Jagung
Sebenarnya, nggak baik-baik aja.
Jadi orang
baik, berperilaku baik, atau meski hanya memiliki sekelumit pikiran dan niat
baik: nggak selalu dianggap baik, nggak selalu berbalas baik.
Pagi adalah
teman. Atau memaksa berteman dan dijadikan teman. Udara dan aura positifnya
yang terbangun, andai manusia-manusia lelah itu tau bahwa ada yang lebih
menarik dari bantal kumal itu di waktu pagi.
Tapi waktu pagi
ya tetap waktu pagi. Masih terlalu dini untuk mencoba beraktifitas dengan
kenyataan sang mentari belum bisa mengusir embun mencumbu ilalang: begitulah ia
yang malu-malu menampakkan sinarnya.
Gua memilih
sarapan dengan sedikit khawatir karena kantong perut eropa yang takut alergi
dengan nasi pecel dan sepagi ini: seberapa selera dari roti tawar selai kacang
dan orange juice?
Selesainya
sarapan, rencana ini malah baru dimulai: para baris bandeng-bandeng yang
tergeletak terlelap itu, bagaimana bisa mereka masih tertidur di hari yang
mulai terbangun? Bagaimanalah nasib bangsa ini dari para pemuda penerusnya yang
doyan tura-turu? Ah, entahlah!
Dari sekian
wajah-wajah lelap hamba Allah itu, hanya satu wajah yang dirasa paling
menggemaskan, gemas pakai sya: saking gemasnya.
Gua nggak
ambil ribet, rencana dimulai.
Lihat, ia
menggeliat!
Ia
mencacing, mengulat, membelatung!
Dengan
berbagai baris kalimat gremeng gemas bahasa belatung yang sulit dituliskan,
akhirnya manusiawi itu terlihat.
“Sekarang
jam berapa, Bang?” Dalam duduknya mengusek-usek wajah squeezenya.
“Jam 7.”
Ia berdiri
tatih, beranjak, berjalan sempoyongan kayak habis minum power-f kuning 2
pabrik. Ingat yang kuning, bukan yang merah apalagi yang ungu: itu kurang
sempoyong!
Ia
menghamba.
“Dingin
banget ya, Bang?” Ucapnya sesekali menguap, bergetar menggigil.
Entah, gua
juga bingung, kenapa akhir-akhir ini udara begitu dingin dan menusuk? Tolong
penjelasannya, BMKG!
“Mending
ikut gua!”
“Ke mana,
Bang?”
Dengan
sedikit celangak-celinguk, menghadap arah objek yang dituju, memainkan alis. Ia
mengangguk: kami tersenyum.
For your
information, dalam beberapa minggu terakhir, kepermaian dan keasrian pondok ini
terganggu dan terusik oleh sebuah proyek besar IPAL yang mengakibatkan
hilangnya 2 petak lahan kebun jagung itu.
Dengan
berbagai terkaan untuk apa jadinya proyek itu, kontraktor dan alat besar tetap
menjalankan tugasnya. Hingga kini, lahan itu rata, hanya saja tergali ke dalam: sebuah rata di
kedalaman.
Nggak ada
sebuah legitimasi dan wewenang bagi kaum kumal sarungan ini pada proyek itu,
mau nggak mau harus menerima dan berdamai, hingga benar-benar berhasil. Saking
berhasilnya, kini malah dijadikan wahana.
Gua ke sana
bareng Rizal.
Sebuah
pengalaman yang cukup menyenangkan bagi orang yang terduduk di tinggi gundukan
tanah berbaris menjulang, menghadap tanah rata pada kedalaman 3 meter, lalu 2
meter kebun jangung itu, dan menghadap sunrise di balik atap-atap rumah: udara
itu, pemandangan itu, sensasi itu, terpesona.
Siapa
sangka, atas segala anugerah Allah yang mengeclak di lahan kebun jagung itu,
nggak sedikit mereka yang mengingkari meski memahami. Apalagi bagi mereka yang
mahasiswa, apalagi mahasiswa yang harus terduduk tergugu bersama anak
tsanawiyah yang mayoritas adalah santri baru. Melihat keindahan alam dari balik
proyek di kebun jagung itu, jangankan mahasiswa, anak MA pun mikir-mikir untuk
bisa nimbrung dan menyaksikan: mungkin rawan, mungkin polusi, atau mungkin
gengsi.
Untuk rawan
dan polusi, gua tau batas dan ukuran. Seharusnya, jika narasi kalimat sudah
membahasakan kata keindahan dan pesona, nggak perlu lagi mengaitkan dengan
hal-hal yang dapat merusak maksud penguatan karakter kalimat tersebut.
Seharusnya pembaca paham! Seharusnya pembaca banyak baca biar paham!
Pembaca kok
sedikit baca?
Pembaca kok
bahkan sampai nggak baca?
Aneh!
Nggak jelas!
Kenapa? Baper?
Bercanda, kok. Lanjut-lanjut.
Dan benar aja,
dengan kepul kretek yang terhempas, sepenuhnya putar waktu itu diisi dengan
diam menikmati suasana dan khidmat, muhasabah. Sebelum akhirnya pada
obrolan-obrolan ringan ala kadar cukup hangat, sehangat peluk sinar mentari
pada gelisah dingin ini.
“Nggak ikutan,
Zal?” Tunjuk gua pada bocil-bocil tsanawiyah yang terlihat asik bercengkrama,
juga mereka yang membuat lomba dadakan tentang lemparan batu siapa yang paling
jauh.
“Haha, kalau
gitu gua pasti menang, Bang!”
Hal yang
cukup was-was, adalah perihal Rizal yang aktif mode filsuf, atau mungkin
psikolog pengunyah buku self improvement.
“Bang, kenapa orang berubah? Atau seenggaknya
gampang berubah? Berkelit dan berbelit antara benar dan baik, hingga harus
mengkhianati diri sendiri?”
Gurat wajahnya serius.
“Hah? Gimana-gimana?
Kok tiba-tiba? Kok sesuatu? Kok tersadarkan? Kok kok petokkk!
Ia menjelaskan paham,
gua mencoba paham. Hal ini kurang mengasyikkan dibahas, seenggaknya kala ini,
di sini.
”Lihat tuh
bocil-bocil, kita jarang sadar, bahwa ternyata bahagia tuh sederhanya ya, Bang?!”
Dengar kata-kata
itu, lihat bocil-bocil, dan lembar kenang gua sewaktu bocil: gua senyum aja.
Sesampainya mentari
yang mulai merangkak naik, sinarnya kehilang malu. Kayaknya terlalu panas untuk
disebut mengsehat dalam berjemur. Obrolan-obrolan justru nggak lagi mengepulkan
asap. Gua sudahi bermain di wahana itu.
Hingga, di
waktu siang. Pada kegiatan-kegiatan yang nggak kalah panas dan gerah: badan,
hati, dan perasaan ini. Kayuh onthel itu hampir goyah.
Malahan, di
pelupuk mata, beberapa bapak-bapak atau mbah gagah berbaju larik berblangkon itu
berbaris berarak dengan onthel yang nggak kalah gagah, ganteng: pas di arah
yang berhadapan.
Kami berhaadapan.
Mereka menyapa dalam kring-kring
loyalitas solidaritas sesama onthelis, gua balas kring itu, terbit senyum ini:
tenang-senang ini.
Seperti sebuah energi supranatural
yang menelisik rongga-rongga badan, pada sendi dan alir darah, bahagia itu
sederhana. Lu benar, Zal!
يَا مُقَلِّبَ
الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِى عَلَى دِينِكَ
Komentar
Posting Komentar