Kimchi
Akhir-akhir ini, ada sebuah hal ramai-ramai yang nggak sengaja penasaran, gua cari tau, dan ikut beramai: meski hanya dalam tulisan.
Dari sebuah
usaha memberi apresiasi diri atas pencapaian, untuk berleha-leha berselancar di
konten-konten edukatif dan informatif youtube, dari hanya berkisar mendengar
lagu, menonton highlight sepak bola, juga stand up comedy, dokumenter sejarah, atau
berlarut menyimak orang ngomong dalam podcast. Tapi, tiba-tiba aja beranda
penuh dengan suatu topik, dari sebuah nama Xaviera.
Entah hal apa
yang mendorong, mungkin juga karena channel youtubenya Bang Raditya Dika, waktu
dan suasana mendukung tiada keberatan dari thumbnail dan judul, “Cantik +
Pintar + Prestasi = Xaviera”. Lu boleh nonton.
Dan ini
sebuah pencapaian baru selanjutnya bagi gua yang bisa nonton podcast sampai selesai
tanpa skip dan jeda, cukup aneh dan jarang.
Ternyata perempuan
kelahiran Jakarta yang bernama lengkap Xaviera Putri Ardianingsih Listyo ini
cukup mengetuk kesadaran jiwa gua, terutama akan hal belajar. Nggak mungkin gua
ceritan semua. Tapi memang ada beberapa hal yang begitu menyinggung jiwa-jiwa
kaum rebahan kita terhadap self worth Xaviera di masa muda.
Bagaimana ia
yang ketika umur jenjang SMP malah udah kepikiran untuk value nasibnya di
jenjang kuliah, hingga berhasil mendapatkan beasiswa penuh di salah satu SMA
ternama di Korea Selatan, jurusan sains dan matematika. Hingga benar-benar bisa
melanjut jenjang kuliah, lagi-lagi, dengan beasiswa penuh sebagai pelajar
internasional di Korea Advanced Institute of Science
& Technology (KAIST), Daejeon.
Hal-hal garis besar yang perlu
ditanamkan dan diresapi, selain tentu dengan kecerdasannya di bidang sains dan
matematika yang udah mendapatkan banyak prestasi, juga perihal ia yang tetap
teguh mempertahankan fate of muslim dengan menjernihkan hijab dari
stereotip-stereotip yang menjurus.
Selain itu, cukup kehabisan kata-kata
akan multitasking dan multitalent, di luar sains dan mamtematika dengan skillsnya
di bidang musik dari hanya sekedar alasan ingin tau dan ingin coba.
“Aku kerap kali gagal, bahkan aku sering
gagal. Tapi, kak, saat
mengalami kegagalan, aku tidak merasa menyerah dan menyesal. Yaudah, setidaknya
aku udah mencoba. Itu tetap bagus untuk asupan pengalaman.” Seperti itu
kira-kira ucap Xaviera yang sangat pantas untuk di panggil kak, pada Bang Radit.
Hingga,
kesungguh-sungguhan usaha dan ketekunan itu mengalahkan bayang-bayang ruwet dan
jlimetnya belajar bahasa Korea sampai di 3 tahun akhir masa belajarnya.
Kunci rahasia
yang berdampak besar dan tertanam kuat sebagai pondasi awal ternyata adalah
pendidikan dan perhatian orang tua. Dan ingat, pendidikan dan perhatian orang
tua itu nggak harus berupa tuntutan dan paksaan. Dengan sistem pendidikan dan
perhatian orang tua Kak Xaviera yang berupa tindakan nggak hanya omongan, gua
suka.
Dan terkahir
kali, mungkin sebuah ketersinggungan yang bermakna keterbingungan dan iri: Kak
Xaviera launching buku!
Kimchi Confessions, judulnya.
Sebuah buku yang terinspirasi dari makanan
sayur hasil fermentasi yang pedas khas Korea, berisikan tentang perjalanan dan
pengalaman hidupnya di Korea yang dianalogikan dengan kimchi yang asing dan
nggak suka di awal, hingga akhirnya akrab dan candu di kemudian.
Nggak ayal ia tetap bisa summer camp
semakna pertukaran pelajar ke Amerika dan Jerman, di saat yang sama ia sedang
dalam tahap beasiswa penuh di Korea.
Ia bercerita, dari salah satu
potongan isi bukunya, mengenai pelajar Korea yang ambisius dan gila-gilaan
dalam belajar.
“Pelajar Korea
tuh ambisius banget kak. Bahkan mereka untuk bisa berada di titik ini (sekolah),
udah persiapan dari jauh-jauh hari. Entah kenapa, perihal bisa sampai masuk agensi
samsung, menjadi titik pencapaian bagi mereka. Dan gilanya lagi, orang tua
mereka, untuk bisa masuk samsung, itu udah mempersiapkannya sejak dari TK!” Aku
Kak Xaviera.
“Belajar mereka pun gila-gilaan. Dengan menimbang
waktu belajar di sekolah sedari pagi sampai sore, dan ditambah jadwal jam
belajar wajib tambahan sampai jam 10 malam, mereka masih bisa terus belajar
sampai di jam tidur. Karena kalau jam jam tidur lampu pasti matiin oleh asrama,
mereka bisa pindah belajar sampai di WC. Karena lampu WC nggak dimatiin kalau
jam tidur” Nggak kalah mencengangkannya.
Hingga, Kak
Xaviera bercerita pengalamannya yang pernah, suatu malam kebangun untuk pergi
ke WC, betapa kagetnya ia sampai berteriak setelah menemukan sosok perempuan
berambut panjang yang sedang terduduk di bawah shower, sambil membuka buku. Segitunya.
Padahal kalau
mau tau, perihal kurikulum SMAnya yang nggak kalah gila dengan tahun pertamanya
yang merangkap mengejar 3 tahun pembelajaran SMA, lalu tahun kedua dan
ketiganya diisi dengan pembelajaran mata kuliah sebagai persiapan masuk
universitas. Bisa dibayangkan!
Dan perihal
keterbingungan dan iri, kenapa ia bisa dengan mudah bisa sampai membuat buku? Atau
seenggaknya kenapa ia bisa begitu mudah menciptakan suatu hal sebagai suatu
sampingan yang bagi sebagian orang malah dianggap inti? Iri, tentu: soal
kecerdasan, soal pengalaman, soal buku.
Dengan itu, apakah
tulisan ini akan berakhir dalam keterbingungan dan iri? Apakah kita hanya
menanggapinya dalam keterbingungan dan iri?
Pada kenyataan
hidup di pesantren sebagai kaum santri yang dipasok ilmu agama dan formal sampai
kenyang, gua malah teringat dengan sebuah kalimat masterpiece:
“Jangan jadi
ikan yang mati kehausan!”
Sebagaimana yang teramini dalam do’anya
Imam Al-Ghazali:
اللهم إني أعوذبك من علم لا ينفع و قلب لا يخشى و عمل لا يرفع و دعاء لا يسمع
Komentar
Posting Komentar