Tower

Aslinya gua bingung, kenapa ahlu bait atau habib, di sini malah dipanggil dengan sebutan ‘yik’. Begitu juga di sana yang malah disebut wan.

Bukan soal panggilan hormat itu atau juga tentang segala isu huru-hara yang sedang ramai dekade ini, gua senang aja bisa mengenal dan dikenal oleh dzuriyyah Rasulullah Saw: allhumma sholli wa salim wa barik alaih!

“Bentar dulu, Bat. Lu mau ke mana?”

Jika kalimat itu udah terdengar dan terlontar oleh sosok itu, gua bisa menebak: nggak kaget.

Siapa sangka, sebuah anugerah menjadi santri dalam satu rumpun dan kultur yang sama itu membuat gua bisa memanggilnya ‘bang’ tanda hormat adik kelas pada kakak kelasnya, dan ia pun rela-rela aja. Padahal siapa yang nggak merinding mendengar nama Habib Luthfi bin Yahya?

“Mau beli nasi, Bang.” Malam itu, nggak biasanya, lalaran mingguan yang menekan tenggorokan nyatanya pun ikut menekan perut.

“Ikut gua dulu, yuk!” Tatapan itu, senyum itu: ah!

“Panggilin Bang Sofyan?” Tembak gua.

Ia tersenyum.

“Iya. Buruan dah, urgent banget ini, urgent!”

“Urgent? Urgent mah Robben.”

“Yaelah, bisa aja lu. Arjen itu. Yaudah buruan panggilin, nggak enak gua ke kamarnya.”

Buat ia yang beralasan nggak enak buat ke kamarnya Bang Sofyan, hal sederhana yang mengalasi: mungkin akan menyita banyak waktu untuk mengobrol dengan orang-orang yang ia temui.

Dengan sisa tawa dari jokes receh karbitan, mau nggak mau gua balik arah, naik ke lantai atas, ke kamarnya Bang Sofyan.

Aslinya gua bukan nggak mau atau males, dan bisa-bisa aja buat nahan lapar. Apalagi kamarnya Bang Sofyan masih satu komplek dengan kamar gua. Satu hal sederhana yang mengalasi: Bang Sofyan satu kamar dengan mustahiq gua!

Dan hal ini cukup memacu adrenalin. Kalau nggak karena disuruh habib, nggak bakal mau gua: untung habib!

“Udah, sendalnya taruh sini aja, gua jagain.” Pintanya terburu.

“Mboten usah, Bib. Sampun kulo beto mawon, mboten nopo!” Jawab gua cengar-cengir, ia malah mengangkat tangannya yang dikepal, meski dengan cengirnya. Gua berhaha-hehe.

Gua taruh sendal, naik ke lantai atas, mengendap-endap, tengak-tengok, membaca situasi, dirasa aman, gua memanggil Bang Sofyan.

“Ngapa, Bat?” Tanya-nya yang sepertinya lagi makan.

“Dipanggil habib!”

Sepersekian detik menung, ia paham.

“Oh, iya bentar.”

Gua turun, mengabarkan kabar.

“Udah lu tunggu sini aja, temenin gua. Lagian mau ke mana, sih?” Ia tampak gelisah.

“Mau beli nasi, Bang. Kan tadi belum jadi.”

“Yaelah, bentar doang.”

Merupakan keniscayaan, gua harus rada mendangak di setiap ngomong dengannya. You know lah: tulang-tulang arab!

Tower!

“Et, pake baju yang rapih apa!” Lanjutnya, mengusak-usek kerah baju gua yang berantakan. “Udah dikasih contoh ganteng juga sama abang-abang!”

“Tadi buru-buru, Bang.”

Kerah plannel gua dirapihin olehnya.

“Sama kancing atas nih dibuka, jangan dikancingin semua.” Protesnya, lagi.

Nggak lama, Bang Sofyan turun.

“Tanya noh Sofyan. Ya kan, Yan? Kalo bocah bajunya dikancingin sampe atas kayak apa?” Tanya-nya ke Bang Sofyan.

“Kayak bocah culun lu!” Timpal Bang Sofyan.

Kami bergerak, berjalan. Gua berniat ke warung, mereka entah mau ke mana.

Masih dalam arah langkah yang sama, gua bertanya: “Bang biar ganteng kayak lu gimana sih, Bang?”

Untuk pertanyaan itu, gua cukup serius.

“Jadi habib dulu!”

Et!

“Wah, kalau gitu caranya, selamanya gua nggak bakal bisa ganteng dong?!”

Tawa itu mengudara.

Sehat-sehat, Bib.

Nanti di akhirat, gua pinjam nama lu, ya?!

Haha.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mekar

Kepompong

Terminal