa untuk telinga dan hati yang akan terbakar berkobar?

Menyala abangkuuuh!

Oon.

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Baik

Dompet

Dosa