Tetes

Baginya, mungkin dunia masih begitu kelam. Kejam. Masihnya tanpa pendukung, menjadi manusia yang terpinggirkan. Hingga, ia memang sudah tidak memiliki siapapun, setidaknya untuk saat ini dan selamanya.

Ruang-ruang itu berserak meski tetap tidak sebanding dengan hatinya yang hancur lebur luluh lantah berkeping-keping. Menyingkir atau juga menghilang dari dunia ini, sepertinya terdengar lemah tanpa perlawanan. Bukan arti menyerah, ia memilih abadi.

Ia susuri seluruh gelap dan hal-hal yang lelap, berharap mendapat tali tambang yang ia hadapi dengan gemuruh dingin dan degup. Gelap itu menyapa, memeluk, hinggap dan erat. Lalu, merambat ke hati dan matanya. Pikir sudah tidak sejalan. Dirinya bukan dirinya.

“Apa?”

Malahnya, meraih, dalam penuh tatih, mencaci maki pulih. Penuh silih, tidak ada putih.

Buku kusam itu tergenggam. Dari sebalik lemari kumuh dengan hancur kaca dan kondisi luar dalam yang sudah tidak berbentuk.

“Apa yang ingin kau sampaikan di detik akhir ini? Kalimat tabah atau suka cita? Ucapan semangat dan selamat?”

Ia membuka lembar, nafas berat mulai mengeja kata demi kata dengan penuh sabar dan debar.

“Cengeng?” Protes cekatnya di awal kata buku yang menamainya seperti itu. Lalu, pada kalimat di muka lembar.

 

Manusia, adalah pikiran dan perasaan. Bagaimanapun, terima atau tidak, setuju atau tidak, semua sudah tertulis. Tapi, di sisi lain, dalam beberapa keadaan, ia menjadi timpang dan rumpang. Kadang memberat di salah satu. Atau malah memilih, memberatkan salah satu. Dan musibah sering terjadi pada pikiran yang dikalahkan perasaan.

Meski dari tangis, hiduplah dari setiap air yang menetes! Bercengenglah! Tidak apa. Itu juga hal eksistensial. Air mata tidak selalu dan melulu soal sedih dan pedih. Air mata pun masih tau adil untuk cinta, bahagia dan suka cita.

Semua dikembalikan lagi padamu: akan kau pakai untuk menyiram apa air mata itu?

Tentukanlah di sini!

Seperti ini.

Saat ini.

 

Januari-Februari yang membasah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Baik

Dompet

Dosa