Hokage
Tulisan ini masih menjadi lanjutan dari manis momentum haul yang dirasa sayang jika dibuang, sayang jika nggak ditulis. Mungkin, hanya terkesan lambat aja.
Sedari perkumpulan panas dingin elit global yang bersahaja, ada beberapa
titik center para hokage. Mungkin mengenalnya sebutan kepala suku yang nyatanya
telah mendapat mandat dapuk hokage ketiga. Sempat terbahas dan nggak mungkin
terlewat untuk hokage pertama dan kedua untuk mencatat kesan dan obsesi gua
dalam tulisan-tulisan di blog compang-camping ini.
Gus Nahdloh, Sang Founder yang tentu pemilik gelar hokage pertama. Dan Kang
Ahmad Nahrowi, hokage kedua yang terlalu banyak ter-ter semat baik hebatnya: beliau
panutan gua, guru gua.
Pada momen haul kali ini, beliau-beliau, kumpulan hokage dan elit global
lainnya berkumpul hampir sempurna, hanya beberapa tokoh elit yang berhalangan
hadir. Tapi hokage itu, kesemuanya hadir dan lengkap.
Perihal Gus Nahdloh, semua hal yang terjadi saat bertandang ke pondok
beliau di Kebumen selama seminggu kala itu seakan berputar liar: tentang kultur
wilayah, orang-orang, pelajaran dan pengalaman, hingga obrolan-obrolan yang
terjalin.
Kabar baiknya, beliau pulang ke Kebumen agak telat: beliau akan menginap di
kamar ini dan seminggu!
Wah, nggak kebayang akan ada berapa banyak hal yang dikonsulkan, juga
gelak-gelak tawa yang meledak!
Semoga betah dan menyenangkan, Gus!
Lalu, untuk Kang Nahrowi, beliau sedari haul udah terlanjur sibuk dengan
reuni teman-teman angkatannya, lalu mampir sana mampir sini. Hanya ada beberapa
obrolan ringan, tanya perkembangan menulisnya para penulis, cerita nostalgia,
juga kuliah singkat perihal barokah sebagai pembahasan.
“Kang Nahrowi udah pulang?” Tanya gua gelagapan melihat tas beliau yang
udah lenyap, pada Said.
“Udah tadi siang.”
Gua yang sebenarnya udah mengira-ngira kepulangan beliau di hari ini ke
Jakarta untuk melanjut studi S2-nya, malah tertidur nggak kuasa di jam siang:
bukan tidur, lebih tepatnya ketiduran.
Bangun tidur disambut penyesalan itu benar-benar nggak enak!
“Tapi, Kang Nahrowi titip sesuatu buat lu, Bang!”
Eh? Titipan?
“Iya titipan, bentar!”
Nggak lama dari Said yang bergrasak-grusuk dengan lemarinya, ia mengambil
sebuah buku bersampul plastik tanda baru.
“Ini apa?” Tanya gua yang masih nggak ngerti apa maksud dari semua ini.
“Buku.”
“Ya, gua tau itu buku. Tapi maksudnya, kenapa Kang Nahrowi titip buku?!”
Ia malah tergelak.
Dengan sepenuhnya gejolak mood saat itu, bisa aja tuh Said gua tantang
duel. Nggak peduli gua buat ia yang pendekar silat. Gua serius, ia malah
ketawa.
“Itu buku sebagai tanda apresiasi buat penulis paling RAJIIIIN yang
tulisannya selalu nggak pernah ngasih kesempatan tulisan penulis lain buat
tampil!” Ucapnya, mungkin cukup lebay, atau iri: haha. Tapi begitu kira-kira
ucapannya.
Hal baiknya, gua syukuri.
Hal kesalnya, tetap tercurah dan tertuju pada wajah badut itu: Said.
Terima kasih teruntuk Ustdaz Nahrowi rohimahullah, jaza kumullah ahsanal
jaza.
Gua sepertinya akan suka buku itu, Kita Begitu Berharga, sebuah buku
genre motivasi islami yang cukup menuai keterbingungan akan beliau yang tau
bahwa gua adalah pegiat fiksi: atau mungkin bentuk sindiran agar gua lebih non
fiksi dan islami. Entahlah.
Gua belum bisa cerita lebih perihal buku itu, nanti ketika udah datang
giliran bacanya dan khatam, bisa buat sharing-sharing.
Gua jadi banyak berpikir menerka, seduduk bangun tidur dan selepasnya, juga
perihal do’a dalam pujian seorang hamba Allah untuk agar semoga gua bisa
menjadi penulis yang konsisten menulis: aamiin.
Perihal gua yang menulis, dengan segala hal yang terjadi terjalin, bahwa
mungkin kata ‘berharga’ memang diperuntukan untuk ini. Makasih, alhamdulillah.
Tulisan ini ditutup dengan sebuah api dari penulis yang selalu berkobar dan
menyala membakar, J.S. Khairen, gua sangat suka quote satu ini.
“Jika temanmu tidak mendukung karya atau
usahamu, maka yang perlu diganti itu teman-temanmu. Bukan karya atau usahamu.”
Komentar
Posting Komentar