Pasir

Lelaki lemah, atau sedang lemah itu, lagi-lagi, ia harus bertanya pada kertas yang dijawab pena.

“Bukan dengan A harus B, ataupun B harus A. Yang gua pengen, gua C, lu C. Udah.”

Berulang kali, sedari dulu, bahwa nggak ada yang perlu berlebihan akan pertemanan. Nggak perlu punya banyak teman, di luar bijak nggaknya, beberapa orang pun telah cukup. Namun sayangnya, bukan menyalahkan, setiap orang memang mempunyai latar belakang dan kecenderungannya tersendiri. Tentu harus ada titik temu, meski hanya sesederhana pembicaraan.

Pertanyaannya satu: siapa yang harus berkorban? Siapa yang harus jadi siapa?

Juga perihal keluarga yang menjadi arti diri lain, rumah yang sesungguhnya. Rumah yang seharusnya dalam arti yang sesungguhnya: melindungi dan memeluk. Dukungan, tentu. Tapi terkadang, bodohnya, antara dukungan dan tuntutan itu berbeda.

Satu hal yang mengalasi: siapa yang harus menyerah? Siapa yang harus ikut siapa?

Bahkan, hingga pada kekasih, arti cinta itu. Sejatinya cinta penuh dengan tujuan baik dan indah. Hingga hasrat dan berlebih, semangat hingga ego, menjadikan 2 hal baik yang nggak baik. Ketidakcocokkan dalam kebaikan. Gelora melupakan prinsip dan keterbukaan.

Sampainya kita di satu ujung jalan: siapa yang harus mengalah? Siapa yang harus tipu siapa?

Aaah, capek sekali bertopeng dan memaksakan!

“Tidak ada hubungan tanpa aturan, jika ingin bebas, tetaplah sendiri.”

Tentu ada pemaknaan dalam kalimat ini kan, Eyang? Tentu ada banyak hal yang terbangun dan kuat dengan tambahan diri yang lain kan, Eyang?

Semua itu arti cinta dan kemanusiaan!

Bagaimana bisa cinta menginjak-injak kemanusiaan?

Lelaki itu lelah, merebah. Mengadu pada lelap, berselimut lirik Apa Mungkin dengan kalap.

 

Arungi malam

Terjaga kala semua tlah terbenam

Berkaca bertanya

Apa ku buat salah

Kalau pun iya, apa?

 

Apakah sebesar itu hingga

Kau pergi tanpa aba-aba

Bahkan tanpa alasan

Hingga ku harus menerka-nerka

Salahku di mana

 

Apa mungkin caraku bicara

Apa mungkin caraku tertawa

Apa mungkin dengkurku saat tertidur lelap

Atau mungkin kamu yang tak lagi cinta

 

Sampai sekarang

Dariku belum ada yang berubah

Ku bisa salah

Maka itu jelaskanlah

Di mana letak yang tak kau suka

 

Apa mungkin caraku bicara

Apa mungkin caraku tertawa

Apa mungkin dengkurku saat tertidur lelap

Atau mungkin kamu yang tak lagi cinta

 

Dari dulu

Semua burukku

Kau terima

Katamu tiada yang mengganggu

Mengapa tiba-tiba

Jadi masalah

 

Sejak kapan semuanya berubah

Apa sejak kau lihatku marah

Apa karna leluconku itu-itu saja

Atau memang kamu yang tak lagi cinta

 

Apa mungkin caraku bicara

Apa mungkin caraku tertawa

Apa mungkin dengkurku saat tertidur lelap

Atau mungkin kamu yang tak

Atau mungkin kamu yang tak

Tak lagi cinta

Di sana, tubuh itu memeluknya.

“Aku tidak menyerah. Aku hanya lelah, Bernadya!”

 

 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Baik

Dompet

Dosa