Lensa
Kiai, adalah sosok yang nggak terbuat dari kata-kata. Ilmu, akhlak, dan perannya: bukan hanya sekedar kata-kata.
Untuk menyongsong dan menyemarakan Haul KH. Imam Yahya Mahrus yang ke-13,
setiap santri bebas mengutarakan bentuk cinta pada sosok gurunya itu.
Untuk edisi kali ini, dari sekian banyaknya, ada salah satu project cinta:
pengungkapan cinta dalam lensa frame short movie.
Dengan segala hal-hal yang terancang dan dipikir matang-matang, terka gua
akan khawatir ide yang terlalu matang sampai gosongnya.
“Bat, melu aku!” Ajak Kepala Suku.
Gua yang cukup paham, mengiyakan dengan berbagai pertanyaan. Secara sadar
dan jujur, ini sebuah gebrakan ideologis idealis: sebuah short movie yang
benar-benar menggebrak!
Sebuah short movie yang bertujuan menginformasikan dan mengajak untuk hadir
dalam semarak haul yai, tanpa adanya skrip alur cerita!
Wah, Christopher Nolan geleng-geleng kepala akan hal ini!
Dengan spirit “the power of kepepet”, gua diajak Kepala Suku ke sarang
macan. Sebuah sarang yang diisi oleh orang-orang berwajah keras, sekeras mental
dan otot-otot ngotot itu: kamar santri ndalem.
Kira gua untuk ia yang Kepala Suku, nyatanya, ia seorang konsolidator. Seorang
inisiator dan negosiator yang handal. ‘Macan-Macan’ dari blok dapur dan
kandang, teman-teman santri ndalem yang mengurusi dapur dan kandang itu bisa
begitu akrab dan hormat padanya. Networking terjalin rapih dalam jiwa
sosialisnya.
Otot bukan jaminan, budi luhur jadi pegangan: ciah!
Maksud itu diutarakan, maksud itu disetujui. Sebegitu mudah dan cepatnya.
Sebagaimana lazimnya sebuah proyek ide yang melibatkan banyak pihak dan
unsur, hal yang benar-benar sulit gua pahami adalah perihal kepercayaan diri
atas usul liar yang bisa dengan mudah disetujui penuh antusias!
Hey, para macan!
Usul ide ini mendadak!
Kalian itu sibuk!
Kalian akan dikejar deadline tayang dengan tugas peran dan dialog yang entah
apa dari skrip short movie yang nggak ada, nggak disediakan!
Improve? Tentu!
Tapi hal ini bukan berarti tanda kehancuran. Bagaimana kalau jalan pikir
alasannya, bahwa hal ini tanda ke-pro player-an seorang sutradara dan agensi? Lihat
aja!
Namanya Kang Fa’i, seorang tokoh utama di dalam dan di luar film. Seorang yang
berperan penting atas koneksi dan kepercayadirian ini. Dengan kenyataannya ia
yang mengkomandani dapur, para pasukannya bisa dengan mudah direkrut untuk
menjadi aktor-aktor yang diharapkan sang sutradara. Begitu juga perihal elektabilitas dan kompatibelnya yang mendapat respect khalayak, rekrut pasukan
kandang pun bisa berjalan mulus untuk urusan kebutuhan film.
Beberapa orang ditunjuk, jalan cerita sepenuhnya dipahami. Pembagian peran
berhasil sesuai dengan alur. Sambil menunggu giliran berperan, para aktor yang
menanggapi ketidakjelasn kebingungan dengan qona’ah itu, tetap menjadi macan
dengan lanjut tugasnya masing-masing: yang bagian masak, ya masak. Yang bagian
kandang, ya kandang.
Take short movie udah dimulai sedari pagi. Salah dan ketidakserasian,
hingga harus mengulang berulang take, nggak begitu pengaruh. Sampai di siang
harinya, potongan adegan itu berhasil didapat untuk frame-frame yang utuh.
Sutradara mengintruksikan break.
Siapa sangka, waktu istirahat itu membawa gua pada suasana yang
mengesankan, sedikit mendebarkan. Sambutan hangat terbuka tangan, gua dan
kepala suku disambut nasi dan lauknya yang nggak kalah hangat: kepul asap tipis
beraroma itu masih fresh, kami makan bersama di dapur.
“Makan dulu, Kang!”
“Iya, Kang.”
Tim itu terbelah menjadi 2 regu: tim putih dan tim kuning, nasi padi dan
nasi jagung. Mereka yang bernasi jagung ria mulai mengitari nampan yang lebih
kecil dibanding tetangganya, karena menyesuaikan jumlah peserta, tetap terselip keheranan abang-abang yang nggak perlu
marah karena dipanggil kang, akan pemandangan kultur hidup koloni yang terasa begitu
luar biasa: jebolan madin pondok induk, tugas ndalem, qona’ah film, dan masih
sempat-sempatnya tirakat.
Meskipun tirakat nggak hanya dan harus ngerowot jagung, juga tentang
kandungan jagung yang belum terpelajari yang apa jadinya jika harus dikaitkan dengan
kebutuhan rutinitas para macan itu, niat baik ini berusaha gua taburkan di atas
nasi putih yang masih mengepul.
Semoga seputih nasi ini!
Semoga selembut nasi ini!
Semoga seberselera nasi ini!
Emang salah?
Sambil menunggu turunnya nasi dalam berbaur dengan perkruwekan organ
pencernaan, bincang-bincang nggak kalah hangat. Ternyata benar juga, segala
sesuatu itu nggak bisa dinilai dari hanya pandangan mata aja. Cobalah duduk dan
berbincang, maka seenggaknya kita akan mendapat gambaran objek itu dalam akrab.
Pemikiran dan sisi diri, bisa terlihat dari cara berkomunikasi dan bergelagat. Para
macan itu cukup menyenangkan!
“Bisa kekar gini caranya gimana, Kang?” Tanya gua pada salah satu macan berotot tanpa kaos, menghadap pertungkuan itu.
“Ah, nggak. Sini ikut masak, pindah ke ndalem dapur!”
Gua tertawa spontan. Tertawa karena pertanyaan bodoh itu, atau mungkin karena ajakan yang nggak kebayang akan konsekuensi apa bagi orang ceking yang harus
mengaduk-aduk dandang nasi raksasa untuk makan ribuan santri itu. Sehari 2 kali
masak, itu baru nasi, belum lauk, juga belum hal-hal penuh sambat lainnya.
“Terima kasih, kayaknya saya mendingan cari cara kekar yang lain aja, deh!”
Ucap gua ke gua, macan kekar itu nggak dengar.
Masih banyak obrolan yang nggak bisa dijelaskan, juga tingkah-tingkah
manusiawi sisi lembut pekerja kasar.
Sekembalinya tenaga dari rehat, take short movie dilanjut. Dialog-dialog
menggelitik bertebar di alur komedi. Ada yang lancar, ada yang memaksa lancar,
ada yang mengharap lancar. Semua punya serunya masing-masing
“Tiba’e dadi aktor ki angel, yo?!” Ucap pengharap, dalam bahasa Jawa yang benar atau nggak tulisannya. Intinya ia merasa kesulitan dari suatu hal yang ia yakini mudah sebelumnya. Padahal cuma ngomong sebaris kalimat panjang, tapi ngulangnya sampai 7 kali!
Dari sekian hal menarik dalam short movie kali ini, sampai tembus sore dan selesainya dalam sehari, adalah perihal
keikutsertaan santri ndalem kandang yang sepaket dengan anak kambing dan monyet
sebagai aktor, meski figuran. Kebayang? Silahkan ditonton hasilnya!
Sampai akhirnya, dari hal-hal perfilman hingga pembawaan diri dalam
bersikap, setiap hal yang bisa diambil pelajaran sebisa mungkin gua serap
dengan baik. Sangat banyak, sangat amat berkesan.
Semoga dengan lantaran ini, menjadi titik peningkatan skill dan pengalaman,
menambah relasi dan kekeluargaan, hingga harap barokah atas persembahan semarak
haul yai.
Semoga cinta ala kadar kami ini, meski sedikit, tetap bisa terasa manis.
من أراد الفلاح
فليصر ترابا تحت أقدام الشيوخ
“Barangsiapa yang menginginkan kebahagiaan (dunia-akhirat), maka
jadilah ia debu di bawah telapak kaki para guru.”
Komentar
Posting Komentar