Cuan

Di masa akhir bulan seperti ini, nyatanya cukup menarik dan tertarik untuk sesekali membahas perihal finansial.

Mungkin jum’at lalu, saat pengajian Gus Reza, menjadi titik hasrat ini. Suatu keterangan yang bisa ditarik relate untuk sisi diri dan resah:

قال بعض الحكماء: من ساء خلقه ضاق رزقه

“Orang yang buruk akhlaknya, sempit rezekinya.”

Pena itu berkutat, hampir derit.

“Tapi terkadang, kita sering menyaksikan, bahwa nggak sedikit dari mereka yang memiliki akhlak dan perilaku buruk malah tetap bergelimang harta. Sebut saja para koruptor.” Ucap Gus Reza, dengan senyum tipis yang menghiasi wajah teduh itu.

Para muta’alimin sepenuhnya setuju dalam tatapan serius penuh tanya.

“Secara nominal memang besar harta yang mereka miliki. Tapi ingat, dalam rezeki, barokah itu penting!” Lanjut beliau.

Ternyata banyak hal yang mempengaruhi lancar nggaknya, banyak nggaknya rezeki kita. Nggak semerta-merta hanya perihal usaha bekerja, hingga berbagai macam stereotip ibadah amal baik, seperti sholat dhuha dan surat Al-Waqi’ah: nggak sesempit itu rahmat Allah.

Bahkan perilaku, baik buruknya, mempengaruhi baik buruknya rezeki.

Itu mengapa sering kita dengar, bahwa do’a seorang anak terhadap orang tua, untuk segala kebaikan termasuk lancarnya rezeki, sebenarnya sangat berpengaruh terhadap kita. Karena setiap do’a baik kita, terlebih untuk orang tua dan di tempat sekeramat pondok pesantren, sejatinya akan berbalik pada kita.

Apa yang Allah jelaskan dalam ayat-Nya?

اِنْ اَحْسَنْتُمْ اَحْسَنْتُمْ لِاَنْفُسِكُمْۗ وَاِنْ اَسَأْتُمْ فَلَهَاۗ

“Jika berbuat baik, (berarti) kamu telah berbuat baik untuk dirimu sendiri. Jika kamu berbuat jahat, (kerugian dari kejahatan) itu kembali kepada dirimu sendiri.”

Jadi benar, nggak ada kesia-siaan dalam kebaikan.

Mulailah jadi orang baik!

Mulailah berperilaku baik: untuk diri sendiri ataupun orang lain.

Tapi aslinya, nggak hanya sekedar ini. Masih bisanya kita untuk mebahas hal-hal luas yang lebih terkonsepsi, terkait finansial.

Apalagi teruntuk kita sebagai generasi sandwich dengan panjang masa depan. Hanya saja, kita tinggal menentukan perihal langkah demi langkah untuk siap mengarungi gelap terang, terjal mulus jalan itu.

Santri hanya sebuah status. Sedangkan masa depan nggak ditentukan oleh status. Sukses diperuntukkan bagi mereka yang mau berusaha mewujudkan dan sungguh-sungguh.

Dengan itu, tentu gua berpikir dan menerka. Terutama dari hal yang terjadi akhir-akhir ini, tepat saat munculnya sebuah matkul yang mencoba gua pikir baik relevasinnya dengan prodi ini: matkul kewirausahaan.

Seakan mengungkit tumpukan pemikiran yang udah berdebu, untuk mencoba dibersihkan dan dikaji ulang.

“Hidup itu harus punya banyak penghasilan!” Ucap dosen idealis pragmatis itu.

Meskipun telah menjadi seorang guru, jaminan hidup belum bisa jika hanya mengandalkan dari honor. Itu mengapa, demi harmonisasi hidup dan makna pendidikan, seorang guru harus melebarkan sayapnya dengan mencari inisiatif tambahan lain. Ya, udah bisa ditebak, wirausaha.

“Dalam wirausaha, hal terpenting adalah harus siap mengambil resiko! Dan maksud resiko di sini adalah resiko yang terhitung.”

“Mental utama seorang wirausaha adalah telaten!”

Itu mengapa, kita harus punya daftar list terkait pemasukan harian, mingguan, bulanan, hingga musiman. Catat, itu penting!

Pokoknya matkul itu penuh doktrin untuk bermental jadi seorang pengusaha: entah berhasil atau nggak.

Gua, cukup tertarik.

Dengan itu dan kenyataan ini, bahwa sekelompok individu yang hidup dalam ruang lingkup yang bernama pondok pesantren, tentu sebuah kebebasan adalah hal yang perlu dikritisi dan dikaji berulang kali maknanya untuk diterapkan.

Perihal finansial, mungkin ada kalanya from in to out, juga from out to in. Ya, istilah itu adalah konsep yang gua buat-buat aja. Bagi seorang santri, pemasukan bisa didapat dari faktor internal dan faktor eksternal.

Faktor internal atau from in to out adalah pemasukan yang sebabkan oleh kita sendiri, usaha kita sendiri. Kita membuka usaha, mengikuti berbagai lowongan, hingga mencoba peruntungan dari hadiah lomba-lomba. Baik independent ataupun bermitra. Kemungkinan-kemungkinan pikiran ini, bisa saja mencari jalan keluarnya untuk perealisasian ide yang perlu diusahakan.

Meski sesederhana menulis, banyak jalur untuk sampainya penghasilan. Pena itu nggak hanya kemanfaatan pengetahuan, nyatanya bisa meneteskan cuan-cuan. Entah bercak, entah deras mengalir.

Dari in diri kitalah yang harus menjemput rezeki-rezeki yang berkeliaran di out-out sana. Tentu harus usaha, tentu nggak mudah: meskipun seru nggaknya, menikmati nggaknya, kitalah yang menentukan.

Ada juga perihal from out to in, penghasilan di luar yang menghampiri ke dalam kita. Sebuah keniscayaan, santri bangkotan yang sebenarnya udah nggak masuk taklif dibiayai orang tua, nyatanya masih menjadi beban tanggungan mereka hanya karena tertolong masa tholabul ilmi.

Nominal yang menjadi pemasukan rutin dengan jadwalnya masing-masing itu, bisa kita manage kiriman uang saku itu: dengan menekan pengeluaraan dan menabung. Coba klasifikasikan prioritas antara kebutuhan dan kemauan. Cobalah berdamai dengan kata cukup. Sekiranya cukup, ya udah.

Tentu harus ditulis.

Tentu harus dirancang.

Tentu nggak bisa gua jelasin semuanya di sini, emang lu siapa? Keluarga bukan, kenal juga nggak?!

Haha, bercanda!

Yah, coba aja kalau buku The Psychology of Money gua ada dan nggak raib di tangan bibliophile akut itu, pasti tambah seru nih pembahasan finansial di tulisan ini. Enaknya kasih paham apa nih? Awas aja kalau nggak dibaca! Awas aja kalau balikinnya lama! Lah emang gua perpustakaan keliling?!

Ya, semoga kita dimudahkan dalam rezeki. Semoga dari jadi orang baik yang diberikan rezeki yang cukup: mau beli tanah, cukup. Mau bangun istana, cukup. Mau keliling dunia, cukup. Mau apapun yang dimau, cukup.

Pokoknya cukuplah!

Aamiin paling tulus.

وَمَا مِنْ دَاۤبَّةٍ فِى الْاَرْضِ اِلَّا عَلَى اللّٰهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَاۗ كُلٌّ فِيْ كِتٰبٍ مُّبِيْن

“Tidak satu pun hewan yang bergerak di atas bumi melainkan dijamin rezekinya oleh Allah. Dia mengetahui tempat kediamannya dan tempat penyimpanannya. Semua (tertulis) dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuz).”

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kepompong

Klausa

Mekar