Hero
Malam jum’at bisa diartikan banyak hal: senang-sedih, tergantung kebutuhan atau mungkin tuntutan.
Dengan ketetapan
yang berlaku, malam jum’at merupakan hari libur, atau hari tenang, atau hari rehat,
atau mungkin juga hari raya: walau nyatanya ‘beban-beban’ tetap menunggu dan
mengawasi di hari-hari selanjutnya, ambil enjoynya aja!
Nyatanya upacara
itu tetap dilestarikan: malam panjang harus dirayakan dengan menonton film!
Merupakan suatu
keniscayaan bagi masyarakat kamar pojok parkiran sepeda-sepeda itu, dengan jadwal
libur yang didukung kelonggaran pikiran dan perasaan akan tuntutan kewajiban
yang semestinya berlaku, tentu tetap menjadi sebuah wadah diskusi untuk
pemilihan judul film apa dengan genre apa: ya, arti seru itu relatif. Masing-masing
per kepala punya rekomendasinya tersendiri.
Entah mengapa,
nggak seperti biasanya dengan alur diskusi yang berjalan panjang dan alot,
argumen-argumen yang berputar pada kisar genre action, komedi, atau horor, kali
ini malah malah menyasar genre romance: sebuah genre yang jarang sekali disinggung
dan mendapat antusias perhatian.
Operator nobar cukup
leluasa untuk mengoperasikan pengambil alihan tugas, meski tetap ada diskusi kecil
untuk sesekali penentuan judul film apa yang akan ditonton.
Akhirnya film romance Indonesia
ditentukan, pertama perihal romance keluarga, kedua romance suami istri berumah
tangga. 2 film itu diputar bergiliran penuh antusias, tentu, dengan perasaan
yang melambung layang seirama alur cerita yang membawanya sesuka hati.
Sesekali khalayak nyeletuk menebak
alur, sesekali mengandai-andai, meskipun sepenuhnya halu untuk menghalu bagi
dirinya sendiri, dalam hening sunyi: gua malah asik mereview 3 varian sambel
produk UMKM hasil paketan yang dicombo dengan kerupuk panjang-panjang yang
entah apa namanya, menonton berjarak dari khalayak, di pojokan, sendirian.
Meskipun, pada
akhirnya, satu dua khalayak mendekat. Entah karena rekomendasi tempat, atau
mungkin karena suara “krauk-krauk” hasil sambel combo kerupuk yang
sangat sulit diredam.
Film dan hangat
kekeluargaan, juga panas pedas huhah-huhah, berjalan semestinya.
Disclaimer, hal
yang perlu diketahui, bahwa kamar ini menjadi tetangga bagi kamar gudang di
sebelahnya. Dengan begitu, ’mouse-mouse’ yang besar kecil ukurannya tergantung
pada keahlian peforma indiviualnya dalam memenage gizi di pondok ini, mendadak bertamu
ria lewat ventilasi atas dinding yang menyatu. Tentu, dalam beberapa kejadian
sangat mengganggu dan meresahkan. Tapi, di satu sisi, kami dipaksa berdamai
dengan keadaan hingga akrab dan berteman baik.
Hingga, kejadian
itu harus terjadi.
Di tengah
permai bersahaja film yang tengah diputar, seorang lelaki yang berjarak dari khalayak
dan layar film, juga perhatian mereka, cukup terganggu akan ruang pojok dan “krauk-krauk”
rianya.
Ia jauh dari
perhatian khalayak. Meskipun ia sepenuhnya perhatiannya berpendar pada khalayak
dan tikus itu. Ya, tikus: seekor tikus ceroboh dan tanpa perhitungan aksi itu
terlihat kewalahan dari alur tracknya, -gudang-ventilasi-atap lemari-dispenser-beraksi
di permukaan.
Ia terlihat
kesusahan memanjat tiang lemari itu. Entah apa yang membuat telapak kaki tikus itu
hingga terkesan licin tak mampu tak daya memanjat: ia dalam on target, tikus
itu sepenuhnya dalam bahaya.
Dengan tanpa
berselera lagi pada combo huhah-huhahnya, lelaki itu berdiri beranjak,
memasang strategi dengan penuh kebencian yang meluap, membara dan menyala,
terbakar dan berkobar!
Hap!
Buntut hitam
sedikit kenyal itu tercapit jari jemari dan “darrr!”
Tikus itu terkena fatality smack down,
bersuara menggelegar dan tergelepar: di lantai, nggak berdaya, tamat.
“Weh, apa-apaan
sih, Bat?” Seorang pemerhati film itu mewakili keresahan mayoritas atas ketidaknyamanan
ketergangguan menonton film yang mengkhusyu’, lalu sepenuhnya belum terjawab
oleh orang yang dituju, bukan hanya ia, sontak seluruh mayoritas berhiiih-hiiih
ria: histeris. Cukup geli untuk sekedar mendengar suara feminim dari sosok
maskulinitas, dibandingkan dengan harus mengkrauk buntut tikus itu.
Yah, lelaki bangku
pojok bioskop itulah yang kini menjadi bulan-bulanan. Film itu mendegradasi
distorsi, benar-benar haus perhatian!
Lagi-lagi,
tetap ia yang harus bertanggung jawab dengan bangkai tikus yang sedikit keluar
darah, untuk membuang dan mengelap, lalu pada tangan yang mengantiseptic: ia
hero!
Dengan sepenuh
mood selera yang rusak dan fokus film yang terganggu, gua malah jadi menerka kata
hero itu di sebuah kejadian yang sama, di waktu dan dalam bentuk yang lain.
Sosok ayah,
adalah arti hero yang sesungguhnya bagi anak-anaknya. Terutama bagi anak
lelaki, ia sebuah kaca obsesi percontohan.
Dalam sebuah
istana yang diisi oleh seorang raja dan 4 pangeran, seorang ratu itu
mendapatkan gelar manusia tercantik di seantero kerajaan! Kehidupannya terjamin,
dijamin oleh para pemegang patriarki. Termasuk dalam urusan kenyamanan dan
keamanan.
Tanpa bisa
dipungkiri, sebuah kerajaan tentu saja mendapatkan halang rintang cobaan dari para
musuhnya yang mengintai. Perihal sebuah musuh pada khususnya, nggak
mengecualikan suku kaum proletar pengrecok: tikus, kecoak, cicak, lalat, semut,
dan nyamuk.
Sang Ratu kerap
resah akan hal itu.
Untuk mengutarakan
keresahan dan memohon pertolongan solusi, tentu ia gengsi terlihat lemah di
hadapan putra-putranya, para pangeran kerajaan. Dan satu-satunya jalan adalah
Sang Raja, suaminya.
Dengan segala
kredibilitas, integritas, dan kualitas pengalaman berperang Sang Raja, semua
itu bukanlah hal yang besar. Tikus ditangkap, kecoak diinjak, cicak dijepret,
lalat disemprot, semut disapu, nyamuk ditepuk: semua dibasmi, semua tuntas dilibas!
Sang Raja melakukannya
sebagai sebuah tugas dan kewajiban.
Sang Ratu malah
menganggapnya sebagai pengujian tanda cinta.
Kekar otot Sang
Raja mengeras dalam pelukan Sang Ratu. Meskipun cukup lucu untuk sosok orang kekar
dengan pipi yang mendadak bersemu merah.
“Kamu
pahlawanku, Kanda!” Ucap Sang Ratu penuh puji.
“Melindungimu sudah
menjadi kewajibanku, Dinda!” Sang Raja menjawab penuh gagah.
Haha.
Gua bangga menjadi
orang yang di dalam tubuhnya mengalir darah seorang ksatria, pahlawan.
رَبِّ اغْفِرْ
لِيْ وَلِوَالِدَيَّ وَارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِيْ صَغِيْرَا
Komentar
Posting Komentar