Kamis

Ya, acara ini perdana. Mungkin terkesan aneh, atau bahkan out of the box dari biasanya.

Sebagai suatu penantian panjang atas apresiasi diri akan konsisten dalam mengabdi dan berkarya, sebenarnya 1 dasawarsa masih terhitung 2 tahun lagi, sebenarnya hal ini menuai polemik dan konflik.

Hal itu pun sempat gua sampaikan tak tertahan, pada sebuah rapat internal, pada sebuah rapat yang nyatanya pesertanya hanya disuruh mendengar dan dipaksa menyetujui ‘Si Ketua Diktator’. Meskipun, dalam berorganisasi, kita masih sama-sama belajar dan memang harus belajar, anak osis baru yang masih ingusan pun tau kalau dalam rapat atau diskusi atau musyawarah itu paham bagaimana konsep, atau seenggaknya tau apa yang dituju: kita menyampaikan pendapat yang meski berbeda, kesepakatan itu harus tetap sama.

Ya, nyatanya begitu, gua hanya nggak mau membuat warung kopi ini menjadi riuh dengan terbaliknya meja, atau malah dengan ucapan yang melukai. Gua tau batas, intuitif dan afektif seorang penulis cukup berperan baik: hanya berusaha semampu gua.

Anggap aja, ini sebagai taburan bumbu untuk bermacamnya rasa. Nggak usah dibikin pusing, jalanin, nikmatin, nggak ada yang perlu disikapi dengan berlebihan.

“Kalau dari seksi akomodasi nggak ada keberatan dalam persetujuan terlaksananya pagelaran wayang ini, seharusnya seksi acara tinggal menyediakan waktu.” Argumen-argumen berterbangan, di rapat yang kesekian. Akhirnya pagelaran wayang itu didengar, meskipun ada keberatan ego individualis, suara mayoritas mencoba meyakinkan.

Meski dengan tabur butir-butir bumbu, rasa itu semakin selera, tapak demi tapak, langkah itu mulai menemukan titik terang. Gua, ia, kami semua mendapatkan manisnya: ini akan menjadi acara yang luar biasa!

Pembentukan, pematangan, pelaksanaan. Beberapa kali techincal meeting dan briefing, kesiapan telah mencapai puncaknya!

Acara “Pentas Seni Malam Literasi” ini dibuat sebagai wadah kreativitas santri dalam meluapkan minat dan bakat-bakat yang terpendam. Selain itu juga sebagai sarana hiburan dan ucapan selamat datang untuk teman-teman santri baru. Sontak aja, dari ketiga kategori yang diperlombakan: puisi berantai, orasi, dan drama, diikut sertakan oleh 6 asrama yang berbeda: bisa dibayangkan, betapa pusingnya seksi acara dalam membagi waktu rundown acara dan jam tidur santri!

Tentu euforia penonton akan membludak dengan untuk mendukung asramanya masing-masing. Selain itu, ya pagelaran wayang adalah hal baru dan pertama kali hadir di pondok ini! Dalangnya bukan kaleng-kaleng, dewan jurinya geleng-geleng

Itu kenapa, konsep acara kali ini cukup berbeda, dengan outdoor dan malam hari. Luas panjang halaman sekolah itu sepenuhnya dipadati dengan penonton yang excited, alas-alas duduk yang dibawa pribadi itu bertebar rata, jauh sebelum acara dimulai.

Dengan mempertimbangkan per seksi telah memiliki SOP-nya masing-masing, terutama pada pra-pas-pasca, dewan harian kayak gua gini, cukup longgar, atau mungkin nganggur, atau mungkin berusaha mencari kesibukan biar nggak kelihatan nganggur. Dengan tanda kutip dan bermakna, sasaran empuk untuk rentan lempar job.

“Bat, nanti lu yang MC, ya?!” Ucap beliau, Sang Seksi Acara.

Sejujurnya, ini adalah tanggungan seksi acara untuk rangkap sebagai MC, sebagaimana biasanya. Toh, dia juga nggak ngapa-ngapain pas acara. Toh juga, ini merupakah sarana untuk abang-abang KPI menunjukkan kualitas dan integritasnya. Tapi nyatanya? Gua hanya mengangguk mengiyakan, dengan malas memantik debat dan kesadaran penuh bahwa gua memang nggak ada halangan, nganggur. Tentu siap-siap aja.

Toh hanya MC. Selagi gua bisa, kenapa harus berbusa-busa untuk menolak dan mengelak?

Tapi, ini nih. Udah mah ia nggak mau jadi MC, udah mah ia minta tolong, jatuhnya malah tuman dengan request aneh-aneh.

“Nanti MC modelnya begini!”

“Nanti MC modelnya begitu!”

Pret!

Gua bukan menolak masukan dan usulan. Tapi, ini bukan masukan dan usulan: ini perintah!

Lagian dengan gua yang menyanggupi, tentu ada bayang-bayang dan pertimbangan. Mana dan apa yang sekiranya pantas untuk konsep acara seperti ini.

Gua mengiya-iya biar cepat, anggap angin lalu.

Gua yang ditanam dan tumbuh dari masyarakat pribumi pondok ini dari masa sekolah, campur aduk tumpah ruah melarut bersama kultur masyarakat: emang siapa ia yang mahasiswa pendatang dengan kamar terpisah dan minim interaksi pendekatan dengan kultur dan menjadi bagian? Mending mempersiapkan, gua tau kok mana yang terbaik.

Nyatanya ia nggak becus dengan waktu yang molor telat hampir 1 jam, acara dimulai. Untungnya, euforia dan excited itu nggak berkurang, sama sekali, malahnya membludak: tapi batas akhir acara dan jam tidur santri? Entahlah.

Masing-masing asrama, punya pendukung yang militan dan loyal. Suara itu, gema itu, mengangkasa silih berganti.

Dengan penokohan, puisi berantai seutuhnya komedi. Dengan keresahan isu, orasi disuarakan dengan sangat menusuk dan menggelegar. Hingga drama, begitu kompleks.

Satu per satu, penampilan berangsur berganti rotasi dengan perwakilan lomba puisi berantai-orasi-drama, begitu sampai selesainya. Penonton terhibur, dewan juri terhibur dan menilai. Panitia puas.

Mungkin dari sekian, satu ini cukup menarik.

Sampai pada putaran drama yang sekian, teman-teman perwakilan asrama Al-Ghozali mementaskan dramanya. Cukup terpahami dari alur dan dialog. Namun, mereka kurang memperhatikan kesiapan peraturan, bahwa durasi waktu maksimal 10 menit. Mereka melebihi itu, cerita belum selesai, drama ‘terpaksa’ diberhentikan. Konsistensi waktu, ditambah molor 1 jam di awal: tentu mereka pun ‘terpaksa’ kecewa.

Perlombaan selesai.

Pagelaran wayang itu bermain. Semua lampu dimatikan, kecuali yang mengarah pada tirai kain putih bayang-bayang wayang. Ki Dalang memainkan cerita akan kisah perjuangan yang harus diemban ketika mondok, termasuk dengan melawan hawa nafsu.

Gelak tawa dan tegang, mengudara silih berganti.

Acara ditutup dengan syukur, tentu makan-makan.

Tapi, plot twist dari acara ini diperuntukkan bagi panitia yang sepenuhnya capek, masih harus angkat-angkat perlatan: sebuah pamflet tulisan tangan, dengan nada marah juga kecewa, “Bakat kami dibungkam oleh mereka!”, “Hukum dan keadilan hanya formalitas!” dengan hastag asrama Al-Ghozali.

Tanpa sepenuhnya menyikapi berlebihan, lu juga tau untuk penilaian dan penyikapan akan hal ini. Cukup menghibur atas capek lemah lunglai lelah pasrah berserah ini.

“Penanaman nilai lomba orasi kita nggak sia-sia, langsung diterapkan!” Ucap abang-abang itu dalam selonjor kakinya, menuju dini hari.

*Dan, untuk pengumuman lomba, di serial ‘ketiga’.

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Baik

Dompet

Dosa